-Tarakan-
Kasus dugaan korupsi pengadaan 49.200 bibit kelapa sawit senilai Rp 1,8 miliar di Dinas Perkebunan Kabupaten Malinau terus dikebut penyelesaiannya di Pengadilan Negeri (PN) Malinau. Kamis lalu (30/3), sidang itu kembali digelar dengan agenda pembacaan duplik oleh Penasehat Hukum (PH) terdakwa.
PH terdakwa, Jufri Hafid mengatakan, dalam sidang lanjutan tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa membuktikan dakwaannya. Dia menilai, JPU melakukan audit atas perhitungan sendiri dan tanpa adanya dugaan kerugian Negara.
“Sebenarnya di dalam undang-undang maupun asas hukum yang ada, tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa JPU bisa melakukan audit sendiri, atas adanya dugaan kerugian negara,” kata Jufri Hafid.
Tidak hanya itu, pihaknya juga menuding JPU hanya melakukan audit berdasarkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dengan tanpa tanggal dan tanda tangan. Hasil audit itu pun dijadikan JPU sebagai dalil tuduhan terhadap para terdakwa, yakni Direktur CV Citra Prima Utama, Hansen Awang dan wakilnya Andri Nauli dan Pejabat Pelaksana Tekhnis Kegiatan (PPTK) Patriatno.
“Kami menganggap dalam hal ini JPU sok tahu dan sok pintar. Kenapa kami bisa mengatakan demikian, karena JPU berani menghitung bukti surat fiktif,” ungkapnya.
Bahkan dibeberkan Jufri, di dalam dasar Laporan Hasil Pemantauan (LHP) BPK RI Kaltara No. 02/HHPt/XIX.TJS/III/2016 tersebut tanpa ada tanggal, namun bulannya tercantum bulan Maret 2011 lalu. Di dalamnya, JPU memuat adanya kekurangan nilai pekerjaan bibit sebanyak 8.710 batang atau 17,70 persen sebesar Rp 319.286.825, bukan merupakan audit kerugian negara, tetapi disebut JPU adalah hasil audit BPK.
“Di sinilah kita lihat mengenai kelancangan jaksa, karena telah melakukan audit rekayasa tentang dugaan kerugian negara sebesar Rp. 650.781.552. Dengan demikian membuat eksistensi kewenangan Lembaga Tinggi Negara yaitu BPKP sebagai lembaga eksaminatif yang berhak mengaudit dan menghitung kerugian negara,” bebernya.
Jufri juga menegaskan, ada dua surat perintah yang dikeluarkan Jaksa, dalam hal ini Kasi Pidana Khusus Herman Kondo. Pertama dikeluarkan 11 Oktober, dengan nomor : Print-622/Q.4.21/Fd/10/2016 dan 28 Oktober Nomor : Print-691/Q.4.21/Fd/10/2016. Sementara, Jaksa mengakui memulai penyidikan berdasarkan surat di 11 Oktober, namun semua dasar pemeriksaan terdakwa maupun pemberkasan berdasarkan surat di 28 Oktober.
“Kalau kita lihat, pengembalian uang Rp 319.286.825 ini dilakukan klien kami berdasarkan adanya surat dari Kepala Dinas Perkebunan Malinau, Lawing Libang pada 19 Oktober 2016, malah dipandang daluarsa pengembaliannya,” imbuhnya.
Dalam hal tersebut, menurut Jufri, pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban pidana adalah Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Malinau, Lawing Liban sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Kepala Inspektorat, Saparudin.
Jufri juga menyebutkan, selain Kejaksaan Negeri Malinau juga menetapkan Pejabat Pelaksana Tekhnis Kegiatan (PPTK) Patriatno sebagai tersangka, selain Hansen Awang dan Andri Nauli.
Ketiganya didakwa bersama-sama meruba dokumen penawara, namun dalam pembelaanya, kuasa hukum ketiga terdakwa mengatakan dakwaan JPU mengada-ada dan mengarah ke tindakan kriminalisasi.
“Namun faktanya di persidangan sudah terungkap kalau Kepala Kepala Dinas Perkebunan berbohong. Tidak hanya itu, ia juga palsu, yang mengnatakan tidak mengetahui adanya perubahan dokumen penawaran untuk merubah pihak pensuplai bibit kelapa sawit, dari CV Unggul Sejahtera kepada CV Mutiara hijau,” ungkapnya
Namun, lanjut Jufri, di bukti surat No. 525/85/DP/II/2012, perihal penggantian bibit tertanggal 17 Februari ditandatangani oleh Kepala Dinas Perkebunan, Lawing Liban. Didalam surat tersebut, Kepala Dinas yang meminta agar Direktur CV Citra Prima Utama yang saat ini duduk di kursi pesakitan mengganti 1.285 bibit dari penangkar Mutiara Hijau sesuai hasil berita acara pemeriksaan bibit kelapa sawit berdasarkan surat perintah tugas No. 094/40/Disbun/II/2012, tanggal 15 Februari 2012.
“Dari surat itu sudah jelas dalam persidangan kalau Kepala Dinas Mengetahui dan juga mau adanya perubahan dalam dokumen penawaran untuk merubah pihak pensuplai kelapa sawit dari CV Unggul Sejahtera kepada CV Mutiawa Hijau,” ucapnya.
Sementara itu, dalam keterangan saksi ahli yaitu DR. Agussalim Andi Gadjong dalam persidangan menyebutkan bahwa jika ada kelalaian pejabat pengguna anggaran, KPA juga bertanggungjawab di SKPD masing-masing dan tidak bisa melepaskan diri.
“Jadi apakah dia bertanggungjawab secara administrasi atau secara moril, karena kejahatan itu tanggungjawab pidana, kata ahli pidana di persidangan. Sama halnya dengan Kepala Inspektorat, kan dia juga bertanggungjawab mengeluarkan dokumen verifikasi. Kalau tidak mana bisa dana cair,” sambung PH Andri Nauli dan Hansen lainnya, Alpian.
Alpian juga menegaskan pengadaan bibit kelapa sawit di Kabupaten Malinau ini terungkap setelah adanya dugaan laporan palsu dari Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Malinau, Herman Kondo Siriwa. Dan JPU juga disebut Alpian sudah melakukan tindakan rekayasa pembuktian tebang pilih yang mengarah pada suatu tindakan kriminalisasi terhadap kliennya.
“Kalau klien kami berkenan memberikan kuasa untuk mengajukan laporan pidana serta keberatan hukum, kami sebagai Penasehat Hukum menyatakan siap mengajukan,” tegasnya.
Untuk diketahui, dalam perkara dugaan korupsi pengadaan 49.200 bibit kelapa sawit dengan nilai Rp 1,8 miliar di Dinas Perkebunan Kabupaten Malinau ini, JPU menuntut ketiga terdakwa Direktur CV Citra Prima Utama, Hansen Awang dan wakilnya Andri Nauli dan Pejabat Pelaksana Tekhnis Kegiatan (PPTK) Patriatno, pidana 2 tahun penjara.
Sumber Berita: http://kalpos.prokal.co | 3 April 2017