Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 10 huruf b
Pidana terdiri atas: b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU PTPK)
Pasal 2
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004)
Pasal 1 Angka 2
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh menteri keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
Pasal 1 Angka 4
Kas Daerah sebagai tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.
Pasal 1 Angka 7
Piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Pasal 9 ayat (2) huruf m dan n
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah berwenang antara lain: m. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; n. melakukan penagihan piutang daerah;
Pasal 14 ayat (1)
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 62
(1) Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU 15/2004)
Pasal 22 ayat (4)
Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain (PP 38/2016)
Pasal 41
Berdasarkan surat penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Pihak yang Merugikan/Pengampu/yang Memperoleh Hak/Ahli Waris menyetorkan ganti Kerugian Negara/Daerah ke Kas Negara/Daerah.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia (PP 39/2016)
Pasal 1 ayat (1) huruf a
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia meliputi penerimaan dari antara lain: a. pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi;
Pasal 1 ayat (2)
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf o merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dan/atau akibat dari penetapan hakim
dan/atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 1 ayat (3)
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h, sebesar yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 1 Angka 1
Keuangan Daerah sebagai semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
Pasal 1 Angka 49
Piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.
Pasal 8 ayat (3) huruf j dan huruf k
Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: antara lain untuk melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah dan melakukan penagihan piutang daerah.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pembayaran atas Transaksi Pengembalian Penerimaan Negara (PMK 96/2017)
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara yang telah disetor melalui Kas Negara pada tahun anggaran berjalan maupun tahun anggaran yang lalu.
(2) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengembalian PNBP;
b. pengembalian penerimaan pajak dan bea cukai; dan
c. pengembalian Penerimaan Negara yang disetor melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN).
Pasal 3
(1) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang disetorkan pada tahun anggaran berjalan dibukukan sebagai pengurang Penerimaan Negara bersangkutan dan dibebankan pada akun penerimaan yang sama dengan akun yang digunakan pada saat penyetorannya.
(2) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dibebankan pada Sisa Anggaran Lebih (SAL).
(3) Permintaan pengembalian Penerimaan Negara dilakukan berdasarkan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang sah.
Pasal 4
(1) Pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dilakukan oleh Direktorat Sistem Perbendaharaan selaku satuan kerja pengembalian Penerimaan Negara atas beban SAL.
(2) Pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara melalui RKUN pada tahun anggaran berjalan dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara selaku satuan kerja pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara melalui RKUN.
Pasal 6
Pengembalian PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal terjadi:
a. Keterlanjuran setoran/kelebihan penyetoran PNBP;
b. Kelebihan pemotongan pada SPM atas transaksi PNBP; atau
c. Kesalahan perekaman dan eksekusi Kode Billing setoran PNBP oleh Bank/Pos Persepsi.
Pasal 12
Pengembalian PNBP yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi menyampaikan permintaan pengembalian PNBP kepada KPA dengan dilampiri BPN dan fotokopi bukti kepemilikan rekening tujuan;
b. KPA melakukan pengujian atas keabsahan BPN dan kebenaran perhitungan jumlah pengembalian yang diajukan oleh Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi; dan
c. KPA menyampaikan permintaan penerbitan SKTB kepada KPPN mitra kerja, atas setoran PNBP yang dimintakan pengembalian.
Pasal 13
(1) Berdasarkan permintaan penerbitan SKTB dari KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, KPPN mitra kerja melakukan penelitian untuk memastikan setoran dimaksud telah diterima dan telah dibukukan oleh KPPN.
(2) Dalam hal setoran dimaksud telah diterima dan telah telah dibukukan, KPPN Mitra kerja menerbitkan SKTB dengan menggunakan format tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya disampaikan kepada KPA.
Pasal 14
(1) Berdasarkan SKTB dari KPPN mitra kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), KPA menerbitkan SKKSPN dengan menggunakan format tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) KPA menyampaikan permintaan pengembalian PNBP kepada Direktorat Sistem Perbendaharaan melalui KPPN mitra kerja, dilampiri dengan:
a. SKKSPN;
b. SKTB;
c. fotokopi BPN;
d. fotokopi bukti kepemilikan rekening tujuan; dan
e. SPTJM yang dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 15
(1) KPPN mitra kerja meneruskan permintaan pengembalian PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada Direktorat Sistem Perbendaharaan.
