Sepuluh Investor China di Kawasan Industri Hijau

Koran Kaltara, 21 Desember 2021

TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Presiden Joko Widodo telah melakukan groundbreaking Kawasan Industri Hijau Indonesia di Kalimantan Utara (Kaltara), Selasa (21/12/2021). Megaproyek yang terletak di Kabupaten Bulungan itu, disebut sebagai industri hijau terbesar di dunia. Bahkan, di hadapan Presiden, ada 10 pemodal kelas kakap dari Tiongkok (China) menyatakan komitmen membangun proyek besar tersebut.

Hal itu diakui oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan. Dia mengatakan, para pemodal itu, sudah mempunyai pengalaman. Ia meyakini bisa merealisasikan investasi dengan biaya yang cukup besar tersebut.

“Ada 10 investor besar dari tiongkok yang bersama-sama kita pada hari ini. Mereka adalah investor yang sudah terbukti dan memiliki track record (rekam jejak) investasi yang sangat baik,” kata Luhut dalam laporannya di hadapan Presiden, saat groundbreaking, Selasa (21/12/2021).

Menko Luhut juga membeberkan, para investor China itu, sejak beberapa tahun terakhir sudah berinvestasi bernilai puluhan miliar dolar AS. Yaitu pada sektor hilirisasi nikel di Indonesia. Meski diakui pula, selain pemodal asal China, banyak investor dari negara lain yang berminat membangun proyek green energy tersebut.

“Pertengahan Juli 2021, ketika kita sibuk mengatasi (Covid-19) varian Delta, informasi investasi masuk di kawasan industri hijau datang bertubi-tubi,” ungkapnya.

Apalagi, dia mengaku sebelumnya sudah mengunjungi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Uni Emirat Arab dan China, dalam upaya promosi proyek industri di Kaltara. Dari hasil sejumlah negosiasi dengan banyak investor, ada yang menghitung soal jumlah energi yang diminta di atas suplai hydropower yang ada. Kemudian biaya yang dikeluarkan juga sangat besar.

“Misalnya untuk membangun PLTA (pembangkit listrik tenaga air), bisa menelan biaya 10 miliar dollar (AS) sampai 12 miliar dollar (AS). Belum lagi untuk pelabuhan yang menjorok ke tengah laut karena kedalaman yang dangkal di sisi pantai, yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak hampir 1 miliar dolar AS untuk pengembangan pelabuhan saja,” bebernya.

Namun dia meyakini, komitmen para pemodal yang bersedia bisa melaksanakan pembangunan. Untuk kebutuhan energi, pada masa transisi sebelum PLTA, bisa menggunakan solar panel dan pengembangan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) sekitar 10 sampai 15 tahun. (*)

Reporter: Fathu Rizqil Mufid
Editor: Nurul Lamunsari