TANJIK HUKUM ONLINE

Tanjik Hukum Online

Selamat datang di Tanjik Hukum Online, adalah platform inovatif yang dirancang oleh BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara untuk meningkatkan aksesibilitas dan pemahaman Anda terhadap informasi hukum di bidang keuangan negara/daerah. Aplikasi ini memudahkan Anda dalam mengajukan pertanyaan, memperoleh perkembangan hukum terkini, serta berpartisipasi dalam edukasi hukum secara daring dan mendukung tata kelola keuangan yang lebih baik. Mari bergabung dan eksplorasi fitur pertanyaan dan arsip yang telah kami siapkan di Tanjik Hukum Online untuk memaksimalkan pengalaman Anda dalam memperoleh informasi hukum yang akurat dan relevan.

Form Konsultasi

THO

ARSIP PERTANYAAN

Keuangan Negara

  • Apakah Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD yang ditetapkan tanpa pemberitahuan kepada pimpinan DPRD, tanpa didasarkan pada kondisi darurat, keperluan mendesak, atau perubahan prioritas pembangunan, serta tanpa dituangkan dalam Perda Perubahan APBD, tetap dapat diakui keabsahannya, dan apabila tidak, apakah belanja yang timbul karenanya dikualifikasikan sebagai pelampauan anggaran atau belanja tanpa dasar hukum anggaran?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011)

    Pasal 7 ayat (2)

    Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Pasal 8

    (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

    (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

    2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 23/2014 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Cipta Kerja)

    Pasal 65 ayat (2) huruf c

    Dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah berwenang menetapkan peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah.

    Pasal 246 ayat (1)

    Untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada.

    Pasal 246 ayat (2)

    Ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan Perda sebagaimana dalam Pasal 237 berlaku secara mutatis mutandis terhadap asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan Perkada.

    3. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    (PP 12/2019)

    Pasal 161 ayat (2)

    Perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila terjadi:

    a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;

    b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar organisasi, antar unit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja;

    c. keadaan yang menyebabkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan;

    d. keadaan darurat; dan/atau

    e. keadaan luar biasa.

    Pasal 163

    Pergeseran anggaran dapat dilakukan antar organisasi, antar unit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja, antar obyek belanja, dan/atau antar rincian obyek belanja.

    Pasal 164

    (1) Pergeseran anggaran antar organisasi, antar unit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 dilakukan melalui perubahan Perda tentang APBD.

    (2) Pergeseran anggaran antar obyek belanja dan/atau antar rincian obyek belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 dilakukan melalui perubahan Perkada tentang Penjabaran APBD.

    (3) Pergeseran anggaran antar obyek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian obyek belanja dalam obyek belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Daerah.

    (4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diformulasikan dalam Perubahan DPA SKPD.

    (5) Perubahan Perkada tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya dituangkan dalam rancangan Perda tentang perubahan APBD atau ditampung dalam laporan realisasi anggaran

    (6) Perubahan Perkada tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditampung dalam laporan realisasi anggaran apabila:

    a. tidak melakukan perubahan APBD; atau

    b. pergeseran dilakukan setelah ditetapkannya Perda tentang perubahan APBD

    4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Permendagri 77/2020)

    Lampiran Bab VI - Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan Perubahan APBD, Huruf D. Pergeseran Anggaran

    a. Pergeseran anggaran dapat dilakukan antar organisasi, antar unit organisasi, antar program, antar kegiatan, antar sub kegiatan, dan antar kelompok, antar jenis, antar objek, antar rincian objek dan/atau sub rincian objek.

    b. Pergeseran anggaran terdiri atas:

    1) pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD; dan 

    2) pergeseran anggaran yang tidak menyebabkan perubahan APBD 

    c. Pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD yaitu:

    1) Pergeseran antar organisasi

    2) Pergeseran antar unit organisasi

    3) Pergeseran antar program

    4) Pergeseran antar kegiatan

    5) Pergeseran antar sub kegiatan

    6) Pergeseran antar kelompok

    7) Pergeseran antar jenis

    d. Pergeseran anggaran yang tidak menyebabkan perubahan APBD yaitu:

    1) Pergeseran antar objek dalam jenis yang sama. Pergeseran ini dapat dilakukan atas persetujuan sekretaris daerah 

    2) Pergeseran antar rincian objek dalam objek yang sama. Pergeseran ini dapat dilakukan atas persetujuan PPKD 

    3) Pergeseran antar sub rincian objek dalam rincian objek yang sama. Pergeseran ini dapat dilakukan atas persetujuan PPKD. 

    4) Perubahan atau pergeseran atas uraian dari sub rincian objek dapat dilakukan atas persetujuan Pengguna Anggaran 

    e. Pergeseran anggaran yang tidak menyebabkan perubahan APBD yang dilakukan sebelum perubahan APBD, dapat dilakukan tanpa melakukan perubahan Perkada penjabaran APBD terlebih dahulu. Ketika perubahan APBD dilakukan, pergeseran anggaran tersebut ditetapkan dalam Perkada perubahan penjabaran APBD 

    f. Pergeseran anggaran yang tidak menyebabkan perubahan APBD yang dilakukan setelah perubahan APBD ditampung dalam laporan realisasi anggaran 

    g. Semua pergeseran dapat dilaksanakan berdasarkan perubahan DPA-SKPD 

    h. Pada kondisi tertentu, pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD dapat dilakukan sebelum perubahan APBD melalui ketetapan Kepala Daerah dengan diberitahukan kepada pimpinan DPRD. Kondisi tertentu tersebut dapat berupa kondisi mendesak atau perubahan prioritas pembangunan baik di tingkat nasional atau daerah. 

    i. Jika pergeseran tersebut dilakukan sebelum perubahan APBD, pergeseran/perubahan anggaran ditampung dalam Perda perubahan APBD. Jika pergeseran tersebut dilakukan setelah perubahan APBD, dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran. 

    j. Pergeseran anggaran dilakukan dengan menyusun perubahan DPA-SKPD. 

    k. Pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD mengikuti ketentuan mekanisme perubahan APBD

    Lampiran poin D.4.d.

    a. Belanja tidak terduga digunakan untuk menganggarkan pengeluaran untuk keadaan darurat termasuk keperluan mendesak yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan pengembalian atas kelebihan pembayaran atas penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya serta untuk bantuan sosial yang tidak dapat direncanakan sebelumnya. 

    b. Keperluan mendesak sesuai dengan karakteristik masing-masing pemerintah daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

    c. Keadaan darurat meliputi:

    1) bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial dan/atau kejadian luar biasa;

    2) pelaksanaan operasi pencarian dan pertolongan; dan/atau

    3) kerusakan sarana/prasarana yang dapat mengganggu kegiatan pelayanan publik.

    Pengeluaran untuk mendanai keadaan darurat yang belum tersedia anggarannya, diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA SKPD, kecuali untuk kebutuhan tanggap darurat bencana, konflik sosial, dan/atau kejadian luar biasa. Belanja untuk kebutuhan tanggap darurat bencana, konflik sosial, dan/atau kejadian luar biasa digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

    Pengunaan belanja tidak terduga untuk kebutuhan tanggap darurat bencana meliputi pencarian dan penyelamatan korban bencana, pertolongan darurat, evakuasi korban bencana, kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, dan penampungan serta tempat hunian sementara.

    Batas waktu penggunaan belanja tidak terduga adalah waktu status keadaan darurat bencana yaitu dimulai saat tanggap darurat ditetapkan oleh kepala daerah sampai ketetapan tahap tanggap darurat selesai. 

    d. Keperluan mendesak meliputi:

    1) Kebutuhan daerah dalam rangka pelayanan dasar masyarakat yang anggarannya belum tersedia dalam tahun anggaran berjalan;

    2) Belanja Daerah yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib; 

    a) Belanja daerah yang bersifat mengikat merupakan belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran berkenaan, seperti: (1) belanja pegawai antara lain untuk pembayaran kekurangan gaji, tunjangan; dan (2) belanja barang dan jasa antara lain untuk pembayaran telepon, air, listrik dan internet 

    b) Belanja daerah yang bersifat wajib merupakan belanja untuk terjaminnya kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan, kesehatan, melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga, kewajiban pembayaran pokok pinjaman, bunga pinjaman yang telah jatuh tempo, dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

    3) Pengeluaran Daerah yang berada di luar kendali Pemerintah Daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya, serta amanat peraturan perundang-undangan; dan/atau 

    4) Pengeluaran Daerah lainnya yang apabila ditunda akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.

    Pengeluaran untuk mendanai keperluan mendesak yang belum tersedia anggarannya dan/atau tidak cukup tersedia anggarannya, diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA SKPD dan/atau Perubahan DPA SKPD.

    5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 (Permendagri 15/2024)

    Lampiran poin 4.7.1.g

    Pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD dapat dilakukan melalui perubahan Perkada tentang penjabaran APBD dalam hal terdapat kondisi darurat termasuk keperluan mendesak, dengan diberitahukan kepada pimpinan DPRD. Selanjutnya, apabila pergeseran tersebut dilakukan sebelum perubahan APBD, ditampung dalam Perda tentang perubahan APBD TA 2025 atau ditampung dalam LRA bagi daerah yang melakukan pergeseran setelah perubahan APBD atau tidak melakukan perubahan APBD TA 2025.

    Lampiran poin 4.7.1.h

    Pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD menggunakan alokasi anggaran BTT sepanjang memenuhi kriteria kondisi darurat termasuk keperluan mendesak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

    Lampiran poin 4.7.1.i

    Pergeseran anggaran yang tidak menyebabkan perubahan APBD yaitu: 1) pergeseran antar objek dalam jenis yang sama dapat dilakukan atas persetujuan sekretaris daerah; dan 2) pergeseran antar rincian objek dalam objek yang sama dan pergeseran antar subrincian objek dalam rincian objek yang sama dapat dilakukan atas persetujuan PPKD.

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Merujuk pada ketentuan Pasal 161 ayat (2), Pasal 163 dan Pasal 164 PP 12/2019, Lampiran Permendagri 77/2020 dan Lampiran Permendagri 15/2024, pergeseran anggaran terdiri dari pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD dan pergeseran anggaran yang tidak menyebabkan perubahan APBD. Pada kondisi tertentu yaitu berupa kondisi mendesak atau perubahan prioritas pembangunan baik di tingkat nasional atau daerah, pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD dapat dilakukan sebelum perubahan APBD melalui ketetapan Kepala Daerah melalui perubahan Perkada dengan diberitahukan kepada pimpinan DPRD.

    2. Berdasarkan ketentuan Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Cipta Kerja serta Pasal 7 dan 8 UU 12/2011 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU 13/2022, Perkada tentang Perubahan Penjabaran APBD tersebut dapat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena ditetapkan oleh Kepala Daerah sebagai pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan Perkada dan belum terdapat pembatalan atas Perkada tersebut.

    3. Dalam hal terjadi pergeseran anggaran yang mengakibatkan perubahan APBD dan dituangkan melalui Perkada tentang Perubahan Penjabaran APBD tanpa didahului oleh penetapan Perda tentang Perubahan APBD, maka secara normatif hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 164 PP 12/2019 dan Bab VI Huruf D Lampiran Permendagri 77/2020, khususnya apabila dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pimpinan DPRD, tidak didasarkan pada keadaan darurat atau kebutuhan mendesak, serta tidak mencerminkan adanya perubahan prioritas pembangunan. Selanjutnya, berdasarkan prinsip dan standar pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimuat dalam SPKN PSP 300 Paragraf 13 dan A13, diperlukan pengujian substantif atas realisasi belanja daerah untuk memastikan kesesuaian pelaksanaannya dengan ketentuan yang berlaku.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

    Peraturan 

    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
    beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022
     

    Undang-Undang
    Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
    kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
    Kerja Menjadi Undang-Undang
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
     

    Peraturan Menteri
    Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan
    Daerah
     

    Peraturan
    Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
    Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025
     

      

    Artikel 

    Sistem
    Pengawasan DPRD Kota Metro terhadap Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun 2022
    atas Pelaksanaan APBD Kota Metro
     

    Evaluasi
    Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Asas Transparan, Akuntabel, Partisipatif,
    Tertib Dan Disiplin Anggaran
      

  • Mohon penjelasan apakah frasa “batasan jumlah tim yang dapat diberikan honorarium” serta “jumlah keanggotaan tim yang dapat diberikan honor dalam tabel” pada Lampiran I angka 1.5 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional dimaksudkan sebagai pembatasan jumlah keanggotaan tim dalam satu Surat Keputusan (SK), ataukah sebagai batas frekuensi keikutsertaan individu dalam tim lintas SKPD dalam satu tahun, mengingat angka 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 pada klasifikasi jabatan dalam tabel tersebut tidak disertai keterangan eksplisit mengenai maksud kuantitatifnya?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional

    (Perpres 72/2025)

    Pasal 1

    (1) Dengan Peraturan Presiden ini ditetapkan standar harga satuan regional.

    (2) Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. satuan biaya honorarium;

    b. satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri;

    c. satuan biaya rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor;

    d. satuan biaya pengadaan kendaraan dinas; dan

    e. satuan biaya pemeliharaan.

    Pasal 2

    (1) Standar harga satuan regional yang bersifat batas tertinggi yang besarannya tidak dapat dilampaui dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

    (2) Standar harga satuan regional yang bersifat batas tertinggi yang besarannya tidak dapat dilampaui dalam perencanaan dan dapat dilampaui dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

    Pasal 3

    (1) Kepala daerah menetapkan standar harga satuan biaya honorarium, perjalanan dinas dalam negeri, rapat atau pertemuan di dalam dan di luar kantor, pengadaan kendaraan dinas, dan pemeliharaan berpedoman pada standar harga satuan regional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, dan kewajaran.