(2) Direktorat Sistem Perbendaharaan melakukan pengujian dan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen permintaan pengembalian penerimaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan membandingkan kesesuaian antara jumlah permintaan pengembalian PNBP dengan dokumen lampiran.
(4) Dalam hal permintaan pengembalian atas Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lengkap dan benar, Direktorat Sistem Perbendaharaan menerbitkan SPMPP.
(5) SPMPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada KPPN Jakarta II.
(6) Dalam hal SPMPP diterbitkan dalam mata uang asing, SPMPP diajukan kepada KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah.
(7) Proses penerbitan dan pengajuan SPMPP dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 16
Berdasarkan SPMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) atau ayat (6), KPPN Jakarta II/KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
9. Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara (Peraturan BPK 3/2007)
Pasal 29
(1) Berdasarkan surat keputusan pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan, bendahara wajib mengganti kerugian negara dengan cara menyetorkan secara tunai ke kas negara/daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat keputusan pembebanan.
(2) Dalam hal bendahara telah mengganti kerugian negara secara tunai, maka harta kekayaan yang telah disita dikembalikan kepada yang bersangkutan.
10. Standar Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual
BAB II
Peristiwa yang menimbulkan piutang antara lain:
2.1. Pungutan Pendapatan Negara/Daerah
Timbulnya piutang di lingkungan pemerintahan pada umumnya terjadi karena adanya tunggakan pungutan pendapatan dan pemberian pinjaman serta transaksi lainnya yang menimbulkan hak tagih dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Pendapatan Pemerintah Pusat dikelompokkan menjadi Pendapatan Pajak, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Pendapatan Hibah. Pendapatan pemerintah daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, dimana dalam komponen PAD terdapat Pendapatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2.2. Perikatan
Terdapat berbagai perikatan antara instansi pemerintah dengan pihak lain yang menimbulkan piutang, seperti pemberian pinjaman, penjualan kredit, kemitraan.
2.3. Kerugian Negara/Daerah
Piutang atas kerugian Negara/Daerah sering disebut sebagai piutang Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan Tuntutan Perbendaharaan (TP). Tuntutan Ganti Rugi dikenakan oleh atasan langsung pegawai negeri ataupun bukan pegawai negeri yang bukan bendaharawan yang karena lalai atau perbuatan melawan hukum mengakibatkan kerugian Negara/Daerah. Tuntutan Perbendaharaan ditetapkan oleh BPK kepada bendahara yang karena lalai atau perbuatan melawan hukum mengakibatkan kerugian Negara/Daerah.
Penyelesaian atas Tuntutan Ganti Rugi/Tuntutan Perbendaharaan ini dapat dilakukan dengan cara damai (di luar pengadilan) atau melalui pengadilan. Apabila penyelesaian tagihan ini dilakukan dengan cara damai, maka setelah proses pemeriksaan selesai dan telah ada Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM) dari pihak yang bersangkutan, diakui sebagai Piutang Tuntutan Ganti Rugi/Tuntutan Perbendaharaan dan disajikan di neraca untuk jumlah yang akan diterima lebih dari 12 bulan mendatang dan disajikan sebagai piutang kelompok aset lancar untuk jumlah yang akan diterima dalam waktu 12 bulan mendatang.
Dalam hal yang bersangkutan memilih menggunakan jalur pengadilan, pengakuan piutang dilakukan setelah terdapat surat ketetapan. Apabila terdapat barang/uang yang disita oleh Negara/Daerah sebagai jaminan maka hal ini wajib diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
11. Standar Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah
BAB III poin 3.3.1. Pengakuan
Suatu peristiwa yang mengakibatkan terjadinya kerugian Negara/Daerah berdasarkan putusan pengadilan dapat menimbulkan beberapa pengakuan akuntansi di entitas terkait, yaitu:
a. Entitas yang mengalami kerugian Negara/Daerah
1) Pengakuan Beban Non Operasional
Beban Non Operasional diakui pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.
2) Pengakuan atas kekurangan aset
Diakui dengan mengeluarkan atau mengurangkan dari neraca pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.
b. Entitas Yang Berhak Menerima
1) Pengakuan atas Piutang Ganti kerugian Negara/Daerah
Piutang Ganti Kerugian diakui di neraca pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.
