Koran Kaltara, 5 Januari 2022
TARAKAN, Koran Kaltara – Larangan ekspor batu bara, sebagai upaya pemerintah untuk mencegah terjadinya krisis energi, terutama listrik. Namun kebijakan ini akan berdampak pada inflasi. Hal ini diungkapkan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Utara, Tedy Arief Budiman kepada awak media, Rabu (5/1/2022).
Menurutnya, selain CPO (Crude Palm Oil), salah satu komoditas yang bakal menjadi penyumbang inflasi adalah batu bara. Apalagi banyak negara yang mengharapkan adanya tambahan stok untuk kebutuhan pembangkit listrik, tidak terkecuali di Indonesia.
“Pemerintah, dalam hal ini presiden memberikan suatu batasan terhadap penjualan batu bara keluar negeri. Kami, Bank Indonesia masih melakukan penilaian terhadap dampak kebijakan yang memang bertujuan untuk menciptakan kampanye hijau. Ini sekaligus mengajak atau menggeser penggunaan fosil ke bahan yang lebih ramah lingkungan. Larangan ekspor ini akan punya dampak besar,” terangnya.
Meskipun demikian, dampak inflasi yang bakal terjadi masih dalam kajian dan perhitungan, baik BI Kaltara maupun secara nasional. Di beberapa provinsi, menyebutkan bahwa harga batu bara naik, sehingga penghasil batu bara mendapatkan keuntungan. “Namun, dengan adanya kebijakan pemerintah, tentu ini masih kita hitung dampaknya,” ucap Tedy.
Segala keputusan yang dilakukan pemerintah di bidang energy, tentu ada dasar pertimbangan. Oleh karena itu, BI mencoba memahami, dan pada prinsipnya mendukung apa yang perlu dilakukan dalam upaya pertumbuhan ekonomi.
“Kelangkaan energi ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi banyak negara lainnya. Karena mereka melakukan lockdown, sehingga produksi batu bara yang normalnya bisa mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor turun. Apa yang terjadi di luar negeri akan memberikan dampak ke kita, termasuk dalam hal pemenuhan energi,” jelasnya.
Dengan adanya kebijakan larangan ekspor batu bara, Tedy mengaku bahwa kebijakan ini sudah cukup baik. Karena ke depan akan terjadi kelangkaan atau defisit energi, ketika ada defisit listrik, ada risiko inflasi. Dengan adanya larangan ekspor batu bara diharapkan Indonesia tidak akan mengalami kekurangan energi listrik.
“Selasa kemarin, kebutuhan pasokan batu bara meningkat jadi 7,5 juta ton. Ini tentu berdampak pada penyesuaian domestic market. Perusahaan akan berupaya meningkatkan ekspor. Tetapi jangan lupa, bahwa kebutuhan masyarakat masih banyak, termasuk kita. Jika batu bara berkurang, akan terjadi krisis listrik yang menyebabkan inflasi semakin besar. Karena saat terjadi kelangkaan listrik, tentu risiko yang akan terjadi adalah kenaikan harga-harga barang atau inflasi,” paparnya.
Kalaupun ada penyesuaian terhadap ekspor batu bara, pada periode awal Januari 2022 tidak akan berdampak besar terhadap kelangkaan energi listrik di Indonesia. Dari data BI, ekspor batu bara sudah mencapai 80 persen dari total produksi, dengan nilai USD745 juta. Sedangkan dari September 2020 sampai dengan September 2021 sudah di angka USD846 juta. (*)
Reporter: Sofyan Ali Mustafa
Editor: Nurul Lamunsari