Koran Kaltara, 30 Agustus 2022
TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menargetkan 12,7 juta hektare Perhutanan Sosial hingga tahun 2024.
Berdasarkan hasil revisi ke tujuh Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), Kalimantan Utara (Kaltara) tahun 2020, menargetkan luas Perhutanan Sosial dan kemitraan kehutanan di Kaltara berkisar 207.777 hektare.
Informasi dihimpun, di Bulungan ada sekitar 687. 451,19 hektare kawasan hutan yang dikelola oleh KPH, berada di 2 kawasan, yakni unit IX Kayan sekitar 474.675, 19 hektare dan Unit XIII sekitar 212.776,87 hektare.
Kawasan itu diantaranya berada di dua kecamatan, seperti Kecamatan Tanjung Palas Barat , di Desa long Sam dan Long Beluah, dan Kecamatan Peso di desa Long Peso, Long Lasan, Long Lejuh dan Long Peleban.
Di wilayah kerja KPH Unit IX Kayan desa dampingan PLHL meliputi Desa Long pelban dengan Skema Hutan Desa, Desa Long Peso dengan skema hutan desa dan Kemitraan Kehutanan.
Sedangkan pada KPH Unit XIII, PLHL mendampingi desa Long Beluah dengan Skema Hutan Desa dan Kemitraan Kehutanan.
Bersama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bulungan, Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari, melalui kerja sama Yayasan Korservasi Alam Nusantara (YKAN), melakukan pendampingan lapangan.
Direktur PLHL Wastaman, mengatakan, implementasi dilakukan melalui sosialisasi bersama KPH Bulungan di desa-desa tersebut, kemudian memfasilitasi pembentukan lembaga pengelola atau Gabungan kelompok tani hutan (Gapoktan).
Selanjutnya dilakukan pemetaan, sekaligus bersama KPH Bulungan memastikan areal yang dipetakan sesuai dengan peta penunjukan Kawasan hutan Provinsi Kaltara.
Menurutnya, program perhutanan sosial sejauh ini juga didukung pemerintah daerah, meskipun Bulungan tak memiliki kewenangan langsung terkait itu, namun ketika desa yang masuk dalam program perhutanan sosial mendapatkan persetujuan pengelolaan atau SK, maka program desa bisa masuk melalui pemerintah desa setempat.
“Perhutanan sosial salah satu program prioritas pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) dengan 5 skema yang bisa diakses oleh kelompok masyarakat,” ujarnya.
Desa Long Beluah dan Long Peso selain mengajukan skema Hutan Desa juga mengajukan skema kemitraan kehutanan.
Kemitraan kehutanan adalah salah satu solusi konflik tenurial antara masyarakat sekitar hutan dengan pemilik konsesi kawsan hutan (HPH).
Pengajuan kemitraan kehutanan adalah lahan – lahan yang telah dikelola oleh masyarakat tetapi berada di dalam izin perusahaan kehutanan.
Dalam proses fasilitasi perhutanan sosial, skema kemitraan kehutanan dinilai banyak menguras energi, apalagi untuk menyatukan persepsi masyarakat yang melakukan aktivitas perladangan di dalam konsesi perusahaan HPH.
Selama pendampingan di Desa Long Beluah teridentifikasi beberapa KTH, di antaranya KTH Sei Bobang, KTH Gaharu Indah, KTH Suka Maju, KTH Gunung Keluh, dan KTH Setia, KTH-KTH tersebut tergabng dalam satu Gapoktan Hut Baru.
Sedangkan di Desa Long Peso ada 5 KTH, KTH Sungai Selalang, KTH Urau Pelada, KTH Peso Boy, KTH Tamen Laai, KTH sungai Lahai Lung tergabung dalam satu Gapoktan yaitu Gapoktan Pulung Mpa’.
Proses fasilitasi yang digagas KPH Bulungan dan PLHL mulai dari identifikasi sampai pembentukan gapoktan, pemetaan hingga penyusunan Nota kesepakatan kerja sama (NKK) serta dilakukan koordinasi pada bulan April 2022, tapi pihak perusahaan masih mempelajari peluang ini.
Selanjutnya, pasca pengajuan perhutanan sosial ke KLHK selanjutnya usulan dilakukan verifikasi teknis oleh tim KLHK yang terdiri dari Ditjen PSKL, BPSKL, Pokja PPS kaltara/ Dishut juga KPH Bulungan.
Verifikasi teknis memastikan berkas usulan atau data serta lokasi koordinat sesuai dengan usulannya.
“Tentunya kita berharap melalui perhutanan sosial konflik tenurial bisa terurai dan potensi hutan bisa dioptimalkan oleh kelompok masyarakat sehingga usaha masyarakat di dalam kawasan hutan menjadi legal,” bebernya.
Di lapangan, persoalan batas administrasi wilayah desa, tak jarang menjadi problem di lapangan.
Termasuk kemampuan mengelola konflik masih minim sehingga sering kali persoalan batas administrasi desa menjadi konflik berkepanjangan.
PLHL sendiri melalui program ini mencoba meningkatkan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan pemetaan dasar dengan menggunakan arcgis harapannya aparatur desa terampil dan mampu menyelesaikan batas desa. Kemampuan dasar ini masih perlu di tingkatkan lagi.
Long Pelban salah satu desa paling ujung yang menjadi dampingan, Yosep Angit salah satu masyarakat setempat, mengatakan cukup terbantu dengan adanya program tersebut.
“Coba dari dulu ada program ini, karena dengan begitu kita bisa mengakses kawasan itu hutan untuk dikelola misalnya atau aktivitas lainnya. Sebelumnya kami bingung dimana lokasi perusahaan, dan dimana yang bisa kami akses,” katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Long Peso, Pulinop sebagai desa yang mengajukan perhutanan sosial dengan skema hutan desa dan skema kemitraan kehutanan berharap lahan warganya yang masuk dalam izin PT. IKANI dapat bekerja sama dan bisa dikelola dengan baik.
Sebelumnya, Kementerian LHK, menegaskan manfaat dari program tersebut, seperti pada akses kelola dan produktivitas.
Dengan pelaksanaan dan implementasi hutan sosial, masyarakat mendapat haknya sebagai warga negara Indonesia dengan memanfaatkan kawasan hutan.
Fungsi dan manfaat perhutanan sosial di Indonesia di antaranya, terciptanya sumber daya manusia profesional karena masyarakat lebih aktif dalam berpartisipasi.
Kemudian pemanfaatan hutan yang terintegrasi, lalu pengurangan konflik tenurial seperti, perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. (*/bis)
Reporter: Norjannah
Editor: Didik