    (2) Kepala daerah dapat menetapkan standar harga satuan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Lampiran I

    meliputi 14 (empat belas) jenis honorarium:

    1.1. Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan;

    1.2. Honorarium Pengadaan Barang/Jasa;

    1.3. Honorarium Perangkat Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ);

    1.4. Honorarium Narasumber atau Pembahas, Moderator, Pembawa Acara, dan Panitia;

    1.5. Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan dan Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan;

    1.6. Honorarium Pemberi Keterangan Ahli, Saksi Ahli, dan Beracara;

    1.7. Honorarium Penyuluhan atau Pendampingan;

    1.8. Honorarium Rohaniwan;

    1.9. Honorarium Tim Penyusunan Jurnal, Buletin, Majalah, Pengelola Teknologi Informasi, dan Pengelola Website;

    1.10. Honorarium Penyelenggara Ujian;

    1.11. Honorarium Penulisan Butir Soal Tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Kota;

    1.12. Honorarium Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan;

    1.13. Honorarium Tim Anggaran Pemerintah Daerah;

    1.14. Honorarium Pengurus Barang Milik Daerah;

    Lampiran I

    Tim yang keanggotaannya berasal dari lintas satuan kerja perangkat daerah, pengaturan batasan jumlah tim yang dapat diberikan honorarium bagi pejabat eselon I, pejabat eselon II, pejabat eselon III, pejabat eselon IV, pelaksana, dan pejabat fungsional pada tim dimaksud, jumlah keanggotaan tim yang dapat diberikan honor sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:

    Penjelasan mengenai klasifikasi pengaturan jumlah honorarium yang diterima sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut:

    a. Klasifikasi I dengan kriteria pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota yang telah memberikan tambahan penghasilan pada kelas jabatan tertinggi lebih besar atau sama dengan Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) per bulan.

    b. Klasifikasi II dengan kriteria pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota yang telah memberikan tambahan penghasilan pada kelas jabatan tertinggi lebih besar atau sama dengan Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) per bulan dan kurang dari Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) per bulan.

    c. Klasifikasi III dengan kriteria pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota yang telah memberikan tambahan penghasilan pada kelas jabatan tertinggi kurang dari Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) per bulan atau belum menerima tambahan penghasilan.

    1.5.1. Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan

    Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang diangkat dalam suatu tim pelaksana kegiatan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu berdasarkan surat keputusan kepala daerah atau sekretaris daerah.

    Ketentuan pembentukan tim yang dapat diberikan honorarium adalah sebagai berikut:

    a. mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur;

    b. bersifat koordinatif untuk tim pemerintah daerah:

    1) dengan mengikutsertakan instansi pemerintah di luar pemerintah daerah yang bersangkutan untuk tim yang ditandatangani oleh kepala daerah; atau

    2) antarsatuan kerja perangkat daerah untuk tim yang ditandatangani oleh sekretaris daerah.

    c. bersifat temporer dan pelaksanaan kegiatannya perlu diprioritaskan;

    d. merupakan tugas tambahan atau perangkapan fungsi bagi yang bersangkutan di luar tugas dan fungsi sehari-hari; dan

    e. dilakukan secara selektif, efektif, dan efisien.

    1.5.2. Honorarium Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan

    Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang diberi tugas melaksanakan kegiatan administratif untuk menunjang kegiatan tim pelaksana kegiatan. Sekretariat tim pelaksana kegiatan merupakan bagian tidak terpisahkan dari tim pelaksana kegiatan.

    Sekretariat tim pelaksana kegiatan hanya dapat dibentuk untuk menunjang tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh sekretaris daerah.

    Jumlah sekretariat tim pelaksana kegiatan diatur sebagai berikut:

    a. paling banyak 10 (sepuluh) orang untuk tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh kepala daerah; atau

    b. paling banyak 7 (tujuh) orang untuk tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh sekretaris daerah.

    Dalam hal tim pelaksana kegiatan telah terbentuk selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota melakukan evaluasi terhadap urgensi dan efektivitas keberadaan tim dimaksud untuk dipertimbangkan menjadi tugas dan fungsi suatu satuan kerja perangkat daerah.

    Tabel 1.1 Satuan Biaya Honorarium

    1.5.1. Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan

    1.5.1.1. Yang Ditetapkan Oleh Kepala Daerah

    a. Pengarah Rp1.500.000,00/OB

    b. Penanggungjawab Rp1.250.000,00/OB

    c. Ketua Rp1.000.000,00/OB

    d. Wakil Ketua Rp850.000,00/OB

    e. Sekretaris Rp750.000,00/OB

    f. Anggota Rp750.000,00/OB

    1.5.1.1. Yang Ditetapkan Oleh Sekretaris Daerah

    a. Pengarah Rp750.000,00/OB

    b. Penanggungjawab Rp700.000,00/OB

    c. Ketua Rp650.000,00/OB

    d. Wakil Ketua Rp600.000,00/OB

    e. Sekretaris Rp500.000,00/OB

    f. Anggota Rp500.000,00/OB

    1.5.2. Honorarium Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan

    1.5.2. Yang Ditetapkan Oleh Sekretaris Daerah

    a. Ketua/Wakil Ketua Rp250.000,00/OB

    b. Anggota Rp220.000,00/OB

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Berdasarkan Lampiran I Perpres 72/2025 pada angka 1.5, jumlah maksimal keikutsertaan dalam Tim Pelaksana Kegiatan atau Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan yang dapat diberikan honorariumnya kepada Pejabat Eselon I, II, III, dan IV, serta Pelaksana dan Pejabat Fungsional, disesuaikan dengan klasifikasi berdasarkan Tambahan Penghasilan Pegawai yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pembayaran honorarium tersebut menggunakan satuan Orang/Bulan (OB) sesuai ketentuan dalam Lampiran I Perpres 72/2025 pada Tabel 1.1.

    2. Perpres 72/2025 tidak mengatur mengenai jumlah maksimal keikutsertaan dalam Tim Pelaksana Kegiatan atau Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan yang dapat diikuti oleh Pejabat Eselon I, II, III, dan IV, serta Pelaksana dan Pejabat Fungsional.

    3. Selanjutnya berdasarkan Lampiran I Perpres 72/2025 pada angka 1.5.1 dan 1.5.2, Tim Pelaksana Kegiatan dapat dibayarkan honorariumnya sepanjang dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala daerah atau surat keputusan sekretaris daerah untuk melaksanakan suatu tugas tertentu, dan memenuhi kriteria secara kumulatif sebagai berikut:

    a. Mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur;

    b. Bersifat koordinatif untuk tim pemerintah daerah:

    1) Dengan mengikutsertakan instansi pemerintah di luar pemerintah daerah yang bersangkutan untuk tim yang ditandatangani oleh kepala daerah; atau

    2) Antar satuan kerja perangkat daerah untuk tim yang ditandatangani oleh sekretaris daerah.

    c. Bersifat temporer dan pelaksanaan kegiatannya perlu diprioritaskan.

    d. Merupakan tugas tambahan atau perangkapan fungsi bagi yang bersangkutan di luar tugas dan fungsi sehari-hari; dan

    e. Dilakukan secara selektif, efektif, dan efisien.

    4. Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan ditetapkan oleh Sekretariat Daerah dalam rangka menunjang kegiatan Tim Pelaksana Kegiatan, dengan honorarium yang dibatasi sebagai berikut:

    a. Dibayarkan untuk paling banyak 10 (sepuluh) orang, apabila dibentuk untuk menunjang kegiatan Tim Pelaksana Kegiatan yang ditetapkan oleh kepala daerah; atau

    b. Dibayarkan untuk paling banyak 7 (tujuh) orang, apabila dibentuk untuk menunjang kegiatan Tim Pelaksana Kegiatan yang ditetapkan oleh sekretaris daerah.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

     Peraturan 

    Peraturan
    Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional
     

      

    Berita 

    Prabowo Rilis
    Perpres Baru Soal Standar Harga dalam Penyusunan APBD
      


  • Apakah Pegawai Negeri Sipil yang bertugas pada RSUD dr. H. Jusuf SK selaku Badan Layanan Umum Daerah dapat menerima tambahan penghasilan pegawai (TPP) selain remunerasi yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Utara Nomor 22 Tahun 2017 tentang Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Pegawai, dan Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagai BLUD, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan, kepatuhan terhadap regulasi, serta asas tidak menerima penghasilan ganda dari sumber pendanaan yang sama?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011)

    Pasal 5

    Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

    a. kejelasan tujuan;

    b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

    c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

    d. dapat dilaksanakan;

    e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

    f. kejelasan rumusan; dan

    g. keterbukaan.

    Penjelasan Pasal 5 Huruf c

    Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

    Pasal 7 ayat (1)

    Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

    a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

    c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

    d. Peraturan Pemerintah;

    e. Peraturan Presiden;

    f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

    g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

    Pasal 7 ayat (2)

    Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Penjelasan Pasal 7 ayat (2)

    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

    Pasal 8 ayat (1)

    Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

    Pasal 8 ayat (2)

    Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

    2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    (PP 12/2019)

    Pasal 3 ayat (1)

    Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat, serta taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

    3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 (Permendagri 15/2024)

    Lampiran poin 3.4.1.1.2 huruf f angka 3)

    Kriteria penetapan besaran TPP ASN TA 2025 antara lain: 3) Mengintegrasikan dan memformulasikan pemberian insentif, lembur, honorarium, kompensasi lainnya, dan/atau apapun yang diterima ASN sepanjang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang diterima ASN ke dalam formula TPP ASN berdasarkan kriteria beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau pertimbangan objektif lainnya dengan mempertimbangkan tugas dan fungsi terkait pemberian honorarium, kompensasi lainnya, dan/atau yang menjadi bagian apapun yang diterima ASN menjadi bagian kelas jabatan.

    4. Peraturan Gubernur Kalimantan Utara Nomor 22 Tahun 2017 tentang Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Pegawai dan Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum Daerah (Pergub Kaltara 22/2017)

    Pasal 1 Angka 15

    Remunerasi adalah imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi dan pesangon.

    Pasal 5

    Setiap pegawai RS-BLUD berhak mendapatkan Remunerasi yang secara rinci diatur dalam Keputusan

    Direktur.

    Pasal 11

    (1) Sumber remunerasi Pejabat Pengelola dan Dewan Pengawas RS-BLUD dapat berasal dari komponen jasa sarana (biaya umum dan administrasi) dari penerimaan fungsional/jasa layanan RS-BLUD.

    (2) Gaji Pegawai RS-BLUD bersumber dari Pemerintah Daerah dan/atau biaya operasional/jasa sarana rumah sakit.

    (3) Gaji Pegawai RS-BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi pegawai RS-BLUD yang berstatus Pegawai Negeri Sipil berasal dari Pemerintah Daerah, sedangkan yang berstatus Non Pegawai Negeri Sipil berasal dari jasa sarana rumah sakit.

    (4) Insentif pegawai Non PNS RS-BLUD bersumber dari jasa sarana dan/atau keuntungan usaha-usaha lain.

    (5) Honorarium bersumber dari biaya operasional/jasa sarana RS-BLUD.

    (6) Tunjangan bersumber dari Pemerintah Daerah dan/atau biaya operasional/jasa sarana rumah sakit sesuai dengan peraturan perundangundangan.

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Remunerasi dalam Pergub Kaltara 22/2017 diartikan sebagai imbalan kerja mencakup gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, dan pesangon, yang menjadi hak setiap pegawai RS-BLUD dan diatur secara rinci melalui Keputusan Direktur.

    2. Sesuai ketentuan Pasal 11 Pergub Kaltara 22/2017, dijelaskan bahwa sumber remunerasi bagi pejabat pengelola dan dewan pengawas RS-BLUD dapat berasal dari komponen jasa sarana yang mencakup biaya umum dan administrasi dalam penerimaan fungsional rumah sakit. Adapun gaji pegawai RS-BLUD bersumber dari Anggaran Pemerintah Daerah dan/atau pendapatan operasional rumah sakit, dengan ketentuan bahwa gaji bagi pegawai berstatus PNS dibiayai oleh Pemerintah Daerah, sedangkan bagi Non-PNS berasal dari jasa sarana rumah sakit. Selain itu, insentif untuk pegawai Non-PNS dapat diberikan melalui pendapatan jasa sarana dan/atau hasil usaha lainnya. Sementara itu, pemberian honorarium dibiayai dari dana operasional rumah sakit, dan tunjangan diberikan berdasarkan anggaran Pemerintah Daerah dan/atau biaya jasa sarana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    3. Setiap kebijakan pengelolaan keuangan daerah wajib dilaksanakan tertib, efisien, transparan, dan bertanggung jawab sesuai prinsip good governance sebagaimana diatur Pasal 3 ayat (1) PP 12/2019, serta hanya diperkenankan apabila selaras dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai UU 12/2011 jo. UU 13/2022, khususnya terkait kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan.

    4. Dalam penyusunan APBD Tahun Anggaran 2025, seluruh bentuk insentif, lembur, honorarium, kompensasi lainnya, dan/atau apapun ASN wajib diintegrasikan ke dalam TPP berdasarkan Lampiran poin 3.4.1.1.2 huruf f angka 3) Permendagri 15/2024, dengan tetap menjunjung asas legalitas, akuntabilitas, dan supremasi hukum dalam kebijakan penganggaran, khususnya terhadap penerima remunerasi sesuai Pergub Kaltara 22/2017 yang juga penerima TPP (ASN) berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Utara Nomor 2 Tahun 2023.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13
    Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
     

    Peraturan
    Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
    Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025
     

    Peraturan
    Gubernur Kalimantan Utara Nomor 22 Tahun 2017 tentang Remunerasi bagi Pejabat
    Pengelola, Pegawai dan Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum
    Daerah
     

      

    Artikel 

    Pengaruh
    Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai terhadap
    Kepuasan Kerja dan Implikasinya pada Peningkatan
    Kinerja Pegawai
     

    Additional
    Impact of Employee Income and Community Culture on Employee Discipline
     

      

    Buku 

    Tambahan
    Penghasilan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah
      

  • Apakah LHP BPK atas yang sudah pernah diminta oleh APH dapat diminta oleh instansi lainnya?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU 15/2004)

    Pasal 19

    (1) Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum.

