Pasal | Lama | Pasca Putusan MK | Penjelasan dan Komentar |
Pasal 42 ayat (1) | Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. | Pemerintah Pusat dimaknai: Menteri yang bertanggung jawab di bidang urusan ketenagakerjaan (in casu: Menteri Tenaga Kerja). | Penegasan pemberian pengesahan RPTKA diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja. |
Pasal 42 ayat (4) | Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki | Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia | Penegasan prinsip/filosofi penggunaan TKA dengan tidak mengganggu kondisi pasar kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
Pertanyaannya: bagaimana konkretnya memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia dalam konteks ini secara teknis dilakukan? |
Pasal 56 ayat (3) | Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. | Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan. | Pembatasan bahwa PKWT baik yang model “jangka waktu” ataupun “selesainya suatu pekerjaan tertentu” keduanya dibatasi hanya paling lama 5 tahun termasuk perpanjangannya (jika ada).
Sebelumnya, di UU 6/2023 baik di PP 35/2021, PKWT model “selesainya suatu pekerjaan tertentu” tidak memiliki pembatasan yang jelas dan hanya didasarkan atas kesepakatan para pihak. Padahal bargaining position antara pekerja dengan pengusaha tentu tidak seimbang dalam pembentukan kesepakatan tersebut. |
Pasal 57 ayat (1) | Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. | Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. | Penegasan bahwa PKWT wajib dibuat secara tertulis. |
Pasal 64 ayat (2) | Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) | Dimaknai:
Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya. |
Penegasan bahwa Menteri menetapkan pembatasan alih daya mengenai jenis dan bidang pekerjaan yang dapat ataupun tidak dapat dialihdayakan. Pengaturan ini dapat memberikan dampak positif bahwa pelaksanaan alih daya tidak lagi dilakukan secara bebas tanpa adanya pembatasan jenis dan bidang pekerjaan.
Namun, perumusan redaksi “sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya” tidak jelas artinya apa jika dibaca. Apakah penentuan ini berdasarkan perjanjian tertulis alih daya? Atau sebaliknya, perjanjian tertulis alih daya sesuai dengan penentuan tersebut?
Mestinya: “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya”
Lalu baru diatur lebih lanjut lagi: “perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)” |
Pasal 79 ayat (2) huruf b | istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. | istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. | Penegasan waktu istirahat mingguan untuk sistem 5 hari kerja. Meski aturan ini sudah diperjelas sebelumnya dalam PP 35/2021. |
Pasal 79 ayat (5) | Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. | Kata “dapat” dihapus.
Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. |
Mengembalikan hak istirahat panjang pekerja perusahaan tertentu yang semula dalam UU 6/2023 sifatnya opsional saja.
Tetapi, keberadaan frasa “yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja”, apakah berarti perusahaan yang melaksanakan pemberian hak istirahat panjang hanyalah perusahaan yang mengaturnya di PK, PP atau PKB? Jika tidak diatur di dalam dokumen tersebut, maka tidak perlu melaksanakan pemberian hak istirahat panjang?
Frasa tersebut juga dimuat dalam pengaturan istirahat panjang dalam PP 35/2021. |
Pasal 88 ayat (1) | Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. | Dimaknai:
Termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan Jaminan Hari Tua.
|
Penegasan mengenai penghidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya.
Pertanyaannya: apakah berarti makna ini memunculkan kembali komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang wajib diperhatikan dalam penyusunan upah minimum? Secara eksplisit disebutkan komponen KHL makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan JHT. Padahal dalam formula upah minimum yang existing berlaku, tidak menggunakan komponen KHL.
Lalu bagaimana dengan penetapan upah minimum 2025 yang mestinya dilakukan November bulan ini? Mengacu pada formula atau proses yang seperti apa? |
Pasal 88 ayat (2) | Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. | Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dengan Melibatkan Dewan Pengupahan Daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan. | Penegasan pelibatan pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan.
