TANJIK HUKUM ONLINE

Tanjik Hukum Online

Selamat datang di Tanjik Hukum Online, adalah platform inovatif yang dirancang oleh BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara untuk meningkatkan aksesibilitas dan pemahaman Anda terhadap informasi hukum di bidang keuangan negara/daerah. Aplikasi ini memudahkan Anda dalam mengajukan pertanyaan, memperoleh perkembangan hukum terkini, serta berpartisipasi dalam edukasi hukum secara daring dan mendukung tata kelola keuangan yang lebih baik. Mari bergabung dan eksplorasi fitur pertanyaan dan arsip yang telah kami siapkan di Tanjik Hukum Online untuk memaksimalkan pengalaman Anda dalam memperoleh informasi hukum yang akurat dan relevan.

Form Konsultasi

THO

ARSIP PERTANYAAN

Keuangan Negara

  • Apakah Pegawai Negeri Sipil yang bertugas pada RSUD dr. H. Jusuf SK selaku Badan Layanan Umum Daerah dapat menerima tambahan penghasilan pegawai (TPP) selain remunerasi yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Utara Nomor 22 Tahun 2017 tentang Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Pegawai, dan Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagai BLUD, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan, kepatuhan terhadap regulasi, serta asas tidak menerima penghasilan ganda dari sumber pendanaan yang sama?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011)

    Pasal 5

    Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

    a. kejelasan tujuan;

    b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

    c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

    d. dapat dilaksanakan;

    e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

    f. kejelasan rumusan; dan

    g. keterbukaan.

    Penjelasan Pasal 5 Huruf c

    Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

    Pasal 7 ayat (1)

    Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

    a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

    c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

    d. Peraturan Pemerintah;

    e. Peraturan Presiden;

    f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

    g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

    Pasal 7 ayat (2)

    Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Penjelasan Pasal 7 ayat (2)

    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

    Pasal 8 ayat (1)

    Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

    Pasal 8 ayat (2)

    Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

    2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    (PP 12/2019)

    Pasal 3 ayat (1)

    Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat, serta taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

    3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 (Permendagri 15/2024)

    Lampiran poin 3.4.1.1.2 huruf f angka 3)

    Kriteria penetapan besaran TPP ASN TA 2025 antara lain: 3) Mengintegrasikan dan memformulasikan pemberian insentif, lembur, honorarium, kompensasi lainnya, dan/atau apapun yang diterima ASN sepanjang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang diterima ASN ke dalam formula TPP ASN berdasarkan kriteria beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau pertimbangan objektif lainnya dengan mempertimbangkan tugas dan fungsi terkait pemberian honorarium, kompensasi lainnya, dan/atau yang menjadi bagian apapun yang diterima ASN menjadi bagian kelas jabatan.

    4. Peraturan Gubernur Kalimantan Utara Nomor 22 Tahun 2017 tentang Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Pegawai dan Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum Daerah (Pergub Kaltara 22/2017)

    Pasal 1 Angka 15

    Remunerasi adalah imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi dan pesangon.

    Pasal 5

    Setiap pegawai RS-BLUD berhak mendapatkan Remunerasi yang secara rinci diatur dalam Keputusan

    Direktur.

    Pasal 11

    (1) Sumber remunerasi Pejabat Pengelola dan Dewan Pengawas RS-BLUD dapat berasal dari komponen jasa sarana (biaya umum dan administrasi) dari penerimaan fungsional/jasa layanan RS-BLUD.

    (2) Gaji Pegawai RS-BLUD bersumber dari Pemerintah Daerah dan/atau biaya operasional/jasa sarana rumah sakit.

    (3) Gaji Pegawai RS-BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi pegawai RS-BLUD yang berstatus Pegawai Negeri Sipil berasal dari Pemerintah Daerah, sedangkan yang berstatus Non Pegawai Negeri Sipil berasal dari jasa sarana rumah sakit.

    (4) Insentif pegawai Non PNS RS-BLUD bersumber dari jasa sarana dan/atau keuntungan usaha-usaha lain.

    (5) Honorarium bersumber dari biaya operasional/jasa sarana RS-BLUD.

    (6) Tunjangan bersumber dari Pemerintah Daerah dan/atau biaya operasional/jasa sarana rumah sakit sesuai dengan peraturan perundangundangan.

