DETAKKaltim.Com, TARAKAN – Ratusan rumah warga RT 12 Kelurahan Pantai Amal, Tarakan Kalimantan Utara, digusur tanpa ganti rugi akibat terdampak pembangunan pengaman pantai (Sea Wall) Pantai Amal Tarakan. “Bagaimana cara berpikir pemerintah menyatakan rumah yang kami huni bukan rumah tapi pondok. Rumah, tempat kami tinggal beranak-pinak berpuluh tahun disebut pondok sehingga tidak layak mendapat ganti rugi,” keluh beberapa orang warga kepada DETAKKaltim.Com minggu lalu
Ketua RT 12 Kelurahan Pantai Amal Tarakan Widodo membenarkan, apa yang disampaikan warganya. Menurut dia, tidak ada warganya yang keberatan dengan pembangunan Pengaman Pantai tersebut, kecuali orang yang menemui wartawan media ini.
Widodo sang Ketua RT 12 ini dapat membuktikan, warganya sendiri yang membongkar pondoknya atas kesadaran mereka. Sadar bahwa tempat yang mereka tinggali bukan rumah tetapi pondok. “Tentunya, Anda sebagai wartawan mestinya dapat membedakan rumah dengan pondok, apa kriteria sebuah rumah, dan apa itu pondok, makanya tidak diberi ganti rugi” kata Widodo angkuh.
Menyikapi keluhan masyarakat terdampak proyek pengaman pantai di sepanjang Pantai Amal Baru yang terus berlanjut. Terhadap pernyataan Widodo tersebut sangat disayangkan Ketua Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara Republik Indonesia (LPPNRI) Tarakan Haji Abdul Kadir.
“Apakah kriteria sebuah tempat tinggal dapat disebut rumah jika bangunan permanen? Sementara bangunan yang terbuat dari kayu kategorinya pondok. Jangankan pondok, sebatang tiang pun jika terdampak proyek ada nilai ekonomi dan sosialnya,” kata Abdul Kadir. Makanya Puang Haji yang berkecimpung banyak di Bidang Sosial di Kota Tarakan ini berharap, agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan memeriksa proyek yang telah menelan dana ratusan milyar rupiah ini dengan bukti permulaan tidak diberikannya ganti rugi terhadap masyarakat terdampak.
Berbeda dengan warga RT 13 Pantai Amal, yang masyarakatnya menolak pembangunan Sea Wall di tempat mereka. Dengan alasan tidak mau mengorbankan tanam tumbuh dan rumah yang mereka tempati, selama berpuluh-puluh tahun dibongkar. “Tujuan pembangunan pengamanan Pantai ini untuk apa? Jika tujuannya untuk pengaman Pantai dari ombak agar tidak abrasi, mengapa dibangun di darat sehingga rumah harus dibongkar, Kelapa ditebang,” ujar seorang masyarakat yang tidak mau disebut nama di lingkungan RT 13 Pantai Amal kepada DETAKKaltim.Com.
Ketua RT 13 Pantai Amal Ramli membenarkan adanya penolakan warganya, dengan alasan tersebut. Itu sebabnya, ia memohon petugas proyek untuk menangguhkan Pembangunan Sea Wall di wilayahnya untuk dilanjutkan ke RT 14 sekarang. “Bukan bermaksud menolak proyek pemerintah, hanya semata-mata karena warganya tidak mau kelapanya ditebang dan rumahnya dibongkar seperti yang mereka lihat di RT 12, yang terpaksa membongkar rumahnya sendiri tanpa ganti rugi,” kata Ramli.
Jerry Mathias SH, seorang praktisi hukum di Tarakan menyoroti hal ini. Ia menilai apa yang dilakukan pemerintah tidak manusiawi. “Kehilangan rumah tanpa ganti rugi sangat menyedihkan bagi yang terdampak proyek. Alasan yang dilakukan pemerintah melalui Ketua RT yang berhubungan langsung dengan masyarakat sangat tidak manusiawi,” kata Jerry Mathias SH, Kamis (21/11/2024).