    (2) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

    2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU 15/2006)

    Pasal 7 ayat (5)

    Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum.

    3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008)

    Pasal 7 ayat (1)

    Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

    Pasal 8

    Kewajiban Badan Publik yang berkaitan dengan kearsipan dan pendokumentasian Informasi Publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 17

    Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:

    a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:

    1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;

    2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;

    3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;

    4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau

    5. membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.

    b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;

    c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:

    1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri;

    2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;

    3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya;

    4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;

    5. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia;

    6. sistem persandian negara; dan/atau

    7. sistem intelijen negara.

    d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;

    e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:

    1. rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;

    2. rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan;

    3. rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;

    4. rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;

    5. rencana awal investasi asing;

    6. proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/atau

    7. hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.

    f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri:

    1. posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;

    2. korespondensi diplomatik antarnegara;

    3. sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/atau

    4. perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.

    g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;

    h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:

    1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;

    2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;

    3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;

    4. hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau

    5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan non formal

    i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;

    j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

    4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (PP 61/2010)

    Pasal 3 ayat (1)

    Pengklasifikasian Informasi ditetapkan oleh PPID di setiap Badan Publik berdasarkan Pengujian Konsekuensi secara saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.

    5. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan (Peraturan BPK 1/2022)

    Pasal 5 ayat (2)

    PPID dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:

    a. menyimpan, mendokumentasikan, menyediakan, dan/atau melaksanakan pelayanan Informasi di lingkungan BPK;

    b. mengoordinasikan dan mengklasifikasikan Informasi Publik dari setiap unit/satuan kerja yang meliputi:

    1. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala;

    2. Informasi yang wajib tersedia setiap saat;

    3. Informasi terbuka lainnya yang diminta Pemohon Informasi Publik; 

    c. mengoordinasikan pendataan Informasi Publik yang dikuasai oleh setiap unit/satuan kerja di lingkungan BPK untuk pembuatan dan pemutakhiran DIP secara berkala;

    d. memberikan pertimbangan tertulis atas setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik; dan 

    e. melakukan Pengujian Konsekuensi sebelum menyatakan suatu Informasi Publik dikecualikan sebagai Informasi Publik yang dapat diakses.

    6. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Peraturan KI 1/2021)

    Pasal 49

    (1) Pengujian konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dapat dilakukan:

    a. sebelum adanya Permintaan Informasi Publik;

    b. pada saat adanya Permintaan Informasi Publik; atau

    c. pada saat penyelesaian sengketa Informasi Publik atas perintah Majelis Komisioner.

    (2) Pengujian konsekuensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

    a. mengidentifikasi dokumen Informasi Publik yang di dalamnya memuat Informasi yang akan dikecualikan;

    b. mencatat Informasi yang akan dikecualikan secara jelas dan terang; 

    c. menganalisis undang-undang yang dijadikan dasar pengecualian; 

    d. menganalisis dan mempertimbangkan berdasarkan kepatutan, kesusilaan, kepentingan umum dan/atau ukuran lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi dibuka.

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Bahwa hasil pemeriksaan BPK yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum serta wajib disediakan, diberikan, dan/atau diterbitkan sebagai informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    2. Bahwa BPK sebagai badan publik, berkewajiban menyediakan informasi publik di bawah kewenangannya kepada setiap pemohon, kecuali informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan UU 14/2008 jo. PP 61/2010 jis. Peraturan KI 1/2021.

    3. Berdasarkan Pasal 17 huruf a UU 14/2008, BPK wajib membuka akses atas LHP yang telah disampaikan kepada DPRD, kecuali jika isi laporan tersebut ditetapkan sebagai informasi yang dikecualikan karena berpotensi menghambat penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. Bahwa mekanisme pengujian konsekuensi merupakan prasyarat yuridis yang harus dilaksanakan secara cermat sebelum menetapkan suatu informasi sebagai informasi publik yang dikecualikan, dengan melalui tahapan identifikasi dokumen, pencatatan eksplisit, serta analisis hukum dan pertimbangan normatif atas dampak keterbukaan informasi. Di samping itu, penilaian terhadap pemanfaatan informasi hasil pemeriksaan BPK oleh aparat penegak hukum dalam proses hukum juga wajib diperhitungkan sebagai bagian integral dari pertimbangan pengecualian.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
    Negara
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
     

    Undang-Undang
    Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
    2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
     

    Peraturan Badan
    Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan
    Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan
     

    Peraturan Komisi
    Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik
     

      

    Artikel 

    Implementasi
    Pemberian Informasi Publik pada Badan
    Pemeriksa
    Keuangan
    Perwakilan Provinsi Jambi Berdasarkan Undang-Undang
    Nomor
    14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
     

    Publikasi LHP
    sebagai Wujud Pelaksanaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
     

      

    Buku 

    Akuntabilitas
    Publik
      

  • Bagaimanakah ketentuan pengaturan honorarium narasumber dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional, dan apakah penetapannya harus didasarkan pada surat keputusan atau cukup melalui surat tugas?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    (PP 12/2019)

    Pasal 51

    (1) Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (5) berpedoman pada standar harga satuan regional, analisis standar belanja, dan/atau standar teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2) Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6) dan ayat (7) berpedoman pada standar harga satuan regional, analisis standar belanja, dan/atau standar teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3) Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

    (4) Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai pedoman dalam menyusun standar harga satuan pada masing-masing Daerah.

    Pasal 121

    (1) (1) PA/KPA, Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran, dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

    (3) Kebenaran material sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kebenaran atas penggunaan anggaran dan Hasil yang dicapai atas Beban APBD sesuai dengan kewenangan pejabat yang bersangkutan.

    Pasal 141 ayat (1)

    Setiap pengeluaran harus didukung bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

    2. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional

    (Perpres 72/2025)

    Pasal 1

    (1) Dengan Peraturan Presiden ini ditetapkan standar harga satuan regional.

    (2) Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. satuan biaya honorarium;

    b. satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri;

    c. satuan biaya rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor;

    d. satuan biaya pengadaan kendaraan dinas; dan

    e. satuan biaya pemeliharaan.

    Pasal 2

    (1) Standar harga satuan regional yang bersifat batas tertinggi yang besarannya tidak dapat dilampaui dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

    (2) Standar harga satuan regional yang bersifat batas tertinggi yang besarannya tidak dapat dilampaui dalam perencanaan dan dapat dilampaui dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

    Pasal 3

    (1) Kepala daerah menetapkan standar harga satuan biaya honorarium, perjalanan dinas dalam negeri, rapat atau pertemuan di dalam dan di luar kantor, pengadaan kendaraan dinas, dan pemeliharaan berpedoman pada standar harga satuan regional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, dan kewajaran.

    (2) Kepala daerah dapat menetapkan standar harga satuan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Lampiran I

    meliputi 14 (empat belas) jenis honorarium:

    1.1. Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan;

    1.2. Honorarium Pengadaan Barang/Jasa;

    1.3. Honorarium Perangkat Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ);

    1.4. Honorarium Narasumber atau Pembahas, Moderator, Pembawa Acara, dan Panitia;

    1.5. Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan dan Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan;

    1.6. Honorarium Pemberi Keterangan Ahli, Saksi Ahli, dan Beracara;

    1.7. Honorarium Penyuluhan atau Pendampingan;

    1.8. Honorarium Rohaniwan;

    1.9. Honorarium Tim Penyusunan Jurnal, Buletin, Majalah, Pengelola Teknologi Informasi, dan Pengelola Website;

    1.10. Honorarium Penyelenggara Ujian;

    1.11. Honorarium Penulisan Butir Soal Tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Kota;

    1.12. Honorarium Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan;

    1.13. Honorarium Tim Anggaran Pemerintah Daerah;

    1.14. Honorarium Pengurus Barang Milik Daerah;

    Lampiran I angka 1.4.1

    Honorarium narasumber atau pembahas diberikan kepada pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, dan pihak lain yang memberikan informasi atau pengetahuan dalam kegiatan seminar, rapat, sosialisasi, diseminasi, bimbingan teknis, workshop, sarasehan, simposium, lokakarya, focus group disussion, dan kegiatan sejenis (tidak termasuk untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan).

    Honorarium narasumber atau pembahas dapat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

    a. satuan jam yang digunakan dalam pemberian honorarium narasumber atau pembahas adalah 60 (enam puluh) menit, baik dilakukan secara panel maupun individual.

    b. narasumber atau pembahas berasal dari:

    1) luar satuan kerja perangkat daerah penyelenggara atau masyarakat; atau

    2) dalam satuan kerja perangkat daerah penyelenggara sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar satuan kerja perangkat daerah penyelenggara dan/atau masyarakat.

    c. Dalam hal narasumber atau pembahas tersebut berasal dari satuan kerja perangkat daerah penyelenggara, maka diberikan honorarium sebesar 50% (lima puluh persen) dari honorarium narasumber/pembahas.

    Tabel 1.1. Satuan Biaya Honorarium  

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, dan pihak lain dapat diberikan honorarium narasumber atau pembahas dalam rangka pelaksanaan kegiatan seminar, rapat, sosialisasi, diseminasi, bimbingan teknis, workshop, sarasehan, simposium, lokakarya, focus group disussion, dan kegiatan sejenis (tidak termasuk untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan), Dengan demikian, sepanjang kegiatan yang dilaksanakan telah memenuhi ketentuan pemberian honorarium sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 angka 1.4.1 Perpres 72/2025, dalam ini peran atau keikutsertaan Pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, dan pihak lain dalam kegiatan tersebut adalah bertindak sebagai narasumber atau pembahas atas kegiatan menyampaikan materi, informasi atau pengetahuan pada kegiatan, baik yang sifatnya pembinaan maupun arahan teknis, maka dapat diberikan honorarium sebagai Narasumber.

    2. Dalam rangka penatausahaan dokumen pertanggungjawaban atas pengeluaran APBD, Surat Tugas yang memuat rincian pelaksanaan tugas, waktu, lokasi, serta pejabat penandatangan dapat dijadikan dasar legalitas, di mana pejabat tersebut bertanggung jawab secara material atas isi dan akibat hukum dari surat tersebut. Adapun Surat Keputusan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah digunakan untuk membentuk tim kerja kolektif dengan tugas terkoordinasi guna mendukung pelaksanaan program yang memerlukan legitimasi formal dan tanggung jawab bersama. Sebaliknya, Surat Tugas bersifat individual dan berfungsi sebagai dasar penugasan narasumber dalam suatu kegiatan tertentu, yang mencakup pengesahan pelaksanaan tugas serta validasi atas hak administratif seperti honorarium.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.


    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 

    Peraturan
    Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional
     

    Peraturan
    Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Naskah
    Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah
     

      

    Artikel 

    Standar
    Pelayanan Penyediaan Narasumber di Lingkungan Kementerian Pendayagunaan
    Aparatur Negara dan Reformasi
    Birokrasi
      

  • Bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur mekanisme penyetoran uang pengganti atas kerugian daerah ke Kas Negara, serta apakah pemerintah daerah memiliki dasar hukum untuk menarik kembali dana tersebut dan mengakuinya sebagai piutang lain-lain?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    Pasal 10 huruf b

    Pidana terdiri atas: b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.

    2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU PTPK)

    Pasal 2

    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Pasal 3

    Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Pasal 18

    (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

    a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

    b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

    c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

    d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

    (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

    (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004)

    Pasal 1 Angka 2

    Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh menteri keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

    Pasal 1 Angka 4

    Kas Daerah sebagai tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

    Pasal 1 Angka 7

    Piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

    Pasal 9 ayat (2) huruf m dan n

    Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah berwenang antara lain: m. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; n. melakukan penagihan piutang daerah;

    Pasal 14 ayat (1)

    Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 62

    (1) Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

    (2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    (3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.

    4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU 15/2004)

    Pasal 22 ayat (4)

    Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.

    5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain (PP 38/2016)

    Pasal 41

    Berdasarkan surat penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Pihak yang Merugikan/Pengampu/yang Memperoleh Hak/Ahli Waris menyetorkan ganti Kerugian Negara/Daerah ke Kas Negara/Daerah.

    6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia (PP 39/2016)

    Pasal 1 ayat (1) huruf a

    Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia meliputi penerimaan dari antara lain: a. pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi;

    Pasal 1 ayat (2)

    Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf o merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dan/atau akibat dari penetapan hakim

    dan/atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    Pasal 1 ayat (3)

    Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h, sebesar yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    Pasal 1 Angka 1

    Keuangan Daerah sebagai semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.

    Pasal 1 Angka 49

    Piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.

    Pasal 8 ayat (3) huruf j dan huruf k

    Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: antara lain untuk melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah dan melakukan penagihan piutang daerah.

    8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pembayaran atas Transaksi Pengembalian Penerimaan Negara (PMK 96/2017)

    Pasal 2

    (1) Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara yang telah disetor melalui Kas Negara pada tahun anggaran berjalan maupun tahun anggaran yang lalu.

    (2) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. pengembalian PNBP;

    b. pengembalian penerimaan pajak dan bea cukai; dan

    c. pengembalian Penerimaan Negara yang disetor melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN).

    Pasal 3

    (1) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang disetorkan pada tahun anggaran berjalan dibukukan sebagai pengurang Penerimaan Negara bersangkutan dan dibebankan pada akun penerimaan yang sama dengan akun yang digunakan pada saat penyetorannya.

    (2) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dibebankan pada Sisa Anggaran Lebih (SAL).

    (3) Permintaan pengembalian Penerimaan Negara dilakukan berdasarkan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang sah.

    Pasal 4

    (1) Pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dilakukan oleh Direktorat Sistem Perbendaharaan selaku satuan kerja pengembalian Penerimaan Negara atas beban SAL.

    (2) Pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara melalui RKUN pada tahun anggaran berjalan dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara selaku satuan kerja pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara melalui RKUN.

