Koran Kaltara, 3 Februari 2022
NUNUKAN, Koran Kaltara – Di saat pemerintah gigih mempertahankan habitat pohon mangrove, namun di Pulau Nunukan justru sebaliknya.
Tak tanggung-tanggung, mangrove yang dibabat habis di area pesisir RT 8, Desa Binusan Dalam, Nunukan, diperkirakan mencapai kurang lebih 8 hektare.
Lahan tersebut kini sudah ditanami kelapa hibrida atau kelapa pandan.
Aksi perusakan hutan mangrove ini diduga dilakukan oleh pengusaha lokal.
Sebenarnya kasus penebangan mangrove ini sudah terjadi sejak tahun 2019 lalu, namun kembali heboh setelah Sekretaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pancasila Jiwaku (Panjiku) Nunukan, Harlex melakukan penelusuran.
Dia mengungkapkan, persoalan mangrove ini sudah pernah disampaikan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan, namun belum ada tanggapan yang memuaskan.
“Katanya kewenangan provinsi. Jadi, disini tugasnya apa? Bukannya statusnya sama hanya beda tingkatan sebagai perpanjangan tangan ke yang lebih di atas,” tukasnya.
Padahal, kata dia, jika melihat rencana Presiden RI ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat mangrove terbesar di dunia, sungguh bertolak belakang dengan di Nunukan.
“Kenapa? Yang ada saja dirusak. Ini mangrove alami loh, bukan yang ditanam. Kenapa dirusak, bukankah pemerintah gencar penanaman mangrove?” kata Harlex.
Dari penelusurannya, dia mendapatkan informasi jika pengusaha itu membeli lahan dari seseorang yang ada di desa tersebut.
Namun yang menjadi pertanyaannya, wilayah pesisir atau mangrove apakah bisa diklaim sebagai milik pribadi hingga bisa diperjualbelikan.
“Namun terlepas dari pembelian itu, kegiatan ini tidak dibenarkan, karena merusak mangrove. Kan lucu, ada nggak orang pribadi punya laut, punya pesisir, punya mangrove sendiri?” tandasnya.
Di wilayah tersebut, kata dia, jika dilihat dari luar atau dari laut memang tertutup sisa mangrove.
Namun ketika dilihat dari darat ke laut, wilayah itu sudah habis dibabat dan tersisa hanya mangrove yang berhadapan langsung dengan laut.
“Ini sudah dari tahun 2019 lalu, masuk alat berat. Sekarang sudah ditanam kelapa pandan dan mulai tumbuh. Kita khawatirkan akan terjadi abrasi. Makanya gunung di situ tidak kena abrasi karena pohonnya masih lebat, nah sekarang?,” ujarnya.
DLH Sebut Belum Terima Aduan
Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) Nunukan, Roy Leonard mengaku baru mendengarkan adanya dugaan perusakan mangrove di Desa Binusan Dalam.
Dia mengatakan, lokasi tersebut masuk dalam Areal Penggunaan Lain (APL), bukan di kawasan Hutan Lindung Pulau Nunukan (HLPN).
Namun begitu, kata dia, untuk kewenangan soal mangrove tersebut masih abu-abu. Sebab, kata dia, KPH bergerak di kawasan hutan, sementara mangrove berada di luar hutan atau di pesisir.
“Jadi kawasannya bukan di kawasan hutan lindung. Kawasan hutan ini ada beberapa fungsinya, kawasan lindung, kawasan produktif dan kawasan konservasi. Nah, di Nunukan ini tidak ada kawasan hutan konservasi,” jelasnya.
Untuk itu, dia menegaskan, lokasi mangrove di Desa Binusan Dalam itu tidak termasuk kawasan hutan konservasi.
“Karena mangrove ini pasti di pinggir laut, nah hutan lindung pasti di tengah,” ujarnya.
Kendati demikian, secara teknis, dirinya mengaku bisa saja melarang aktivitas tersebut, namun kembali lagi kepada kewenangan.
“Jadi, di luar kawasan hutan, terkadang kami bertabrakan dengan provinsi. Dalam kolaborasi, kami tetap membantu, tapi prosesnya kan lain lagi. Beda saat kami masih Dinas Kehutanan dan Perkebunan, kami mengurusi kewenangan kabupaten,” ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan, Emanuel Payong Sabon.
“Sebenarnya kami selalu perhatikan. Cuman, di DLH ini sepanjang tidak ada pengaduan itu belum bisa gerak karena terkait kewenangan juga nantinya,” ujarnya.
Untuk perusakan, di DLH itu, kata dia, wilayah pesisir yang dihitung dari pasang air tertinggi.
“Nah, setelah hitung pengerusakannya nanti dari provinsi yang tangani. Karena wilayah laut dan pesisir itu provinsi,” pungkasnya.
Selama ini, kata dia, kerusakan mangrove di wilayah Binusan secara kasat mata memang sudah dilihat, namun kerusakan lingkungan dan sebagainya belum.
“Karena sampai saat ini, kami belum terima laporan maupun aduan yang masuk terkait mangrove di Desa Binusan Dalam. Kalau ada laporannya, baru kami turun. Di situ dilihat kewenangan siapa, baru kami teruskan,” sebutnya.
Dia menegaskan, mangrove di Desa Binusan Dalam memang masuk dalam status APL namun berada di pesisir.
“Nah benturan dengan provinsi. Memang dampaknya ke kami, tapi kewenangannya provinsi,” sebutnya. (*)