Menurut Praktisi Hukum ini, dia sangat yakin, nilai proyek dengan anggaran ratusan milyar, pasti anggaran untuk pembebasan lahan dan semua kepentingan terdampak proyek sudah dianggarkan. Sebagaimana diamanatkan Pasal 2 huruf (a) dan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Negara.
“Makanya, wajarlah jika masyarakat curiga ada indikasi pejabat terkait tidak memberikan informasi yang benar dan sengaja menutupi informasi, tentang peraturan yang mengatur pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Atau memang tidak dianggarkan karena lokasi proyek sesuai manfaat dan kegunaannya di bibir Pantai,” ungkap Jerry.
Untuk mengetahui masalahnya, Wartawan DETAKKaltim.Com di Tarakan mencoba menemui PT Voorspoed Konsultan selaku perencanaan Penataan Pantai Amal Tahap II yang memperoleh anggaran Rp2.204.313.100,00. sebagai konsultan yang beralamat di Jalan Sei Mahakam, Nomor 54, RT 10, Kelurahan Kampung Empat Tarakan, Kalimantan Utara.
“Tidak ada kantor di sini. Rumah itu dihuni dua orang perempuan bagaimana dikatakan kantor. Enggak kelirukah alamatnya,” kata seorang tetangga heran menunjuk petak Nomor 54 tersebut. (DETAKKaltim.Com)
Sumber berita:
- https://detakkaltim.com/index.php/2024/11/21/proyek-pengaman-pantai-amal-ratusan-rumah-digusur-tanpa-ganti-rugi/, Proyek Pengaman Pantai Amal, Ratusan Rumah Digusur Tanpa Ganti Rugi, 21/11/2024
- https://www.suaraperjuangan.co.id/2024/11/terdampak-proyek-pengaman-pantai-amal.html, Terdampak Proyek Pengaman Pantai Amal: Ratusan Rumah Digusur Tanpa Ganti Rugi, 25/11/2024
Catatan:
- Pengadaan tanah untuk pembangunan Sea Wall dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menetapkan bahwa tanah untuk kepentingan umum meliputi pembangunan berbagai infrastruktur, termasuk Sea Wall. Salah satu tahapan penting dalam pengadaan tanah adalah konsultasi publik, yang merupakan proses musyawarah antar pihak terkait untuk mencapai kesepahaman mengenai rencana lokasi pembangunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU 2/2012 dan Pasal 123 angka 4 UU Cipta Kerja. Konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pihak berhak, pengelola dan pengguna barang milik negara atau daerah, serta masyarakat yang terdampak, di lokasi yang disepakati. Bila hasilnya menghasilkan kesepakatan, instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. Jika terdapat keberatan, dilakukan konsultasi publik ulang dalam jangka waktu 30 hari kerja. Jika keberatan tetap ada, laporan diajukan kepada gubernur, yang kemudian dapat menetapkan lokasi pembangunan meskipun ada penolakan. Dalam hal penolakan atas penetapan lokasi, pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu 30 hari kerja, setelah melalui upaya administratif berupa keberatan atau banding sebagaimana diatur dalam UU 30/2014. Selain itu, UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi pengadaan tanah dengan luas maksimal 5 hektare untuk dilakukan langsung oleh instansi terkait, dengan syarat kesesuaian tata ruang wilayah, dan penetapan lokasi dilakukan oleh bupati atau wali kota.
- Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi tahapan penilaian, musyawarah, dan pemberian ganti kerugian sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU 2/2012. Ganti kerugian dapat berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disepakati kedua belah pihak (Pasal 123 angka 9 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 36 ayat (1) UU 2/2012). Apabila dalam musyawarah dengan Badan Pertanahan Nasional terjadi ketidaksepakatan terkait bentuk dan/atau besaran ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah (Pasal 37 ayat (1) Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012). Selanjutnya, jika putusan pengadilan negeri masih dipersoalkan, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu 14 hari kerja (Pasal 38 ayat (3) UU 2/2012).