    Pasal 6

    Pengembalian PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal terjadi:

    a. Keterlanjuran setoran/kelebihan penyetoran PNBP;

    b. Kelebihan pemotongan pada SPM atas transaksi PNBP; atau

    c. Kesalahan perekaman dan eksekusi Kode Billing setoran PNBP oleh Bank/Pos Persepsi.

    Pasal 12

    Pengembalian PNBP yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

    a. Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi menyampaikan permintaan pengembalian PNBP kepada KPA dengan dilampiri BPN dan fotokopi bukti kepemilikan rekening tujuan;

    b. KPA melakukan pengujian atas keabsahan BPN dan kebenaran perhitungan jumlah pengembalian yang diajukan oleh Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi; dan

    c. KPA menyampaikan permintaan penerbitan SKTB kepada KPPN mitra kerja, atas setoran PNBP yang dimintakan pengembalian.

    Pasal 13

    (1) Berdasarkan permintaan penerbitan SKTB dari KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, KPPN mitra kerja melakukan penelitian untuk memastikan setoran dimaksud telah diterima dan telah dibukukan oleh KPPN.

    (2) Dalam hal setoran dimaksud telah diterima dan telah telah dibukukan, KPPN Mitra kerja menerbitkan SKTB dengan menggunakan format tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    (3) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya disampaikan kepada KPA.

    Pasal 14

    (1) Berdasarkan SKTB dari KPPN mitra kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), KPA menerbitkan SKKSPN dengan menggunakan format tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    (2) KPA menyampaikan permintaan pengembalian PNBP kepada Direktorat Sistem Perbendaharaan melalui KPPN mitra kerja, dilampiri dengan:

    a. SKKSPN;

    b. SKTB;

    c. fotokopi BPN;

    d. fotokopi bukti kepemilikan rekening tujuan; dan

    e. SPTJM yang dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Pasal 15

    (1) KPPN mitra kerja meneruskan permintaan pengembalian PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada Direktorat Sistem Perbendaharaan.

    (2) Direktorat Sistem Perbendaharaan melakukan pengujian dan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen permintaan pengembalian penerimaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    (3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan membandingkan kesesuaian antara jumlah permintaan pengembalian PNBP dengan dokumen lampiran.

    (4) Dalam hal permintaan pengembalian atas Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lengkap dan benar, Direktorat Sistem Perbendaharaan menerbitkan SPMPP.

    (5) SPMPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada KPPN Jakarta II.

    (6) Dalam hal SPMPP diterbitkan dalam mata uang asing, SPMPP diajukan kepada KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah.

    (7) Proses penerbitan dan pengajuan SPMPP dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Pasal 16

    Berdasarkan SPMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) atau ayat (6), KPPN Jakarta II/KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    9. Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara (Peraturan BPK 3/2007)

    Pasal 29

    (1) Berdasarkan surat keputusan pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan, bendahara wajib mengganti kerugian negara dengan cara menyetorkan secara tunai ke kas negara/daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat keputusan pembebanan.

    (2) Dalam hal bendahara telah mengganti kerugian negara secara tunai, maka harta kekayaan yang telah disita dikembalikan kepada yang bersangkutan.

    10. Standar Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual

    BAB II

    Peristiwa yang menimbulkan piutang antara lain:

    2.1. Pungutan Pendapatan Negara/Daerah

    Timbulnya piutang di lingkungan pemerintahan pada umumnya terjadi karena adanya tunggakan pungutan pendapatan dan pemberian pinjaman serta transaksi lainnya yang menimbulkan hak tagih dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Pendapatan Pemerintah Pusat dikelompokkan menjadi Pendapatan Pajak, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Pendapatan Hibah. Pendapatan pemerintah daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, dimana dalam komponen PAD terdapat Pendapatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

    2.2. Perikatan

    Terdapat berbagai perikatan antara instansi pemerintah dengan pihak lain yang menimbulkan piutang, seperti pemberian pinjaman, penjualan kredit, kemitraan.

    2.3. Kerugian Negara/Daerah

    Piutang atas kerugian Negara/Daerah sering disebut sebagai piutang Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan Tuntutan Perbendaharaan (TP). Tuntutan Ganti Rugi dikenakan oleh atasan langsung pegawai negeri ataupun bukan pegawai negeri yang bukan bendaharawan yang karena lalai atau perbuatan melawan hukum mengakibatkan kerugian Negara/Daerah. Tuntutan Perbendaharaan ditetapkan oleh BPK kepada bendahara yang karena lalai atau perbuatan melawan hukum mengakibatkan kerugian Negara/Daerah.

    Penyelesaian atas Tuntutan Ganti Rugi/Tuntutan Perbendaharaan ini dapat dilakukan dengan cara damai (di luar pengadilan) atau melalui pengadilan. Apabila penyelesaian tagihan ini dilakukan dengan cara damai, maka setelah proses pemeriksaan selesai dan telah ada Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM) dari pihak yang bersangkutan, diakui sebagai Piutang Tuntutan Ganti Rugi/Tuntutan Perbendaharaan dan disajikan di neraca untuk jumlah yang akan diterima lebih dari 12 bulan mendatang dan disajikan sebagai piutang kelompok aset lancar untuk jumlah yang akan diterima dalam waktu 12 bulan mendatang.

    Dalam hal yang bersangkutan memilih menggunakan jalur pengadilan, pengakuan piutang dilakukan setelah terdapat surat ketetapan. Apabila terdapat barang/uang yang disita oleh Negara/Daerah sebagai jaminan maka hal ini wajib diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).

    11. Standar Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah

    BAB III poin 3.3.1. Pengakuan

    Suatu peristiwa yang mengakibatkan terjadinya kerugian Negara/Daerah berdasarkan putusan pengadilan dapat menimbulkan beberapa pengakuan akuntansi di entitas terkait, yaitu:

    a. Entitas yang mengalami kerugian Negara/Daerah

    1) Pengakuan Beban Non Operasional

    Beban Non Operasional diakui pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    2) Pengakuan atas kekurangan aset

    Diakui dengan mengeluarkan atau mengurangkan dari neraca pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    b. Entitas Yang Berhak Menerima

    1) Pengakuan atas Piutang Ganti kerugian Negara/Daerah

    Piutang Ganti Kerugian diakui di neraca pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    2) Pengakuan Pendapatan LRA

    Pendapatan LRA yang berasal dari pelunasan piutang ganti kerugian Negara/Daerah diakui pada saat diterima di Kas Negara/Daerah.

    3) Pengakuan Pendapatan Laporan Operasional (LO)

    Pendapatan LO diakui pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    BAB III poin 3.3.2. Pengukuran

    Pengukuran nilai kerugian Negara/Daerah yang berasal dari kerugian Negara/Daerah karena putusan pengadilan adalah sebagai berikut:

    a. Beban kerugian Negara/Daerah dan kekurangan aset diukur berdasarkan nilai yang dihitung oleh Ahli.

    b. Piutang Ganti kerugian Negara/Daerah dan Pendapatan LO diukur berdasarkan nilai putusan hakim.

    c. Pendapatan LRA yang berasal dari pelunasan piutang ganti kerugian Negara/Daerah diukur sebesar jumlah yang diterima di Kas Negara.

    BAB III poin 3.4. Pengungkapan Kerugian Negara/Daerah

    Pengungkapan kerugian Negara/Daerah pada CaLK antara lain:

    a. Kebijakan akuntansi kerugian Negara/Daerah.

    b. Informasi mengenai akun piutang diungkapkan dalam Catatan Atas Laporan Keuangan. Informasi dimaksud dapat berupa:

    1) Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penilaian, pengakuan dan pengukuran tagihan TGR;

    2) Rincian jenis-jenis, saldo menurut umur untuk mengetahui tingkat kolektibilitasnya;

    3) Penjelasan atas penyelesaian piutang, masih di kementerian Negara/lembaga/daerah atau telah diserahkan penagihannya ke PUPN;

    4) Tuntutan ganti rugi/perbendaharaan yang masih dalam proses penyelesaian, baik melalui cara damai maupun pengadilan.

    c. Dalam hal terdapat barang/uang yang disita oleh Negara/Daerah sebagai jaminan maka hal ini wajib diungkapkan.

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Mekanisme pengembalian uang pengganti ke Kas Daerah memiliki dasar hukum yang jelas, yaitu melalui ketentuan Pasal 6 PMK 96/PMK.05/2017, yang memberikan ruang bagi Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi untuk mengajukan permintaan pengembalian atas PNBP yang telah disetorkan ke Kas Negara, dalam hal dana tersebut seharusnya menjadi hak pemerintah daerah.

    2. Pemerintah daerah berwenang untuk menarik kembali dana yang disetorkan ke Kas Negara, sepanjang dana tersebut merupakan hak daerah atas dasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menetapkan adanya kerugian daerah dan pembayaran uang pengganti.

    3. Penarikan dana oleh pemerintah daerah tersebut dapat dicatat sebagai piutang lain-lain, berdasarkan pengakuan dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diatur dalam Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah, di mana entitas penerima berhak mengakui piutang ganti kerugian di neraca pada saat terdapat putusan pengadilan.

    4. Secara akuntansi, pemerintah daerah yang mengalami kerugian wajib mengakui beban non operasional dan kekurangan aset, yang dicatat saat putusan pengadilan dinyatakan, sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban keuangan.

    5. Sebaliknya, entitas penerima dalam hal ini pemerintah daerah, berhak mencatat piutang ganti rugi dan pendapatan LRA, serta mengakui pendapatan dalam Laporan Operasional (LO), yang masing-masing diakui pada saat terjadi pelunasan piutang atau ketika putusan pengadilan dikeluarkan.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
     

    Undang-Undang
    Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
     

    Undang-Undang
    Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
    Negara
     

    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
    tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian
    Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
    Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia
     

    Peraturan Badan
    Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti
    Kerugian Negara Terhadap Bendahara
     

    Peraturan
    Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pembayaran atas
    Transaksi Pengembalian Penerimaan Negara
     

    Standar
    Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis
    Akrual
     

    Standar
    Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian
    Negara/Daerah
     

      

      

    Artikel 

    Kewenangan
    Penghitungan Kerugian Negara
     

    Ketika KPK
    Diperintahkan Kembalikan Setoran Uang Eks Pejabat Unud
     

    Antara Uang
    Pengganti dan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
     

    Pembayaran Uang
    Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan dengan Undang-Undang tentang
    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
     

    Peran Kejaksaan
    Tinggi Sumatera Utara dalam Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak
    Pidana Korupsi (Studi Penelitian di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara)
     

      

    Buku 

    Manajemen Perbendaharaan
    Negara
     

      

    Slide PowerPoint 

    Kerugian Negara 

    Tindak Lanjut
    LHP dan Pemantauan Kerugian Negara


  • Apakah diperkenankan mengajukan permohonan ahli penghitungan kerugian negara kepada BPK apabila telah terdapat laporan hasil penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh instansi selain BPK?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:
    1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (UU Tipikor)

    Penjelasan Pasal 32

    Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

    2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU 15/2004)

    Pasal 13

    Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian 

    negara/daerah dan/atau unsur pidana.

    3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU 15/2006)

    Pasal 10

    (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

    (2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.

    4. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif, Penghitungan Kerugian Negara/Daerah, dan Pemberian Keterangan Ahli

    (Peraturan BPK 1/2020)

    Pasal 13

    Penghitungan Kerugian Negara/Daerah dilakukan melalui Pemeriksaan Investigatif yang bertujuan untuk mengungkap ada atau tidaknya Kerugian Negara/Daerah termasuk menghitung nilai Kerugian Negara/ Daerah yang terjadi sebagai akibat dari penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. 

    Pasal 14

    Penghitungan Kerugian Negara/Daerah dilakukan oleh BPK dalam proses penyidikan suatu tindak pidana oleh Instansi yang Berwenang.

    Pasal 20

    (1) BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai Kerugian Negara/ Daerah. 

    (2) Keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Anggota BPK dan/atau Pelaksana BPK berdasarkan penugasan BPK. 

    Pasal 21

    Pemberian keterangan ahli dilakukan oleh BPK berdasarkan permintaan dari Instansi yang Berwenang. 

    Pasal 22

    Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 disampaikan secara tertulis kepada Ketua BPK melalui surat pejabat yang berwenang di lingkungan Instansi yang Berwenang. 

    Pasal 23

    Pemberian keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan dan/atau peradilan. 

    Pasal 24

    BPK dapat berkoordinasi dengan Instansi yang Berwenang dalam rangka menindaklanjuti permintaan pemberian keterangan ahli.

    Pasal 25

    (1) Keterangan ahli diberikan berdasarkan laporan Hasil Pemeriksaan penghitungan Kerugian Negara/Daerah.

    (2) Dalam hal permintaan pemberian keterangan ahli tidak didasarkan pada laporan Hasil Pemeriksaan penghitungan Kerugian Negara/Daerah, keterangan ahli dapat dipenuhi terkait dengan metodologi dan pengetahuan lain berkaitan dengan Pemeriksaan investigatif dan penghitungan Kerugian Negara/Daerah.

