-Tarakan-
Penundaan pencairan anggaran dana hibah bantuan sosial dan beasiswa senilai Rp 25 miliar dari APBD Tarakan 2016 yang terindikasi melanggar aturan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kaltara, mendapat sorotan dari Dewan Pendidikan.
Anggota Dewan Pendidikan Kota Tarakan Arifai mengatakan, salah satu peruntukan bantuan dari dana tersebut, yakni beasiswa mahasiswa di perguruan tinggi, sama pentingnya dengan jenjang pendidikan sekolah dasar ataupun menengah.
“Pemerintah tidak bisa hanya berpatokan pada wajib belajar 9 tahun atau 12 tahun. Karena jika kembali pada asas pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mana yang lebih tinggi UUD ataukah peraturan yang lain?,” ungkapnya kepada Radar Tarakan, Rabu (25/5).
Arifai menyebutkan, melihat dasar hukumnya di dalam UUD 1945 tidak ada perbedaan untuk tingkat pendidikan, apakah SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi. “Itu sebenarnya kalau mau diperdebatkan maka harus diuji ke MA. Jadi sebenarnya tidak bisa pemerintah sampai menyebut kalau itu kurang prioritas. Karena mahasiswa juga adalah anak bangsa yang berhak untuk dicerdaskan,” jelasnya. “Apalagi membangun bangsa ini sangat membutuhkan kualitas anak bangsa yang terdidik,” lanjutnya.
Arifai pun meminta pemerintah kota Tarakan memperbaiki payung hukum untuk beasiswa. Sebab, diakui selama ini anggaran beasiswa masih ikut pada anggaran hibah bantuan sosial, sehingga hal ini yang mungkin menjadi temuan indikasi pelanggaran hukum oleh BPK. “Tetapi kalau dibuatkan landasan hukum sendiri saya rasa tidak masalah. Di daerah lain juga kan tidak ada masalah dalam pemberian beasiswa. Di Tarakan juga selama ini begitu. Yang dipersoalkan itu saya lihat hanya payung hukumnya,” katanya.
Arifai juga menilai seharusnya BPK memberikan solusi terkait hal ini. Jangan sampai temuan ini malah berdampak ke proses pendidikan dan merugikan pelajar dan mahasiswa di Tarakan. “Semua, baik tingkat perguruan tinggi maupun sekolah menengah berhak mendapat beasiswa dari negara,” ungkapnya.
“Tapi mungkin ke depannya anggaran beasiswa ini bisa diakomodir dengan landasan hukum yang kuat, seperti dibuatkan perwali,” tambahnya. Menilik daerah lain yang anggaran beasiswa dikelola oleh Dewan Pendidikan, Arifai menyatakan tidak ada landasan hukumnya. “Kalau mengenai regulasi mengenai pengelolaan di dewan pendidikan itu memang tidak ada dasarnya. Kalau untuk dilibatkan menjadi tim itu bisa saja, tapi memang selama ini dewan pendidikan tidak pernah dilibatkan,” sebutnya.
Di pihak lain, UBT yang merupakan salah satu universitas yang mahasiswanya juga merasakan dampak dari penundaan pencairan dana ini. Dikatakan Wakil Rektor II Prof Eddy Suprayitno MS, selama ini UBT tidak pernah memberikan beasiswa secara mandiri. “Kalau dari kampus tidak ada. Kami belum mampu. Selama ini beasiswa dari pusat, swasta, dan pemkot saja,” ujarnya.
Senada dengan Eddy, Kepala Biro Akademik, Kemahasiswaan dan Kerja Sama (BAKK) Patria Julianto juga menyebutkan untuk tahun ini pihaknya berharap beasiswa Pemkot bisa direalisasikan karena anggaran beasiswa bidik misi menurun di tahun ini. “Yang membantu banyak itu beasiswa bidik misi dari Dikti, tapi kuota UBT untuk tahun ini turun dari tahun lalu 300 mahasiswa jadi 130 mahasiswa,” kata Patria.
Menanggapi statemen yang menyebutkan bahwa penerimaan beasiswa kurang maksimal, khusus bagi penerima dari UBT, pihaknya mempersilakan jika ada pihak yang ingin mengecek langsung kondisi penerima beasiswa. “Kalau memang mau jujur, silakan saja pihak pemkot melakukan verifikasi untuk penerima, karena mahasiswa yang menerima beasiswa ini betul-betul layak dalam artian membutuhkan bantuan karena ekonomi keluarga tidak mampu dan juga ada yang berprestasi,” ujar Patria. Adapun terkait beasiswa pemkot ini, Patria menyebutkan terdiri dari 4 jenis, dan penerimanya sebanyak 358 mahasiswa.