Kaltara Maju Tanpa Meninggalkan Budayanya: Mengenal Tornanda Syaifullah, Kepala BPK Perwakilan Kalimantan Utara

– Tarakan–

Sudah 11 bulan, Tornanda Syaifullah di Kalimantan Utara (Kaltara). Pria kelahiran Bayur Maninjau, 2 Februari 1972 itu semakin betah di provinsi termuda. Kaltara mengingatkannya dengan Aceh. Di mana dia tumbuh. Baginya Kaltara adalah Indonesia kecil yang kental dengan kerukunan dan semangat gotong royong.

NANDA, begitu dia akrab disapa, menginjakkan kaki di Bumi Banuanta sejak penugasannya sebagai kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kaltara, awal 2017. Jauh dari keluarga tak dirasa sulit. Kaltara justru lebih tenang. Jauh dari hiruk pikuk di kota-kota besar. Menurutnya, seperti Aceh beberapa puluhan tahun silam.

Bungsu dari enam bersaudara itu ditakdirkan berbeda dari kakak-kakaknya. Orang tuanya menginginkan Nanda lahir di Sumatera. Sebab lima kakaknya lahir di Jakarta. Proses kelahiran itu pun butuh perjuangan. Bahkan, ia nyaris lahir di atas kapal, saat kedua orang tuanya dalam perjalanan pulang ke kampung halaman di Bayur Maninjau, Sumatera Barat.

“Ibu saya itu bercerita kalau saya hampir saja lahir di kapal, tetapi untuk kapal sempat berlabuh sehingga saya tidak jadi lahir di kapal,” katanya mengenang.

Nanda sendiri menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Universitas Syiah Kuala di Aceh pada tahun 1994 dengan mengambil jurusan akuntansi, dan pada bulan Juli 1999 menyelesaikan pendidikan S-2 di Universitas persada YAI Jurusan Managemen. Selain itu Nanda juga pernah menngikuti pendidikan dinas seperti workshop performance audit, Diklat pemeriksaan kinerja- The Australian Nasional Audit Office, Workshop pemeriksaan kinerja- ANAO, dan IFABS strategic training course on bank performance measurement.

Pertama kali memulai karirnya di BPK pada tahun 1996 sebagai tenaga administrasi umum pada unit kerja Auditorat Utama Keuangan Negara II yang membawahi Departemen Keuangan. Setelah itu menjadi kepala seksi Bantuan Dalam Negeri pada BPK Perwakilan Aceh tahun 2005 hingga 2007. Lalu menjadi kepala Subauditorat NAD III BPK Perwakilan Aceh dari 2007 hingga 2008. Kemudian menjadi kepala Subauditorat Sumatera Utara III BPK Perwakilan Medan dari 2008 hingga akhir 2011. Setelah itu akhir 2011 hingga 2016 menjadi kepala Subauditorat VII.D.1 Auditorat Utama Keuangan Negara VII. Dan di awal 2017 dipercaya menjadi kepala BPK Perwakilan Kaltara.

“Itu awal karir saya sampai saat ini, dan memang sebenarnya awalnya itu saya harus memilih antara Bank Indonesia (BI) dan BPK dan akhirnya takdir menentukan saya berada di BPK,” ujarnya.

Nanda memiliki seorang istri bernama Uswatun Hasanah berprofesi sebagai dokter gigi. Istrinya juga merupakan kepala salah satu puskesmas di DKI Jakarta. Dari pernikahannya dengan Uswatun Hasanah, Nanda dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Dua di antaranya masih berstatus pelajar.

Berada di Kaltara seorang diri, tanpa didampingi seorang istri dan anak tentu membuat Nanda harus serba bisa. Dia pun mengaku tidak merasa kesepian karena setiap ada waktu luang, maka akan berangkat menemui keluarganya itu.

Tugas yang diembannya saat ini juga merupakan pengabdian kepada negara. Ingin mengaplikasikan seluruh pengalamannya membangun negeri, utamanya di Kaltara. Pertama kali bekerja di BPK, dirinya harus merasakan gaji yang bisa dibilang cukup sedikit yakni hanya Rp 300 ribuan. Untungnya di setiap lipatan karirnya, ada tambahan penghasilan berupa tunjangan. “Semuanya itu harus dikerjakan, seperti apapun itu harus dilalui,” katanya.

Dikatakannya, tantangan dalam bekerja akan selalu dihadapi dan akan selalu berbeda. Tetapi bagaimana melaksanakannya. Seperti pertama kali bekerja di daerah konflik seperti Aceh yang sempat terdampak bencana tsunami.

“Selama saya di sana semuanya berjalan dengan baik, dan tidak ada sesuatu hal yang signifikan terjadi,” ujarnya.