    5. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (SEMA 4/2016)

    A. Rumusan Hukum Kamar Pidana

    6. Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara;

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta norma hukum yang berlaku, bersama ini kami sampaikan bahwa terhadap permohonan pelaksanaan penghitungan kerugian negara (PKN) oleh BPK, apabila sebelumnya telah terdapat laporan hasil PKN yang dilakukan oleh instansi selain BPK, maka terdapat tiga opsi yang secara normatif dapat dipertimbangkan:

    1. Pertama, mengakui hasil perhitungan pihak lain sebagai PKN BPK, namun opsi ini tidak memiliki dasar hukum;

    2. Kedua, menjadikan hasil perhitungan pihak lain sebagai informasi awal yang kemudian ditindaklanjuti dengan PKN secara mandiri oleh BPK; dan

    3. Ketiga, BPK melakukan PKN secara independen tanpa memperhitungkan hasil perhitungan dari pihak lain.

    Dalam hal ini, opsi kedua dan ketiga dapat dilaksanakan sepanjang terdapat permintaan secara tertulis dari pejabat yang berwenang di lingkungan Instansi yang Berwenang kepada Ketua BPK pada tahap penyidikan, dan BPK memiliki dasar hukum yang memadai untuk melaksanakan PKN tersebut.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
    Negara
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
     

    Peraturan Badan
    Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif,
    Penghitungan Kerugian Negara/Daerah, dan Pemberian Keterangan Ahli
     

    Surat Edaran
    Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
    Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan
     

      

    Artikel 

    Kewenangan Penghitungan Kerugian Negara 

    Siapa Pihak yang
    Menilai Kerugian Keuangan Negara dalam Tipikor?
     

    Penentuan
    Kerugian Keuangan Negara Akibat Penyalahgunaan Kewenangan Pejabat Pemerintah
     

    Kewenangan Badan
    Pengawas Keuangan dan Pembangunan
    (BPKP) dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara pada Kasus Tipikor
     

    Kewenangan Badan
    Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
    Menentukan Unsur Kerugian Negara terhadap Tindak
    Pidana Korupsi
     

    Kewenangan Jaksa
    dalam Menghitung Kerugian Negara pada Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor: Print
    -05/N.9.11.4/Fd.1/12/2017 Hubungannya dengan Sema Nomor
    04 Tahun 2016
     

    Peran Pemberian
    Keterangan Ahli oleh Auditor
    Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atas
    Penghitungan Kerugian Negara terhadap Putusan
    Hakim dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
     

    Kewenangan Badan
    Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
    dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara
     

    Kewenangan Penghitungan Kerugian Negara 

      

    Buku 

    Pertanggungjawaban Atas Kerugian Keuangan Negara Dalam
    Perspektif Hukum Administrasi, Perdata/Bisnis dan Pidana/Korupsi
     

      

    Slide PowerPoint 

    Perhitungan
    Kerugian Negara
     

    Penghitungan
    Kerugian Keuangan Negara di Indonesia
      

  • Apakah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah ditetapkan sebagai utang pemerintah daerah oleh BPK dapat langsung dieksekusi untuk pelaksanaan pembayaran kepada pihak Pemohon selaku pemenang gugatan perdata?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) 

    Pasal 1917

    Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. 

    Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula. 

    Pasal 1918  

    Suatu putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang menyatakan hukuman kepada seseorang yang karena suatu kejahatan atau pelanggaran dalam suatu perkara perdata, dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. 

    2. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) 

    Penjelasan Pasal 195 

    Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu.
    Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya
     

    Dalam hal ini
    tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi
    putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah
    dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.
      

    Pasal 196

    Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

    Pasal 197 

    Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu. 

    Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.

    Apabila panitera berhalangan karena pekerjaan jabatannya atau oleh sebab yang lain, maka ia digantikan oleh seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya, yang untuk itu ditunjukkan oleh ketua atau atas permohonan panitera oleh Kepala Daerah, dalam hal penunjukan yang menurut tersebut tadi, ketua berkuasa pula, menurut keadaan bilamana perlu ditimbangnya untuk menghemat biaya berhubung dengan jauhnya tempat penyitaan itu harus dilakukan. 

    Penunjukan orang itu dilakukan dengan menyebutkannya saja atau dengan mencatatnya pada surat perintah yang tersebut pada ayat pertama pasal ini. 

    Panitera itu atau orang yang ditunjukkan sebagai penggantinya membuat berita acara tentang pekerjaannya, dan kepada orang yang disita barangnya itu diberitahukan maksudnya, kalau ia ada hadir. 

    Di waktu melakukan penyitaan itu ia dibantu oleh dua orang saksi, yang namanya, pekerjaannya dan tempat diamnya disebutkan dalam pemberitaan acara, dan mereka turut menandatangani surat asli pemberitaan acara itu dan salinannya.

    Saksi itu haruslah penduduk Indonesia, telah cukup umurnya 21 tahun dan terkenal sebagai orang yang dapat dipercaya pada yang melakukan penyitaan itu.

    Penyitaan barang yang tidak tetap kepunyaan orang yang berutang, termasuk juga dalam bilangan itu uang tunai dan surat-surat yang berharga uang dapat juga dilakukan atas barang berwujud, yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak dapat dijalankan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh dipergunakan menjalankan pencaharian orang yang terhukum itu. 

    Panitera atau orang yang ditunjuk menggantinya, menurut keadaan, dapat meninggalkan barang-barang yang tidak tetap atau sebagian dari itu dalam persimpanan orang yang barangnya disita itu, atau menyuruh membawa sebagian dari barang itu ke satu tempat persimpanan yang patut. Dalam hal pertama, maka ia memberitahukan kepada polisi desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus menjaga, supaya jangan ada dari barang itu dilarikan. Opstal Indonesia tidak dapat dibawa ke tempat lain

    3. Rechtreglement voor de Buitengewesten (“Rbg”)

    Pasal 206

    (1) pelaksanaan hukum (eksekusi) perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam tingkat pertama dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua menurut cara yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut.

    (2) Jika putusan seluruhnya atau sebagian harus dilaksanakan di luar wilayah hukum jaksa di tempat kedudukan pengadilan negeri atau ketua tidak ada di tempat itu, maka ketua dapat minta secara tertulis perantaraan jaksa yang bersangkutan. 

    (3) Dalam hal putusan itu seluruhnya atau sebagian harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri, maka ia secara tertulis minta perantaraan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan, juga jika pengadilan negeri ini ada di pulau Jawa dan Madura - ketua ini bertindak serupa jika ternyata pelaksanaan harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negerinya. 

    (4) Bagi ketua pengadilan negeri yang diminta perantaraannya oleh rekannya di Jawa dan Madura, berlaku ketentuan-ketentuan bab ini terhadap segala akibat tindakan-tindakan yang dimintakan kepadanya. 

    (5) Ketua yang diminta perantaraannya secepatnya memberitahukan tentang tindakan-tindakan yang dimintakan kepadanya dan kemudian memberitahukan hasilnya kepada pengadilan negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. 

    (6) perlawanan, juga yang datang dari pihak ketiga, berdasarkan hak milik yang diakui olehnya yang disita untuk pelaksanaan putusan, juga semua sengketa mengenai upaya-upaya paksa yang diperintahkan, diadili oleh pengadilan negeri yang mempunyai wilayah hukum di mana dilakukan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan keputusan hakim. 

    (7) Tentang perselisihan-perselisihan yang timbul dan tentang keputusan-keputusan yang telah diambil, tiap-tiap kali harus segera, oleh ketua pengadilan negeri, diberitahukan kepada ketua pengadilan negeri yang memutus dalam tingkat pertama. (IR. 195.)

    4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 14/1985)

    Pasal 34

    Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini.

    Penjelasan Pasal 45 ayat (3)

    Yang dimaksudkan dengan "tidak boleh merugikan pihak yang berperkara" tersebut ayat (3) ialah tidak

    menunda pelaksanaan dan tidak mengubah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

    tetap.

    5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU 22/2002)

    Pasal 2 ayat (1)

    Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:

    a. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 

    b. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

    c. putusan kasasi.

    6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004)

    Pasal 1 Angka 9

    Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

    Pasal 50

    Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:

    a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

    b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;

    c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

    d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;

    e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.

    7. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009)

    Pasal 13 

    (1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

    (2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 

    (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

    Pasal 24

    (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

    (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

    Pasal 54

    (1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

    (2) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

    (3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan. 

    Pasal 55

    (1) Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    (2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU 30/2014)

    Pasal 18 ayat (3)

    Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

    a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau

    b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

    9. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (PP 8/2006)

    Lampiran I-D

    Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) bertujuan untuk menginformasikan pengungkapan yang diperlukan atas laporan keuangan. 

    V. Pengungkapan-pengungkapan lainnya

    Berisi hal-hal yang mempengaruhi laporan keuangan, antara lain: 

    a) Penggantian manajemen pemerintahan selama tahun berjalan. 

    b) Kesalahan manajemen terdahulu yang telah dikoreksi oleh manajemen baru 

    c) Kontijensi, yaitu suatu kondisi atau situasi yang belum memiliki kepastian pada tanggal neraca. Misalnya, jika ada tuntutan hukum yang substansial dan hasil akhirnya bisa diperkirakan. Kontijensi ini harus diungkapkan dalam catatan atas neraca.

    d) Komitmen, yaitu bentuk perjanjian dengan pihak ketiga yang harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. 

    e) Penggabungan atau pemekaran entitas tahun berjalan. 

    f) Kejadian yang mempunyai dampak sosial, misalnya adanya pemogokan yang harus ditanggulangi pemerintah.

    g) Kejadian penting setelah tanggal neraca (subsequent event) yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkiraan yang disajikan dalam neraca.

    Dengan demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Bahwa putusan hakim merupakan pernyataan tertulis yang diucapkan dalam persidangan oleh hakim sebagai pejabat negara yang berwenang, yang mengikat para pihak sebagai hukum dan memuat perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan sesuai ketentuan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata jo. Pasal 13 UU 48/2009.

    2. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 195, 196, dan 197 HIR serta Penjelasan Pasal 2 ayat (1) 

    UU 22/2002, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) merupakan putusan yang tidak lagi dapat dibatalkan melalui upaya hukum biasa dan oleh karenanya wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh para pihak.

    3. Bahwa eksekusi putusan pengadilan dalam perkara perdata dilaksanakan oleh panitera dan juru sita di bawah pimpinan ketua pengadilan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR jo. Pasal 206 ayat (1) Rbg jis. Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU 48/2009. Selanjutnya, sesuai Pasal 55 ayat (1) dan (2) UU 48/2009, ketua pengadilan berkewajiban mengawasi eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan tetap mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk larangan penyitaan terhadap aset negara/daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 50 UU 1/2004.

    4. Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap masih dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, sepanjang didasarkan pada alasan-alasan yang ditentukan dalam Bab IV Bagian Keempat UU 14/1985, tanpa menunda eksekusi maupun mengubah isi putusan yang telah inkracht demi menjaga kepastian dan keadilan hukum bagi para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan Penjelasan Pasal 45 ayat (3) UU 14/1985 jo. 

    Pasal 24 UU 48/2009.

    5. Berdasarkan Lampiran I-D PP 8/2006, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib diakui sebagai kewajiban yang memengaruhi laporan keuangan dan dicatat sebagai utang kepada pihak ketiga dalam LKPD Kabupaten Tana Tidung sesuai sistem akuntansi berbasis akrual. Apabila hingga tanggal pelaporan kewajiban tersebut belum dianggarkan atau belum terdapat kepastian pengeluaran sumber daya, maka Pemerintah Daerah dapat mengungkapkannya dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) serta menganggarkannya pada tahun anggaran berikutnya.

    6. Bahwa kewenangan BPK secara konstitusional terbatas pada pelaksanaan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, yang meliputi pemeriksaan keuangan, kinerja, dan tujuan tertentu, tanpa mencakup pemberian pendapat terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Namun demikian, dalam menjalankan fungsi pengawasannya, BPK tetap memastikan bahwa keputusan dan/atau tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang diperiksa tidak bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 

    Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) 

    Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg) 

    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi 

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 

    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
    1985 tentang Mahkamah Agung
     

    Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 

    Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
    Pemerintah
     

      

    Artikel 

    Perkembangan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah Pasca-Undang-Undang Nomor 30
    Tahun 2014
     

    Peluang Menggunakan Contempt of Court Atasi Masalah Eksekusi Putusan Perdata 

    Mengenai Eksekusi Putusan Perdata oleh Pihak yang Kalah 

    Buku 

    Eksekusi Putusan Perdata: Proses Eksekusi dalam Tataran Teori dan Praktik 

    Buku Hukum Acara Perdata 

    Buku HAP 

  • Bagaimana status pemantauan penyelesaian kerugian negara yang disebabkan oleh eks Bendahara RSUD Nunukan dalam kasus dugaan korupsi anggaran BLUD Covid-19 di RSUD Nunukan, serta apakah informasi ini dilaporkan dan harus ditetapkan oleh Majelis Tuntutan Perbendaharaan (MTP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
    Negara

    Pasal 35 

    (1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
     

    (2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang
    negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada
    dalam pengurusannya.  

    (4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara. 

    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
    Negara

    Pasal 1 Angka 14

    Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/ menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah. 

    Pasal 1 Angka 22

    Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 

    Pasal 59

    (1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan
    sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 

    (2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut. 

    (3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun. 

    Pasal 61

    (1) Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala satuan kerja perangkat daerah kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.  

    (2) Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata
    melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dapat segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia
    mengganti kerugian daerah dimaksud.  

    (3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah,
    gubernur/bupati/ walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan. 

    Pasal 62

    (1) Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa
    Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

    (3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan
    pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. 

    Pasal 64

    (1) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai
    sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. 

    (2) Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. 

    Pasal 65

    Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. 

    Pasal 66

    (1) Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian negara/daerah berada dalam
    pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan. 

    (2) Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat/yang berwenang mengenai adanya kerugian negara/daerah.  

    Pasal 67

    (1) Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan
    milik negara/daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.  

    (2) Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan negara/daerah dan
    badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. 

     3. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara  

    Pasal 2

    Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan ini mengatur tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara di lingkungan instansi pemerintah/lembaga negara dan bendahara lainnya yang mengelola keuangan negara. 

    Pasal 3

    Informasi tentang kerugian negara dapat diketahui dari:  

    a. Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.  

    b. Pengawasan aparat pengawasan fungsional.  

    c. Pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan kerja.  

    d. Perhitungan ex officio. 

    Pasal 4

    (1) Pimpinan instansi wajib membentuk TPKN.  