Sekaligus, pengaktifan kembali peran sentral Dewan Pengupahan Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan (terutama di Daerah) yang selama ini tergerus karena penetapan upah minimum yang dilakukan menggunakan formula semata. |
Pasal 88 ayat (3) huruf b | struktur skala upah | Struktur skala upah yang proporsional. | Penegasan penyusunan struktur skala upah secara proporsional. |
Pasal 88C | Pada intinya berisi pengaturan mengenai penetapan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota oleh Gubernur | Dimaknai:
Termasuk Gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah Provinsi dan dapat untuk Kabupaten/Kota. |
Memunculkan kembali keberadaan upah Minimum sektoral yang semula dihilangkan oleh UU 6/2023. |
Pasal 88D ayat (2) | Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. | Dimaknai:
Indeks tertentu merupakan variabel mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak bagi pekerja/buruh. |
Penegasan mengenai apa yang dimaksud dengan frasa “indeks tertentu” yang dimunculkan oleh UU 6/2023.
Sekali lagi, pertanyaannya: apakah kemudian komponen KHL menjadi hal yang mesti diperhatikan kembali dalam penetapan upah minimum yang selama ini hanya menggunakan formula semata?
Lalu bagaimana dengan penetapan upah minimum 2025 yang mestinya dilakukan November bulan ini? Mengacu pada formula atau proses yang seperti apa? |
Pasal 88F | Dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). | Dimaknai:
“keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Penegasan mengenai apa yang dimaksud dengan frasa “keadaan tertentu” yang dimunculkan oleh UU 6/2023.
Diskusi: Apakah secara a contrario keberadaan pasal ini justru memberikan penegasan bahwa penetapan upah minimum dalam “keadaan normal” wajib menggunakan formula penghitungan yang sudah ditetapkan? Sehingga menjadi penegasan agar SK Gubernur tentang penetapan upah minimum tidak selalu menjadi objek gugatan di setiap tahunnya karena sudah mengikuti formula yang sudah ada?
Tetapi, kembali lagi, karena beberapa pasal di atas menyinggung komponen KHL, lalu bagaimana prosedur maupun formula penetapan upah minimum yang mestinya digunakan? |
Pasal 90A | Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. | Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan. | Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat menjadi pihak dalam perumusan kesepakatan upah di atas upah minimum di perusahaan.
Walaupun sebenarnya sebelum adanya perubahan frasa ini, hal ini sudah dapat dilakukan jika kemudian perumusan tersebut dilakukan melalui PKB. |
Pasal 92 ayat (1) | Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas | Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. | Penegasan bahwa struktur skala upah harus pula memperhatikan indikator golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja. |
Pasal 95 ayat (3) | Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. | Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen, kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. | Penegasan posisi piutang upah dan hak pembayaran lainnya berdasarkan hubungan kerja ketika perusahaan pailit- likuidasi. Posisi pekerja ada di atas kreditur preferen.
Urutannya: · Kreditur separatis (pemegang jaminan kebendaan) · Pekerja · Kreditur preferen · Kreditur konkuren |
Pasal 98 ayat (1) | Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan. | Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif. | Sekali lagi, upaya penegasan pengaktifan kembali peran sentral Dewan Pengupahan Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan (terutama di Daerah) yang selama ini tergerus karena penetapan upah minimum yang dilakukan menggunakan formula semata. |
Pasal 151 ayat (3) | Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. | Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. | Penegasan perundingan bipartit dalam perselisihan PHK dilakukan secara musyawarah mufakat. |
Pasal 151 ayat (4) | Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. | Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak mendapatkan kesepakatan, maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap. |
Penegasan bila perundingan bipartit gagal, maka PHK baru dapat diproses setelah melewati proses PPHI dan terdapat putusan PPHI yang berkekuatan hukum tetap.
Diskusi: penekanan terhadap frasa “berkekuatan hukum tetap”, berarti harus menunggu 14 hari. |
Pasal 156 ayat (2) | Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: | Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling sedikit: | Mengembalikan frasa asli UU 13/2003 bahwa formula pesangon dalam UU merupakan formula minimal/paling sedikit (batas bawah sebagai jaring pengaman). |
Pasal 157A ayat (3) | Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya. | Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. | Penegasan pelaksanaan kewajiban bekerja oleh pekerja (selama tidak terdapat skorsing) dan kewajiban pembayaran upah oleh pengusaha tetap dilakukan sampai proses PHK selesai berdasarkan putusan PPHI yang berkekuatan hukum tetap.
Diskusi: penekanan terhadap frasa “berkekuatan hukum tetap”, berarti harus menunggu 14 hari. |