Catatan Berita : Begini Penjelasan Dewan Pengawas, Soal Dugaan PDAM Tarakan Alami Kerugian Rp202 Miliar

Menyikapi polemik dugaan kerugian Perumda Air Minum Tirta Alam Tarakan senilai Rp202 miliar, Dewan Pengawas memberikan klarifikasi untuk meluruskan informasi yang berkembang di masyarakat. Isu ini mencuat setelah surat dari Gubernur Kalimantan Utara, yang merujuk pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kaltara, beredar luas.

Dalam penjelasannya, Dewan Pengawas Abdul Azis Hasan menegaskan bahwa angka tersebut merupakan kerugian akumulatif yang dihitung sejak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diserahkan kepada Pemerintah Kota Tarakan pada tahun 1999, bukan kerugian yang terjadi dalam satu tahun buku. Lebih lanjut, ia menguraikan bahwa secara operasional, PDAM Tirta Alam Tarakan telah mampu mencatatkan laba kotor sejak 2020, di mana pendapatan melampaui biaya operasional. Namun, setelah dikurangi biaya penyusutan aset yang sangat tinggi, neraca keuangan secara akuntansi menunjukkan kerugian. Biaya penyusutan ini dinilai tidak wajar karena adanya kekeliruan dalam penetapan masa manfaat aset pada masa lalu, yang kini sedang dalam proses koreksi.

Polemik ini, lebih jauh lagi, membuka diskursus penting mengenai perbedaan mendasar antara kerugian secara akuntansi dengan “kerugian negara/daerah” dalam perspektif hukum. Kerugian akuntansi, seperti yang dialami PDAM Tarakan akibat beban penyusutan, tidak serta-merta dapat diartikan sebagai kerugian negara. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah didefinisikan sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata serta pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik disengaja maupun lalai.

Dalam konteks ini, BPK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan pemeriksaan dan menetapkan adanya kerugian negara/daerah pada entitas yang mengelola keuangan negara, termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sebuah kerugian baru dapat ditindaklanjuti dengan tuntutan ganti rugi secara administratif atau bahkan diproses secara pidana berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila terbukti timbul dari perbuatan yang melawan hukum.

Oleh karena itu, kasus ini menjadi pengingat krusial bagi semua pihak, terutama para pemangku kebijakan, untuk memahami secara komprehensif perbedaan antara laporan kinerja keuangan akuntansi dengan penetapan kerugian negara secara hukum. Harmonisasi pemahaman ini sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman publik serta memastikan bahwa langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan pada analisis data yang akurat dan landasan hukum yang tepat, demi terwujudnya tata kelola BUMD yang sehat dan akuntabel.

Catatan Berita:
Begini Penjelasan Dewan Pengawas, Soal Dugaan PDAM Tarakan Alami Kerugian Rp202 Miliar