2) Pengakuan Pendapatan LRA
Pendapatan LRA yang berasal dari pelunasan piutang ganti kerugian Negara/Daerah diakui pada saat diterima di Kas Negara/Daerah.
3) Pengakuan Pendapatan Laporan Operasional (LO)
Pendapatan LO diakui pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.
BAB III poin 3.3.2. Pengukuran
Pengukuran nilai kerugian Negara/Daerah yang berasal dari kerugian Negara/Daerah karena putusan pengadilan adalah sebagai berikut:
a. Beban kerugian Negara/Daerah dan kekurangan aset diukur berdasarkan nilai yang dihitung oleh Ahli.
b. Piutang Ganti kerugian Negara/Daerah dan Pendapatan LO diukur berdasarkan nilai putusan hakim.
c. Pendapatan LRA yang berasal dari pelunasan piutang ganti kerugian Negara/Daerah diukur sebesar jumlah yang diterima di Kas Negara.
BAB III poin 3.4. Pengungkapan Kerugian Negara/Daerah
Pengungkapan kerugian Negara/Daerah pada CaLK antara lain:
a. Kebijakan akuntansi kerugian Negara/Daerah.
b. Informasi mengenai akun piutang diungkapkan dalam Catatan Atas Laporan Keuangan. Informasi dimaksud dapat berupa:
1) Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penilaian, pengakuan dan pengukuran tagihan TGR;
2) Rincian jenis-jenis, saldo menurut umur untuk mengetahui tingkat kolektibilitasnya;
3) Penjelasan atas penyelesaian piutang, masih di kementerian Negara/lembaga/daerah atau telah diserahkan penagihannya ke PUPN;
4) Tuntutan ganti rugi/perbendaharaan yang masih dalam proses penyelesaian, baik melalui cara damai maupun pengadilan.
c. Dalam hal terdapat barang/uang yang disita oleh Negara/Daerah sebagai jaminan maka hal ini wajib diungkapkan.
Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:
1. Mekanisme pengembalian uang pengganti ke Kas Daerah memiliki dasar hukum yang jelas, yaitu melalui ketentuan Pasal 6 PMK 96/PMK.05/2017, yang memberikan ruang bagi Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi untuk mengajukan permintaan pengembalian atas PNBP yang telah disetorkan ke Kas Negara, dalam hal dana tersebut seharusnya menjadi hak pemerintah daerah.
2. Pemerintah daerah berwenang untuk menarik kembali dana yang disetorkan ke Kas Negara, sepanjang dana tersebut merupakan hak daerah atas dasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menetapkan adanya kerugian daerah dan pembayaran uang pengganti.
3. Penarikan dana oleh pemerintah daerah tersebut dapat dicatat sebagai piutang lain-lain, berdasarkan pengakuan dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diatur dalam Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah, di mana entitas penerima berhak mengakui piutang ganti kerugian di neraca pada saat terdapat putusan pengadilan.
4. Secara akuntansi, pemerintah daerah yang mengalami kerugian wajib mengakui beban non operasional dan kekurangan aset, yang dicatat saat putusan pengadilan dinyatakan, sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban keuangan.
5. Sebaliknya, entitas penerima dalam hal ini pemerintah daerah, berhak mencatat piutang ganti rugi dan pendapatan LRA, serta mengakui pendapatan dalam Laporan Operasional (LO), yang masing-masing diakui pada saat terjadi pelunasan piutang atau ketika putusan pengadilan dikeluarkan.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.
Disclaimer:
“Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.
Peraturan
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian
Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain
Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti
Kerugian Negara Terhadap Bendahara
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pembayaran atas
Transaksi Pengembalian Penerimaan Negara
Standar
Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis
Akrual
Standar
Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian
Negara/Daerah
Artikel
Kewenangan
Penghitungan Kerugian Negara
Ketika KPK
Diperintahkan Kembalikan Setoran Uang Eks Pejabat Unud
Antara Uang
Pengganti dan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
Pembayaran Uang
Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan dengan Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peran Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara dalam Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak
Pidana Korupsi (Studi Penelitian di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara)
Buku
Manajemen Perbendaharaan
Negara
Slide PowerPoint
Kerugian Negara
Tindak Lanjut
LHP dan Pemantauan Kerugian Negara