    (2) TPKN terdiri dari: 

    a. Sekretaris jenderal/kepala kesekretariatan badan-badan lain/sekretaris daerah provinsi/kabupaten/kota sebagai ketua; 

    b. Inspektur jenderal/kepala satuan pengawasan internal/inspektur provinsi/kabupaten/kota sebagai wakil ketua; 

    c. Kepala biro/bagian keuangan/kepala badan pengelola keuangan daerah sebagai sekretaris; 

    d. Personil lain yang berasal dari unit kerja di bidang pengawasan, keuangan, kepegawaian, hukum, umum, dan bidang lain terkait sebagai
    anggota; 

    e. Sekretariat 

    Pasal 6

    (1) TPKN bertugas membantu pimpinan instansi dalam memproses penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara yang pembebanannya akan
    ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), TPKN menyelenggarakan fungsi untuk:  

    a. menginventarisasi kasus kerugian negara yang diterima;  

    b. menghitung jumlah kerugian negara;  

    c. mengumpulkan dan melakukan verifikasi bukti-bukti pendukung bahwa bendahara telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja
    maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara;  

    d. menginventarisasi harta kekayaan milik bendahara yang dapat dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian negara;  

    e. menyelesaikan kerugian negara melalui SKTJM;  

    f. memberikan pertimbangan kepada pimpinan instansi tentang kerugian negara sebagai bahan pengambilan keputusan dalam menetapkan pembebanan sementara;  

    g. menatausahakan penyelesaian kerugian negara;  

    h. menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian kerugian negara kepada pimpinan instansi dengan tembusan disampaikan kepada Badan
    Pemeriksa Keuangan. 

    Pasal 7

    (1) Atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja wajib melaporkan setiap kerugian negara kepada pimpinan instansi dan memberitahukan
    Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara diketahui.  

    (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi sekurang-kurangnya dengan dokumen Berita Acara Pemeriksaan
    Kas/Barang.  

    (3) Bentuk dan isi surat pemberitahuan kepada Badan Pemeriksa Keuangan tentang kerugian negara dibuat sesuai dengan Lampiran I. 

    Pasal 8

    Pimpinan instansi segera menugaskan TPKN untuk menindaklanjuti setiap kasus kerugian negara selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima laporan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1). 

    Pasal 11

    (1) TPKN melaporkan hasil verifikasi dalam Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara dan menyampaikan kepada pimpinan instansi.  

    (2) Pimpinan instansi menyampaikan Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Pemeriksa
    Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterima dari TPKN dengan dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). 

    Pasal 12

    (1) Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan atas laporan kerugian negara berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) untuk menyimpulkan telah terjadi kerugian negara yang meliputi nilai kerugian negara, perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, dan penanggung jawab.  

    (2) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbukti ada perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, Badan
    Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat kepada pimpinan instansi untuk memproses penyelesaian kerugian negara melalui SKTJM.  

    (3) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak terdapat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
    lalai, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat kepada pimpinan instansi agar kasus kerugian negara dihapuskan dan dikeluarkan dari Daftar kerugian negara. 

    Pasal 13

    Pimpinan instansi memerintahkan TPKN mengupayakan agar bendahara bersedia membuat dan menandatangani SKTJM paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima surat dari Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). 

    Pasal 15

    (1) Penggantian kerugian negara dilakukan secara tunai selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja sejak SKTJM ditandatangani.  

    (2) Apabila bendahara telah mengganti kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), TPKN mengembalikan bukti kepemilikan
    barang dan surat kuasa menjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) 

    Pasal 17

    (1) TPKN melaporkan hasil penyelesaian kerugian negara melalui SKTJM atau surat pernyataan bersedia mengganti kerugian negara kepada
    pimpinan instansi.  

    (2) Pimpinan instansi memberitahukan hasil penyelesaian kerugian negara melalui SKTJM atau surat pernyataan bersedia mengganti kerugian
    negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima laporan TPKN. 

    Pasal 20

    (1) Dalam hal SKTJM tidak diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, pimpinan instansi mengeluarkan surat keputusan
    pembebanan sementara dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak bendahara tidak bersedia menandatangani SKTJM.  

    (2) Pimpinan instansi memberitahukan surat keputusan pembebanan sementara kepada Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (3) Bentuk dan isi surat keputusan pembebanan sementara dibuat sesuai dengan Lampiran IV. 

    Pasal 22

    (1) Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan SK PBW (Penetapan Batas Waktu) apabila:  

    a. Badan Pemeriksa Keuangan tidak menerima Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara dari pimpinan instansi sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 11 ayat (2); dan  

    b. Berdasarkan pemberitahuan pimpinan instansi tentang pelaksanaan SKTJM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), ternyata
    bendahara tidak melaksanakan SKTJM.  

    (2) SK PBW sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada bendahara melalui atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan
    kerja dengan tembusan kepada pimpinan instansi dengan tanda terima dari bendahara.  

    (3) Tanda terima dari bendahara disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan oleh atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan
    kerja selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak SK PBW diterima bendahara.

    (4) Bentuk dan isi SK PBW dibuat sesuai dengan Lampiran V. 

    Pasal 25

    (1) Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat keputusan pembebanan apabila: 

    a. jangka waktu untuk mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 telah terlampaui dan bendahara tidak mengajukan
    keberatan; atau  

    b. bendahara mengajukan keberatan tetapi ditolak; atau  

    c. telah melampaui jangka waktu 40 (empat puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM namun kerugian negara belum diganti sepenuhnya.  

    (2) Bentuk dan isi surat keputusan pembebanan dibuat sesuai dengan Lampiran VI. 

    Pasal 42

    (1) Putusan hakim yang menjatuhkan hukuman terhadap seorang bendahara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dijadikan bukti
    tentang perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai dalam proses tuntutan penggantian kerugian negara. 

    (2) Dalam hal nilai penggantian kerugian negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berbeda dengan
    nilai kerugian negara dalam surat keputusan pembebanan, maka kerugian negara wajib dikembalikan sebesar nilai yang tercantum dalam surat keputusan pembebanan.  

    (3) Apabila sudah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan untuk penggantian kerugian negara dengan cara disetorkan ke kas negara/daerah,
    pelaksanaan surat keputusan pembebanan diperhitungkan sesuai dengan nilai penggantian yang sudah disetorkan ke kas negara/daerah. 

    Dengan demikian, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sepanjang terdapat informasi terkait adanya kerugian negara oleh bendahara, maka sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja wajib melaporkan kerugian negara oleh bendahara dimaksud kepada pimpinan instansi dan memberitahukan kepada BPK. Adapun berdasarkan Pasal 42 ayat (2) Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dalam hal nilai penggantian kerugian negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berbeda dengan nilai kerugian negara dalam surat keputusan pembebanan, maka kerugian negara wajib dikembalikan sebesar nilai yang tercantum dalam surat keputusan pembebanan. 

    Demikian kami
    sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih. 

     Disclaimer: 

    “Seluruh
    informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

     

    Peraturan 

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara  

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara  

    Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara  

  • Adapun yang ingin saya tanyakan terkait rekomendasi yang dituangkan dalam LHP BPK apakah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat? Dan apabila tidak ditindaklanjuti akan berdampak seperti dijatuhi sanksi berupa sanksi administratif bagi yang bersangkutan atau indikasi adanya unsur pidana? Mohon dapat diberikan penjelasan. Terima Kasih

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 

    Pasal 1 butir 14
    Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. 

    Pasal 183
    Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepadaseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah iamemperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya. 

    Pasal 184 ayat (1)
    Alat bukti yang sah ialah:
    a. keterangan saksi;
    b. keterangan ahli;
    c. surat;
    d. petunjuk;
    e. keterangan terdakwa.
     

    2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 

    Pasal 20
    (1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
    (2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentangtindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
    (3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikankepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasilpemeriksaan diterima.
    (4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimanadimaksud pada ayat (1).
    (5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
    (6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksudpada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. 

    Pasal 26 ayat (2)
    Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untukmenindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaansebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00(lima ratus juta rupiah). 

    Penjelasan Pasal 20 ayat (1)
    Tindak lanjut atas rekomendasi dapat berupapelaksanaan seluruh atau sebagian dari rekomendasi. Dalam hal sebagian atauseluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan, pejabat wajib memberikan alasanyang sah. 

    Penjelasan Pasal 20 ayat (4)
    Dalam rangka pemantauan sebagaimana dimaksudpada ayat ini, BPK menatausahakan laporan hasil pemeriksaan danmenginventarisasi permasalahan, temuan, rekomendasi, dan/atau tindak lanjutatas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Selanjutnya BPK menelaahjawaban atau penjelasan yang diterima dari pejabat yang diperiksa dan/atauatasannya untuk menentukan apakah tindak lanjut telah dilakukan. 

    3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 

    Pasal 8 ayat (1)
    Untuk keperluan tindak lanjuthasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BPK menyerahkanpula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur,Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. 

    Pasal 8 ayat (2)
    Tindak lanjut hasilpemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulisoleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kepada BPK. 

    Pasal 8 ayat (5)
    BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasilpemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), danhasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, sertaPemerintah. 

    4. Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 

    Amar Menimbang
    Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalbersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan“bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. 

    5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023tentang Aparatur Sipil Negara 

    Pasal 29 ayat (1) huruf e
    Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahandalam pembinaan Pegawai ASN dapat mendelegasikankewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabatselain pejabat pimpinan tinggi utama, selain pejabat pimpinan tinggi madya, danselain pejabat fungsional tertinggi kepada: e. bupati/walikota dikabupaten/kota. 

    Pasal 30
    (1) Presiden dapat mendelegasikankewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang dikementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariatlembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalammenjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan SistemMerit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansimasing-masing. (3) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikanrekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansimasing-masing. (4) Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, danpemberhentian Pegawai ASN selain: a. pejabat pimpinan tinggi utama; b. pejabat pimpinan tinggi madya; dan c. pejabat fungsional tertinggi. kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing. 

    6. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2017 tentang PemantauanPelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan PemeriksaKeuangan 

    Pasal 3
    (1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam hasil pemeriksaansetelah hasil pemeriksaan diterima. (2) Tindak lanjut atas rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupajawaban atau penjelasan atas pelaksanaan tindak lanjut yang dilampiri dengandokumen pendukung. (3) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikankepada BPK paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaanditerima. 

    Pasal 5
    (1) Dalam hal tindak lanjut atas rekomendasi tidak dapat dilaksanakan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pejabat wajibmemberikan alasan yang sah.
    (2) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keadaan kahar, yaitu suatu keadaan peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan gangguan lainnya yang mengakibatkan tindak lanjut tidak dapat dilaksanakan; b. sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; c. menjadi tersangka dan ditahan; d. menjadi terpidana; atau e. alasan sah lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak membebaskanPejabat dari kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan.
    (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)Pejabat tidak menindaklanjuti rekomendasi tanpa adanya alasan yang sah, BPKdapat melaporkan kepada instansi yang berwenang. 

    Pasal 8
    (1) Untuk menentukan klasifikasi tindak lanjut telah sesuai denganrekomendasi atau rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti, diperlukanpersetujuan Anggota BPK atau Pelaksana di lingkungan BPK yang diberikanwewenang. (2) Tanggung jawab administratif Pejabat untuk menindaklanjuti rekomendasidianggap selesai apabila klasifikasi tindak lanjut telah sesuai denganrekomendasi atau rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti. 

    Pasal 10
    Penyelesaian tindak lanjuttidak menghapuskan tuntutan pidana. 

    7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor15 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahTahun Anggaran 2024 

    Lampiran huruf C nomor 3.a.1).h).(7).(b).iii.
    Pemberian sanksi administratif berupa penundaan pembayaran TPP dalam halASN penerima TPP tidak patuh dalam pelaporan Laporan Harta KekayaanPenyelenggara Negara (LHKPN), menguasai atau memanfaatkan aset milik/dikuasaiPemerintah Daerah secara tidak sah, dan/atau belum menyelesaikan kerugiannegara/daerah berdasarkan hasil audit dan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) atau Inspektorat/APIP; 

    8. Keputusan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/JasaPemerintah Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2022 

    Lampiran II angka II huruf I nomor 1
    LKPP atau Pengelola KatalogElektronik dapat mencabut status sebagai Penyedia Katalog Elektronik secarasepihak apabila: 1.rekomendasi dan/atau hasilpemantauan/evaluasi/audit/reviu/pemeriksaan yang dilakukan Badan PemeriksaKeuangan (BPK)/Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/AparatPengawasan Intern Pemerintah (APIP)/Aparat Penegak Hukum berdasarkan peraturanperundang-undangan yang berlaku yang merekomendasikan untuk mencabut statussebagai Penyedia Katalog Elektronik; 

    Dengan demikian, memedomani peraturan perundang-undangan tersebut di atas, BPK hanya berwenang untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat dan hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah. Sedangkan terkait dengan pengenaan sanksi administratif dan indikasi tindak pidana tidak ditindaklanjutinya rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK, maka hal tersebut di luar daripada kewenangan BPK. 

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih. 

     Disclaimer: “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

    Peraturan
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan danTanggung Jawab Keuangan Negara
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
    Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2023tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2024
    Keputusan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2022 

    Putusan Pengadilan
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 

    Artikel
    Follow Up Report of Examination Result Of Supreme Audit Agency For State Financial Management
    Follow-up Analysis of Financial Management Examination Results within the General Election Supervisory Board of Maluku Province 

    Buku
    Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Bukti Permulaan Yang Cukup  

  • Dengan keluarnya putusan MA terkait pembatalan Perpres Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perjalanan Dinas DPRD dengan pembayaran lumpsum, dalam pelaksanaannya apakah harus menunggu keputusan penarikan Perpres Nomor 53 Tahun 2023 dengan turunannya atau Perpres Nomor 53 Tahun 2023 dan turunannya akan gugur dengan sendirinya setelah putusan MA tersebut?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

    Pasal 31A ayat (10)
    Ketentuan mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dengan Peraturan Mahkamah
    Agung.
     