Begitu juga saat ditugaskan di Medan, di mana tempat yang cukup banyak premanismenya. Tetapi ilmu yang didapatkan harus diaplikasikan, karena berbicara tentang auditor bukan hanya tentang masalah akuntansi ataupun keuangan, tetapi juga berbicara tentang psikologi.

Auditor BPK harus mampu menyesuaikan kondisi di masing-masing daerah. “Semuanya kan berbeda, ada daerah dengan bencana, yang transportasinya kurang, maupun adanya premanisme, jadi harus menyesuaikan diri,” ungkapnya.

Berada di BPK selama dua puluh tahun terakhir tentu cukup banyak prestasi yang diterima. Nanda pernah mendapatkan penghargaan berupa Satya Lencana Karya Satya dalam 10 tahun pengabdian, tepatnya di 2006 lalu. Itu diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah lama berbakti karena menunjukkan kecakapan untuk dapat dijadikan teladan. Selain itu juga serta Satya Lencana Wira di 2001 lalu.

Berada di BPK memiliki sejuta tantangan. Utamanya karena harus berurusan dengan keuangan dan semua aset negara di suatu daerah. Apalagi harus bebas dari sebutan korupsi. Dirinya menginginkan jika semangat anti korupsi tidak hanya menjadi slogan di BPK. Tetapi harus dilakukan dari hati. “Jadi bukan satu orang saja yang dimonitor, semuanya harus dilakukan monitor. Begitu juga pelatihan, sehingga bukan hanya menjadi slogan semata, tetapi benar-benar bersih,” tukasnya.

Lama bekerja di kota besar, Nanda menyampaikan pandangannya terhadap Kaltara. Daerah yang baru dihuninya. Ia lantas membandingkan dengan Aceh, di medio 1980-an. Menurutnya daerah yang baru membangun, banyak hal-hal yang harus dilakukan seperti pembenahan. Prioritas pembangunan yang paling penting adalah infrastruktur bertahap, selain itu tidak boleh mengabaikan sektor lainnya, pendidikan dan kesehatan.

Setelah semua itu terwujud, barulah masyarakat dapat diajak berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, serta pola hidup sehat. Jika memang infrastruktur belum terpenuhi tidak akan bisa mengajak untuk bekerja. Tetapi terlepas dari itu semua, kekompakan menjadi hal yang paling utama. Menurutnya memang saat ini pemerintah sudah cukup fokus dalam membangun, dilihat dari masalah jalan, laut dan juga bandara yang sudah terbangun. Karena jika ekonomi tidak lancar dan infrastruktur tidak terbangun, tidak akan ada pembangunan yang baik.

“Saya optimis semua akan menjadi maju, tetapi memang jangan hanya pemerintah atau isntansi lain saja saja yang gerak, tetapi masyarakat juga harus mendukung dengan baik,” ujarnya.

Sementara Tarakan baginya, merupakan sebuah kota yang bergerak dinamis. Keberadaan sejumlah isntansi vertikal, pun yang telah berganti status dapat membentuk koordinasi baik dalam tujuan hidup bernegara. “Semoga saja Polda Kaltara dapat segera terbentuk,” ujarnya.

Awal pertama kali datang di Kaltara, khususnya Tarakan memang terasa cukup sepi. Namun Kaltara sedang mengalami pertumbuhan ekonomi, kata dia. Transportasi udara menjadi salah satu indikator. Tak jarang, ia menyaksikan rute penerbangan padat dengan penumpang. Pun dengan yang datang dari luar daerah.

Bagi Nanda, Kaltara memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan. Tidak hanya menyangkut sumber daya alam yang tak terbarukan. Nunukan, Bulungan dan KTT cocok dengan pengembangan perkebunan kepala sawit. Selain itu juga ada sektor perikanan. Yang tak kalah menarik menurutnya, adalah sektor pariwisata.

“Selain semua itu, masalah yang paling penting yakni kondusifitas, karena kalau keamanan tidak terjamin maka tidak akan mau berinvestasi,” tambahnya.

Nanda menyarankan pembangunan di Kaltara tak meninggalkan kearifan lokal, yang menyangkut budaya lokal. Menurutnya lagi, unsur kedaerahan yang bernilai histori harus dijaga. Terlepas dari itu semua, dirinya melihat daerah Kaltara sebagai daerah dengan penduduk yang heterogen dan terus berkembang. “Contoh Indonesia mini itu ada di sini, kalau bisa dibuat wacana itu lebih baik. Bahkan saya berharap BPK mini yang ideal ada di Kaltara walaupun sarana dan prasarananya masih minim,” katanya.

Sumber Berita: http://kaltara.prokal.co |  11 November 2017