Jumlah Stunting Tertinggi di Kaltara, Ini Langkah Pemkab Nunukan

TRIBUNKALTIM.CO– Angka stunting di Kabupaten Nunukan ternyata tertinggi di Kalimantan Utara.

Sampai saat ini jumlah kasus stunting di Nunukan mencapai 1.101 balita dan tersebar 21 desa.

Wakil Bupati (Wabup) Nunukan, Hanafiah mengatakan,  angka stunting di Nunukan tertinggi se-Kaltara.

Untuk itu, tahun ini Pemkab Nunukan memiliki menargetkan sebanyak 21 desa yang akan digarap dengan jumlah anak stunting 1.101 orang.

Sesuai data jumlah orang tua yang berkunjung ke Posyandu dengan masalah stunting tahun 2022 ada sebanyak 16,7 persen. Sedangkan pada 2021 ada sebanyak 16,10 persen.

Sementara itu target nasional stunting 2024 sebesar 14 persen.

Saat ini kata Hanafiah, Pemkab Nunukan sedang menyiapkan peraturan bupati dan aturan pelaksanaan kegiatan masalah stunting di lapangan.

“Itu dulu yang harus kami siapkan sehingga ada dasar dan petunjuk dalam pengentasan masalah stunting di Nunukan. Akhir Januari ini akan kami lakukan rapat-rapat koordinasi lintas OPD,” ucapnya.

Menurut Hanafiah, pengentasan masalah stunting perlu melibatkan 32 OPD (organisasi perangkat daerah) di lingkup Pemkab Nunukan. Termasuk Camat, Lurah, dan Kepala Desa.

Bahkan dia sampaikan tidak menutup kemungkinan pengentasan masalah stunting juga terbuka untuk instansi vertikal termasuk perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Nunukan.

“Kami punya kebijakan setiap OPD akan mengambil satu anak asuh stunting. Dengan kata lain masing-masing OPD akan jadi bapak asuh stunting. Kami berharap 2024 terjadi penurunan kasus stunting di Kabupaten Nunukan,” ujar Hanafiah.

Dia menjelaskan pemberian makanan tambahan bagi anak stunting dilakukan selama 6 bulan. Kemudian akan dievaluasi.

“Bila seorang anak asuh stunting sudah keluar dari masalah stunting, maka kami akan ambil anak berikutnya. Lalu dilakukan hal yang sama yakni memberikan makanan tambahan,” tutur Hanafiah.

Lakukan Dua Pendekatan

Ada dua pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah stunting. Hanafiah beberkan pendekatan pertama berupa intervensi spesifik dan kedua pendekatan sensitif.

“Kalau pendekatan spesifik lebih kepada langkah teknis. Seperti pemberian makanan tambahan sesuai standar kesehatan. Kalau pendekatan sensitif terkait masalah lingkungan. Misalnya rumah tidak layak huni atau sumber air bersih tidak ada di rumah anak yang bersangkutan,” ungkapnya.

Hanafiah mengkhawatirkan bila masalah stunting tidak diatasi dengan benar, target menuju Indonesia Emas 2045 menjadi terkendala.

“Apabila anak stunting tidak segera ditangani, khawatirnya generasi kita akan tumbuh dengan IQ yang tidak sesuai dengan harapan bangsa. Mereka akan jadi beban orang tua, lingkungan sekitar, bahkan pemerintah,” imbuh Hanafiah. (*)

Sumber: https://kaltim.tribunnews.com