    2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah beberapa
    kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011)

    Pasal 7 ayat (1)
    Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
    a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    d. Peraturan Pemerintah;
    e. Peraturan Presiden;
    f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
    g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

    Pasal 7 ayat (2)
    Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Penjelasan Pasal 7 ayat (2)
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 

    3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang

    Pasal 250 ayat (1)
    Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. 

    Pasal 251 ayat (1)
    Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. 

    Pasal 251 ayat (2)
    Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. 

    4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
    menjadi Undang-Undang
     

    Pasal 18 ayat (3)
    Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
    a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
    b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 

    Pasal 68 ayat (1)
    Keputusan berakhir apabila:
    a. habis masa berlakunya;
    b. dicabut oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang;
    c. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan
    Pengadilan; atau

    d. diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 

    5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    Pasal 141 ayat (1)
    Setiap pengeluaran harus didukung bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. 

    6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil

    Pasal 8 ayat (2)
    Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.    

    7. Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional (Perpres 53/2023)

    Pasal 3A ayat (2)
    Pertanggungjawaban perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan secara lumpsum dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, kewajaran, dan akuntabel. 

    Pasal II
    Ketentuan mengenai pertanggungjawaban perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara lumpsum digunakan paling lambat tahun anggaran 2024. 

    8. Surat Panitera Mahkamah Agung Nomor 17/P.PTS/VII/2024/12 P/HUM/2024 tanggal 10 Juli 2024 perihal Pengiriman Putusan Perkara Hak Uji Materiil Reg. No. 12 P/HUM/2024 kepada Eko Sentosa dan Presiden Republik Indonesia

    Bersama ini dikirimkan kembali kepada Saudara, salinan sah Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 12 P/HUM/2024 mengenai Permohonan keberatan Hak Uji Materiil terhadap: "Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional" yang telah diputus pada tanggal 11 Juni 2024 dalam perkara permohonan keberatan yang diajukan oleh:   

    EKO SENTOSA 

    Lawan 

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

    Demikian untuk diketahui seperlunya. 

    9. Putusan Mahkamah Agung Nomor 12P/HUM/2024

    Amar Putusan (MENGADILI)
    Diktum KEDUA 

    Menyatakan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu: 

    1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
    2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
    3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
    4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
    5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
    dan karenanya tidak sah atau tidak berlaku untuk umum; 

    Diktum KETIGA
    Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional;  

    Dengan demikian, selain memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sesuai dengan kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah kabupaten/kota, kami menyarankan terkait dengan permasalahan Saudara agar
    dikoordinasikan kepada Gubernur sebagai wakil dari Pemerintah Pusat di daerah.
     

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih. 

    Disclaimer:
    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

    Putusan Pengadilan
    Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 P/HUM/2024 

    Peraturan
    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
    Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil 

    Matriks Perbandingan Peraturan
    Matriks Perbandingan Perpres tentang Standar Harga Satuan Regional 

    Berita
    Biaya Perjalanan Dinas DPRD Secara Lumpsum Ternyata Melanggar Aturan

    Buku
    Pengelolaan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD  

BPK Kaltara Raih Sertifikat Penghargaan atas Kontribusi PNBP dari Optimalisasi Pemanfaatan BMN oleh KPKNL Tarakan
BPK Kaltara Raih Sertifikat Penghargaan atas Kontribusi PNBP dari Optimalisasi Pemanfaatan BMN oleh KPKNL Tarakan

Tarakan, 8 Agustus 2025 – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara mendapatkan apresiasi dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Tarakan berupa Sertifikat Penghargaan atas keberhasilan menciptakan sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui optimalisasi pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN).

Penghargaan tersebut diberikan sebagai bentuk pengakuan atas komitmen BPK Kaltara dalam mengelola dan memanfaatkan BMN secara efektif, produktif, dan sesuai ketentuan, sehingga memberikan kontribusi nyata terhadap penerimaan negara. Upaya ini sekaligus menjadi bukti peran aktif BPK Kaltara dalam mendukung optimalisasi pengelolaan aset negara di wilayah kerja KPKNL Kota Tarakan.

Kegiatan pemberian sertifikat penghargaan dilaksanakan pada Jum’at, 8 Agustus 2025 bertempat di Kantor BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara. Acara ini dihadiri oleh: Kepala Sekretariat BPK Kaltara, Dionisius Yudianto, S.E., M.M., CSCU, CSFA, CertDA, Kepala KPKNL Kota Tarakan, Ahmad Elazar, Kepala Subbagian Humas dan TU BPK Kaltara, Okta Anantyo Prasetyo, S.E., Ak., M.Ak., CA, Kepala Subbagian Umum dan TI, Afif Qudratullah, S.Sos.I., M.Si., Kepala Subbagian Keuangan, Rita Anugrahwati, S.E., M.M., QIA, CertDA, Kepala Subbagian Hukum, Baren Sipayung, S.H., M.A.P., M.H., C.L.A., CRMP, dan Kepala Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara, Chusaeri.

Acara dimulai dengan sambutan singkat dari Kepala KPKNL Tarakan, Ahmad Elazar, yang menekankan pentingnya sinergi antarinstansi dalam pengelolaan BMN. Beliau menyampaikan bahwa pengelolaan BMN tidak sekadar menjaga keberadaan aset negara, tetapi juga memanfaatkannya untuk mendukung penerimaan negara. “BPK Kaltara menjadi contoh bahwa pengelolaan BMN yang tepat dapat memberikan dampak positif, baik secara administrasi maupun finansial bagi negara,” ujarnya.

Selanjutnya, dilakukan penyerahan sertifikat penghargaan oleh Kepala KPKNL Tarakan kepada Kepala Sekretariat BPK Kaltara. Penyerahan ini disaksikan oleh seluruh pejabat struktural yang hadir. Kepala Sekretariat BPK Kaltara, Dionisius Yudianto, dalam sambutannya menyampaikan rasa terima kasih atas apresiasi yang diberikan. “Penghargaan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus mengelola aset negara dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan produktivitas, demi mendukung pembangunan nasional dan tata kelola keuangan negara yang lebih baik,” ungkapnya.

PNBP dari pemanfaatan BMN yang dihasilkan BPK Kaltara merupakan wujud nyata penerapan tata kelola BMN yang optimal. BMN yang dimanfaatkan tidak hanya menghasilkan penerimaan bagi negara, tetapi juga memastikan aset tersebut tetap terawat dan memberikan manfaat jangka panjang.

Dengan adanya penghargaan ini, BPK Kaltara semakin menguatkan perannya sebagai instansi pemerintah yang tidak hanya fokus pada fungsi pemeriksaan keuangan negara, tetapi juga turut berkontribusi dalam optimalisasi aset negara yang dikelola.

Pencapaian ini menjadi salah satu langkah strategis BPK Kaltara dalam mendukung Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Tahun 2025. Pengelolaan BMN yang tertib dan transparan merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi, khususnya dalam aspek akuntabilitas kinerja.

Penghargaan ini diharapkan dapat memotivasi seluruh pegawai BPK Kaltara untuk terus berinovasi dalam pengelolaan sumber daya, termasuk aset negara, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara luas oleh negara dan masyarakat.

Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

BPK Kaltara Bersinergi dengan Rumah Sakit Umum Kota Tarakan (RSUKT) Gelar Medical Check Up Pegawai
BPK Kaltara Bersinergi dengan Rumah Sakit Umum Kota Tarakan (RSUKT) Gelar Medical Check Up Pegawai

Tarakan, 6 Agustus 2025 – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara terus berkomitmen menjaga kesehatan pegawai melalui kegiatan Medical Check Up (MCU) yang kali ini dilaksanakan bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Tarakan. Kegiatan berlangsung pada Rabu (6/8/2025) di Lobby Auditorium BPK Kaltara, dengan melibatkan tenaga medis profesional dari kedua institusi.

Kegiatan dibuka secara resmi oleh Kepala Subbagian SDM BPK Kaltara, Ria Natalina, S.E., M.H., Ak., CA, CertIPSAS yang hadir bersama Dokter Umum BPK Kaltara, dr. Siti Arfiah Meisari, S.Ked dan Perawat BPK Kaltara, Ns. Rinna Yulianty, S.Kep. Dari pihak RSU Kota Tarakan, hadir tim tenaga medis yang terdiri dari dokter spesialis, perawat, dan tenaga laboratorium yang bertugas melakukan pemeriksaan sesuai bidang masing-masing.

Dalam sambutannya, Ria Natalina menegaskan pentingnya pemeriksaan kesehatan rutin sebagai bagian dari pembinaan pegawai.

“Kesehatan merupakan modal utama dalam menunjang produktivitas kerja. Melalui pemeriksaan seperti ini, kita dapat mendeteksi dini potensi gangguan kesehatan dan mengambil langkah pencegahan yang tepat. BPK Kaltara berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi seluruh pegawai,” ujarnya.

Kegiatan MCU ini dirancang untuk memberikan layanan pemeriksaan kesehatan yang menyeluruh, meliputi:

  1. Pemeriksaan darah untuk memantau kadar gula, kolesterol, asam urat, dan fungsi organ penting.
  2. Pemeriksaan kesehatan mata untuk mendeteksi gangguan penglihatan, minus/plus, dan penyakit mata lainnya.
  3. Pemeriksaan kesehatan telinga untuk mengetahui potensi gangguan pendengaran dan kesehatan telinga bagian dalam.
  4. Pemeriksaan tekanan darah guna mencegah risiko hipertensi atau hipotensi.
  5. Tes buta warna untuk memastikan kemampuan visual pegawai dalam membedakan warna dengan baik.
  6. Pemeriksaan kesehatan umum lainnya seperti berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, dan konsultasi medis.

Proses pemeriksaan dilakukan secara bergiliran dengan tetap mengedepankan kenyamanan peserta. Setiap pegawai mendapatkan penjelasan hasil pemeriksaan dan saran medis langsung dari tenaga kesehatan, sehingga dapat segera mengambil langkah perawatan atau pencegahan jika ditemukan indikasi masalah kesehatan.

Dokter Umum BPK Kaltara, dr. Siti Arfiah Meisari, S.Ked, menyampaikan bahwa kegiatan ini tidak hanya bersifat pemeriksaan, tetapi juga sebagai sarana edukasi kesehatan.

“Kami ingin pegawai BPK Kaltara memiliki kesadaran penuh akan pentingnya menjaga pola hidup sehat. Hasil pemeriksaan ini menjadi bahan evaluasi untuk melakukan perbaikan gaya hidup, mulai dari pola makan, aktivitas fisik, hingga manajemen stres,” jelasnya.

Kerja sama BPK Kaltara dengan RSU Kota Tarakan dinilai strategis karena memungkinkan tersedianya tenaga medis berkompeten dan fasilitas pemeriksaan yang lengkap tanpa harus membawa pegawai keluar daerah.

Kegiatan MCU ini mendapatkan sambutan positif dari para pegawai. Selain merasa diperhatikan kesehatannya, mereka juga mendapatkan pengetahuan baru mengenai kondisi fisik masing-masing. Ke depan, BPK Kaltara berencana menjadikan MCU sebagai agenda rutin tahunan, sekaligus memperluas layanan kesehatan preventif lainnya seperti vaksinasi, seminar kesehatan, dan program olahraga bersama.

Pelaksanaan MCU ini juga sejalan dengan komitmen BPK Kaltara dalam mewujudkan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Tahun 2025. Melalui perhatian yang konsisten terhadap kesehatan pegawai, BPK Kaltara memastikan pelayanan publik yang diberikan senantiasa optimal, cepat, dan berkualitas. Pegawai yang sehat secara fisik dan mental akan lebih mampu memberikan kinerja terbaik, menjunjung tinggi integritas, serta mengedepankan pelayanan prima bagi seluruh pemangku kepentingan.

Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

BPK Kaltara dan IAI Kaltara Perkuat Sinergi dalam Seminar Nasional & Pelantikan IAI Muda: Mendorong Transformasi Ekonomi Daerah Menuju Kaltara Tangguh dan Berdaya Saing
BPK Kaltara dan IAI Kaltara Perkuat Sinergi dalam Seminar Nasional & Pelantikan IAI Muda: Mendorong Transformasi Ekonomi Daerah Menuju Kaltara Tangguh dan Berdaya Saing

Tarakan, 4 Agustus 2025 – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara bersama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Wilayah Kalimantan Utara menyelenggarakan Seminar Nasional dan Pelantikan IAI Muda bertema “Transformasi Ekonomi Daerah: Strategi Menuju Provinsi yang Tangguh dan Berdaya Saing” di Auditorium BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara, Tarakan, Senin (4/8).

Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam membangun kolaborasi lintas lembaga dan pemangku kepentingan di Kalimantan Utara. Selain sebagai ajang pelantikan pengurus IAI Muda Wilayah Kaltara, forum ini diharapkan menjadi ruang diskusi strategis untuk merumuskan langkah-langkah konkret dalam penguatan ekonomi daerah yang berkelanjutan dan akuntabel.

Hadir pada Kegiatan ini, Tokoh Nasional dan Tokoh Daerah. Acara ini dihadiri oleh para tokoh nasional dan daerah, di antaranya Dr. Ardan Adiperdana, Ak., MBA., CFrA., CA., FCMA., CGMA – Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI, Elly Zarni Husin, Ak., CA., FCMA., CGMA., ASEAN CPA – Direktur Eksekutif IAI,  Dr. Zainal A. Paliwang, S.H., M.Hum – Gubernur Provinsi Kalimantan Utara, Hasiando G. Manik – Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kaltara, Sindu Senjaya Aji, CA, CSEP, CRMP, CRGP, CHRP – Plt. Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kaltara, Dr. E. Mohamad Nur Utomo, S.E., M.Si – Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan, dr. H. Khairul, M.Kes – Wali Kota Tarakan , Kilat, A.Md – Wakil Bupati Bulungan, dan Dr. Riyans Ardiansyah, M.Si., Ak – Ketua IAI Wilayah Kaltara. Selain pejabat dan tokoh masyarakat, kegiatan ini turut dihadiri akademisi, pelaku usaha, mahasiswa, dan anggota IAI Muda dari berbagai daerah di Kalimantan Utara.

