Koran Kaltara,
Selasa, 30 Agustus 2022
TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Selain menghasilkan energi listrik, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, dinilai juga bisa mengatur aliran air, yang juga bisa menjadi pencegah banjir.Berdasarkan data yang dibeberkan PT. Kayan Hydro Energi (KHE), dimana bendungan Kayan I yang terletak di Sungai Kayan, nantinya dapat difungsikan sebagai pengendali banjir (reduksi banjir) di hilir Sungai Kayan, dan untuk mengendalikan serta mencegah risiko banjir pihaknya telah memasang sistem peringatan banjir di daerah hilir, dengan memasang sirene di Desa Tanjung Selor dan Long Bia.
Terkait hal itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yohana Tiko, menegaskan, keterangan tersebut tak menjelaskan detail bagaimananya soal rencana konservasi air dan mitigasi risiko banjirnya.
Menurutnya, ia tak bisa memberi penilaian lebih jauh, jika dokumen lengkapnya tidak ada, minimal AMDAL yang dipublis ke publik.
Ia menegaskan, pemanfaatan Sungai Kayan itu mungkin saja menyebabkan hutan, dan ekosistem sungai rusak.
“Poin pentingnya pemerintah harus lebih tegas untuk mempertimbangkan potensi kedepan. Semua izin-izin yang keluar terutama di DAS Kayan itu harus mengutamakan keselamatan warganya, ketimbang investasi yang dimungkinkan tidak menyejahterakan rakyatnya,” ujarnya, saat dihubungi via sambungan telepon, Senin (29/8/2022).
Menurutnya, jangan sampai ke depan malah menyebabkan konflik dan merusak lingkungan.
Akhirnya terjadi bencana ekologis, seperti banjir, meski mereka mengklaim bisa menangkal, tetapi mestinya harus disebutkan maksudnya menangkal banjir tersebut.
Selain itu ia juga menyinggung transparansi dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dimana sejauh ini dinilai belum terpublis.
“Harus ada dulu kajian strategisnya, karena kalau kita melihat dari pembangunan itu, 2 desa terdampak langsung. Kemudian potensi gangguan fungsi hidrologi pada sungai Kayan, serta pada anak sungai Kayan lainnya. Baik dari sisi ekosistem, keanekaragaman hayati di Sungai Kayan. Dan dampak sosial, itu berpengaruh,” tegasnya.
Mestinya hal itu bisa diantisipasi melalui dokumen KLHS, jika memang sudah ada maka harus dibuka ke publik, karena semua orang berhak tahu.
Kemudian Tiko, juga menyentil Amdal PLTA yang juga harus dibeberkan.
“Kalau dari swasta murni harus ada Amdalnya juga, kalau tidk ada lalu beroperasi pelan-pelan, pemerintah harus tegas itu adalah pelanggaran. Ini harus diperjelas, dan harus ada mitigasi apa kedepan. Dalam proses pembangunan itu, Tiko, juga menegaskan yang terpenting harus tuntas di masyarakat termasuk Free, Prior and Informed Consent (FPI) atau disebut juga persetujuan tanpa paksakan, dengan adanya agenda pembangunan itu.
“Jadi, masyarakat disampaikan dulu apa dampak langsung dan tidak langsung. Harus jujur dampak negatifnya apa jangan nanti hanya soal lapangan pekerjaan. Atau janji nanti ekonomi meningkat, namun ternyata warga harus di relokasi, dimana ekonomi warga berubah, sebelumnya bisa survive dengan memanfaatkan kebun tiba-tiba di relokasi, harus mulai dari nol lagi,” katanya
Ia tak menampik, dalam proses agenda pembangunan serupa, sering kali tidak jujur soal dampak, misal FIC dan amdal itu menjadi syarat mutlak, jika tidak ada maka pemerintah harus tegas untuk tidak meneruskan agendanya.
“Karena dampak ke depan pada ekosistem Sungai keanekaragaman hayati dan perubahan iklim tentu saja harus tegas,” tambahnya.
Jika sebelumnya PLTA itu digadang-gadang masuk dalam Proyek strategis Nasional (PSN), namun belakangan diketahui kembali tak terakomodir, meskipun sudah diusulkan ulang.
Kepala Bappeda Litbang Bulungan, Iwan Sugianta, mengatakan pihaknya masih mengupayakan agar bisa terintegrasi, sehingga percepatan bisa dilakukan.
“Melalui kementerian terkait kita sudah sampaikan, ini memang mestinya masuk PSN,” pungkasnya. (*)
Reporter: Norjannah
Editor: Edy Nugroho