Rangkaian acara diawali dengan Pelantikan Pengurus IAI Muda Wilayah Kalimantan Utara yang dipimpin oleh Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI dan Ketua IAI Wilayah Kaltara. Pelantikan ini menandai langkah strategis dalam regenerasi sumber daya manusia profesional di bidang akuntansi, yang diharapkan mampu berperan aktif dalam peningkatan tata kelola keuangan daerah dan penguatan ekonomi lokal.

Seminar Nasional ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang keilmuan dan pengalaman terkait Diskusi Strategis: Membangun Kaltara yang Tangguh:

  • Dwi Sabardiana, S.E., M.A., CFrA., CSFA., ERMCP – Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kaltara
  • dr. H. Khairul, M.Kes – Wali Kota Tarakan
  • Hasiando G. Manik – Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kaltara
  • Dr. E. Mohamad Nur Utomo, S.E., M.Si – Dekan Fakultas Ekonomi UBT

Para narasumber membahas tujuh pokok pembahasan utama:

  1. Pelantikan dan peran strategis IAI Muda sebagai motor regenerasi akuntan profesional di Kaltara.
  2. Transformasi ekonomi daerah melalui penguatan sektor unggulan dan inovasi kebijakan.
  3. Penguatan akuntabilitas keuangan daerah untuk mendukung tata kelola pemerintahan yang transparan.
  4. Pemanfaatan potensi ekonomi Kaltara, termasuk energi, perikanan, dan industri pengolahan.
  5. Penguatan SDM dan digitalisasi pemerintahan daerah guna meningkatkan pelayanan publik.
  6. Hilirisasi dan industrialisasi komoditas lokal sebagai strategi peningkatan nilai tambah produk daerah.
  7. Pembangunan ekonomi wilayah yang berkelanjutan dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Dalam sambutannya, Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kaltara, Dwi Sabardiana, menegaskan bahwa akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah menjadi fondasi dalam menciptakan pembangunan yang kokoh. “BPK siap berkolaborasi dengan seluruh pihak untuk memastikan tata kelola keuangan daerah yang baik, sehingga setiap rupiah APBD memberi manfaat maksimal bagi masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Gubernur Kalimantan Utara, Zainal A. Paliwang, menekankan pentingnya sinergi lintas sektor. “Kaltara memiliki potensi besar di sektor energi terbarukan, perikanan, dan industri pengolahan. Dengan kolaborasi dan perencanaan yang tepat, Kaltara bisa menjadi provinsi yang tangguh, mandiri, dan berdaya saing tinggi,” tegasnya.

Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI, Dr. Ardan Adiperdana, menyampaikan bahwa para akuntan, khususnya generasi muda, harus menjadi garda terdepan dalam membangun tata kelola ekonomi yang sehat. “Integritas, kompetensi, dan inovasi adalah modal utama untuk bersaing di tingkat global,” katanya.

Melalui kegiatan ini, BPK Kaltara dan IAI Kaltara menegaskan komitmen untuk terus memperkuat kerja sama di bidang peningkatan kapasitas SDM, edukasi publik terkait akuntabilitas, dan dukungan terhadap kebijakan pembangunan ekonomi daerah.

Kegiatan ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif dan foto bersama seluruh peserta, menandai dimulainya kolaborasi yang diharapkan mampu mendorong Kaltara menuju masa depan yang lebih maju dan berdaya saing.

 Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

BPK Kaltara Dorong Pemeriksa Adaptif dan Inovatif Lewat Knowledge Transfer Forum: “Penguatan Pemeriksaan dan Persiapan Mental Adaptif Perubahan”
BPK Kaltara Dorong Pemeriksa Adaptif dan Inovatif Lewat Knowledge Transfer Forum: “Penguatan Pemeriksaan dan Persiapan Mental Adaptif Perubahan”

Tarakan, 31 Juli 2025 — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara menyelenggarakan Knowledge Transfer Forum (KTF) Penguatan Pemeriksaan pada Kamis, 31 Juli 2025, di Auditorium Kantor BPK Kaltara. Kegiatan ini merupakan program strategis untuk memperkuat kompetensi pemeriksa, membangun kesiapan mental menghadapi dinamika perubahan, serta mendorong pemanfaatan teknologi dalam proses pemeriksaan.

Acara dihadiri oleh seluruh pejabat struktural dan fungsional di lingkungan BPK Kaltara, termasuk Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalimantan Utara, Dwi Sabardiana, S.E., M.A., CFrA, CSFA, ERMCP, Kepala Sekretariat Perwakilan, Dionisius Yudianto, S.E., M.M., CSCU, CSFA, CertDA, dan Kepala Bidang Pemeriksaan, Nursiska Ria S.E., MAA., Ak., CA, CSFA. Narasumber yang hadir yaitu Pulung Tri Anggoro, S.Psi., CPC, dari Bidang Teknologi Pembelajaran Badan Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara (Badiklat PKN) BPK RI, dan Dwi Sabardiana, S.E., M.A., CFrA, CSFA, ERMCP selaku Kepala BPK Perwakilan Kaltara.

Perubahan teknologi, regulasi, dan lingkungan kerja di bidang pemeriksaan menuntut pemeriksa untuk selalu memperbarui pengetahuan, keterampilan, dan mentalitasnya. KTF ini dirancang sebagai forum berbagi ilmu, bertukar pengalaman, dan menyamakan persepsi terkait arah dan kebijakan pemeriksaan ke depan. Dengan topik yang luas mulai dari sejarah auditing hingga sistem pengendalian mutu, peserta diharapkan dapat meningkatkan kualitas pemeriksaan sekaligus kesiapan dalam menghadapi objek pemeriksaan yang semakin kompleks.

Acara berlangsung di Auditorium Kantor BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara, dibuka secara resmi oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalimantan Utara, Dwi Sabardiana, S.E., M.A., CFrA, CSFA, ERMCP. Dalam sambutannya, beliau menekankan bahwa perubahan adalah keniscayaan, dan kesiapan mental menjadi kunci utama bagi pemeriksa agar mampu beradaptasi dengan cepat. “Kita tidak hanya dituntut untuk memahami metodologi pemeriksaan, tetapi juga mengasah pola pikir agar mampu melihat perubahan sebagai peluang untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan,” ujarnya.

Kegiatan KTF kali ini menghadirkan dua narasumber utama:

  1. Pulung Tri Anggoro, S.Psi., CPC
  2. Dwi Sabardiana, S.E., M.A., CFrA, CSFA, ERMCP

Keduanya memaparkan materi yang luas dan mendalam, mencakup:

  1. Menyiapkan mental untuk adaptasi perubahan, dengan penekanan pada pentingnya fleksibilitas berpikir dan ketangguhan menghadapi ketidakpastian.
  2. Transformasi digital dan pemanfaatan teknologi informasi dalam pemeriksaan, termasuk pemanfaatan perangkat lunak analisis data dan big data analytics.
  3. Persiapan mental terhadap perubahan lingkungan, menyoroti pentingnya resilien dalam menghadapi perubahan regulasi, ekonomi, dan sosial.
  4. Meta-Cognitive Bias, untuk meningkatkan kesadaran pemeriksa terhadap bias kognitif yang dapat memengaruhi proses analisis dan pengambilan keputusan.
  5. Sejarah auditing, sebagai pijakan memahami perkembangan metodologi pemeriksaan dari masa ke masa.
  6. Manajemen mutu pemeriksaan, untuk memastikan setiap tahapan pemeriksaan memenuhi standar profesional dan peraturan yang berlaku.
  7. Sistem pengendalian mutu, sebagai kerangka menjaga integritas, objektivitas, dan kualitas hasil pemeriksaan.

Adaptasi Objek Pemeriksaan, Para peserta juga mendapatkan pembekalan terkait perubahan fokus dan adaptasi pada berbagai objek pemeriksaan strategis, meliputi:

  1. Ketahanan pangan
  2. Bank Pembangunan Daerah (BPD)
  3. Lingkungan pertambangan
  4. Pajak dan retribusi daerah
  5. Pembangunan manusia
  6. Manajemen asset

Melalui kegiatan ini, BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara berupaya membangun budaya belajar berkelanjutan di kalangan pemeriksa. Forum ini diharapkan tidak hanya memperkaya pengetahuan teknis, tetapi juga membentuk pola pikir yang adaptif dan inovatif.

Menutup acara, Pulung Tri Anggoro mengingatkan pentingnya peran pemeriksa sebagai garda terdepan dalam memastikan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. “Teknologi dan metode akan terus berkembang, tetapi integritas, ketajaman analisis, dan kemampuan beradaptasi adalah nilai yang harus selalu kita jaga,” pesannya.

Dengan terselenggaranya KTF ini, BPK Kalimantan Utara semakin memperkuat komitmen dalam memberikan pemeriksaan yang berkualitas, relevan, dan responsif terhadap perkembangan zaman, demi terwujudnya tata kelola keuangan negara yang transparan dan akuntabel.

 Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

BPK Kaltara Gelar Bimtal Kerohanian: Perkuat Integritas, Mental, dan Spiritualitas Pegawai
BPK Kaltara Gelar Bimtal Kerohanian: Perkuat Integritas, Mental, dan Spiritualitas Pegawai

 

Tarakan, 25 Juli 2025 – Dalam rangka memperkuat ketahanan mental, karakter, dan spiritual pegawai, BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara menyelenggarakan kegiatan Pembinaan Mental dan Rohani (Bimtal) bertempat di Ruang Media Kantor BPK Kaltara pada hari Jumat, 25 Juli 2025.

Kegiatan yang berlangsung khidmat ini dihadiri oleh Kepala Sekretariat Perwakilan, Dionisius Yudianto, S.E., M.M., CSCU, CSFA, CertDA, Kepala Subbagian Hukum, Baren Sipayung, S.H., M.A.P., M.H., C.L.A., CRMP, Kepala Subbagian SDM, Ria Natalina, S.E., M.H., Ak., CA, CertIPSAS, Pemeriksa Ahli Muda, Fernando Silalahi, S.E., Ak., M.I.Kom., CA, CFrA, Suryanta Perangin-Angin S.T., M.M., CFrA, serta pegawai umat kristiani pada BPK Kaltara lainnya.

Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pembinaan kepegawaian yang rutin dilaksanakan untuk mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi teknis dan profesionalitas, tetapi juga dari aspek rohani dan moralitas.

Pembinaan rohani kali ini menghadirkan Romo Saverinus Peri, Imam Diosesan Keuskupan Tanjung Selor, sebagai pemuka agama sekaligus pengisi acara. Dalam siraman rohaninya, Romo Saverinus menyampaikan pentingnya keseimbangan antara pencapaian profesional dan kehidupan rohani dalam dunia kerja.

“Kualitas kerja yang baik tidak hanya ditentukan oleh keahlian, tetapi juga oleh kekuatan mental, kejujuran, dan semangat spiritual. Integritas lahir dari hati yang bersih dan pikiran yang jernih,” tutur Romo Saverinus dalam renungannya.

Kegiatan Bimtal ini dilaksanakan dengan sejumlah tujuan utama, yaitu:

  1. Penguatan Mental dan Karakter
    Memberikan penguatan mental agar pegawai mampu menghadapi berbagai tekanan kerja dan tantangan hidup dengan keteguhan sikap serta prinsip moral yang kuat.
  2. Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan
    Melalui kegiatan ibadah, konseling, dan pembinaan rohani, pegawai diajak untuk lebih mendalami dan menghayati keimanan, serta meningkatkan hubungan pribadi dengan Tuhan.
  3. Peningkatan Kualitas Diri
    Bimtal menjadi media bagi para pegawai untuk merefleksikan nilai-nilai hidup, memperbaiki kualitas spiritual, dan memotivasi semangat kerja yang lebih positif, jujur, dan bertanggung jawab.
  4. Mewujudkan Lingkungan Kerja yang Sehat dan Kondusif
    Dengan memperkuat nilai-nilai kekeluargaan, empati, dan solidaritas, kegiatan ini juga berkontribusi dalam menciptakan suasana kerja yang harmonis dan saling mendukung.
  5. Pelayanan dan Dukungan Rohani
    Kegiatan ini juga menjadi ruang untuk memberi pelayanan rohani kepada pegawai yang membutuhkan penguatan spiritual, baik dalam menghadapi beban pekerjaan maupun masalah kehidupan pribadi.

Kepala Subbagian SDM, Ria Natalina, menyampaikan bahwa kegiatan Bimtal ini merupakan salah satu strategi dalam pengembangan kepegawaian yang holistik.

“Kami percaya bahwa pembinaan mental dan rohani merupakan bagian penting dalam membentuk ASN yang profesional, berintegritas, dan berkepribadian. Tidak cukup hanya cerdas dan kompeten, pegawai juga harus memiliki kekuatan batin yang kokoh,” ujar Ria dalam sambutannya.

Kegiatan Bimtal ditutup dengan doa bersama dan refleksi rohani yang mengajak seluruh pegawai untuk kembali menyelaraskan hidup profesional dengan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Kehadiran dan partisipasi aktif seluruh pegawai menunjukkan antusiasme dan kebutuhan akan ruang pembinaan yang menyentuh aspek batiniah, tidak hanya administratif.

Melalui kegiatan seperti ini, BPK Kaltara menegaskan komitmennya dalam mewujudkan aparatur yang tangguh secara lahir dan batin, sebagai bagian dari pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di tahun 2025.

Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

Q:

Pengunjung Tanjik Online

  • 0
  • 0
  • 0
  • 1,076
  • 39

TANJIK HUKUM ONLINE

BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara

Kontak : hukum.kaltara@bpk.go.id

© Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 

Free WordPress Themes, Free Android Games