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Remunerasi dalam Pergub Kaltara 22/2017 diartikan sebagai imbalan kerja mencakup gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, dan pesangon, yang menjadi hak setiap pegawai RS-BLUD dan diatur secara rinci melalui Keputusan Direktur.

    2. Sesuai ketentuan Pasal 11 Pergub Kaltara 22/2017, dijelaskan bahwa sumber remunerasi bagi pejabat pengelola dan dewan pengawas RS-BLUD dapat berasal dari komponen jasa sarana yang mencakup biaya umum dan administrasi dalam penerimaan fungsional rumah sakit. Adapun gaji pegawai RS-BLUD bersumber dari Anggaran Pemerintah Daerah dan/atau pendapatan operasional rumah sakit, dengan ketentuan bahwa gaji bagi pegawai berstatus PNS dibiayai oleh Pemerintah Daerah, sedangkan bagi Non-PNS berasal dari jasa sarana rumah sakit. Selain itu, insentif untuk pegawai Non-PNS dapat diberikan melalui pendapatan jasa sarana dan/atau hasil usaha lainnya. Sementara itu, pemberian honorarium dibiayai dari dana operasional rumah sakit, dan tunjangan diberikan berdasarkan anggaran Pemerintah Daerah dan/atau biaya jasa sarana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    3. Setiap kebijakan pengelolaan keuangan daerah wajib dilaksanakan tertib, efisien, transparan, dan bertanggung jawab sesuai prinsip good governance sebagaimana diatur Pasal 3 ayat (1) PP 12/2019, serta hanya diperkenankan apabila selaras dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai UU 12/2011 jo. UU 13/2022, khususnya terkait kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan.

    4. Dalam penyusunan APBD Tahun Anggaran 2025, seluruh bentuk insentif, lembur, honorarium, kompensasi lainnya, dan/atau apapun ASN wajib diintegrasikan ke dalam TPP berdasarkan Lampiran poin 3.4.1.1.2 huruf f angka 3) Permendagri 15/2024, dengan tetap menjunjung asas legalitas, akuntabilitas, dan supremasi hukum dalam kebijakan penganggaran, khususnya terhadap penerima remunerasi sesuai Pergub Kaltara 22/2017 yang juga penerima TPP (ASN) berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Utara Nomor 2 Tahun 2023.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13
    Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
     

    Peraturan
    Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
    Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025
     

    Peraturan
    Gubernur Kalimantan Utara Nomor 22 Tahun 2017 tentang Remunerasi bagi Pejabat
    Pengelola, Pegawai dan Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagai Badan Layanan Umum
    Daerah
     

      

    Artikel 

    Pengaruh
    Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai terhadap
    Kepuasan Kerja dan Implikasinya pada Peningkatan
    Kinerja Pegawai
     

    Additional
    Impact of Employee Income and Community Culture on Employee Discipline
     

      

    Buku 

    Tambahan
    Penghasilan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah
      

  • Apakah LHP BPK atas yang sudah pernah diminta oleh APH dapat diminta oleh instansi lainnya?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU 15/2004)

    Pasal 19

    (1) Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum.

    (2) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

    2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU 15/2006)

    Pasal 7 ayat (5)

    Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum.

    3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008)

    Pasal 7 ayat (1)

    Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

    Pasal 8

    Kewajiban Badan Publik yang berkaitan dengan kearsipan dan pendokumentasian Informasi Publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 17

    Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:

    a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:

    1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;

    2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;

    3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;

    4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau

    5. membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.

    b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;

    c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:

    1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri;

    2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;

    3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya;

    4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;

    5. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia;

    6. sistem persandian negara; dan/atau

    7. sistem intelijen negara.

    d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;

    e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:

    1. rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;

    2. rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan;

    3. rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;

    4. rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;

    5. rencana awal investasi asing;

    6. proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/atau

    7. hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.

    f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri:

    1. posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;

    2. korespondensi diplomatik antarnegara;

    3. sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/atau

    4. perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.

    g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;

    h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:

    1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;

    2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;

    3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;

    4. hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau

    5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan non formal

    i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;

    j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

    4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (PP 61/2010)

    Pasal 3 ayat (1)

    Pengklasifikasian Informasi ditetapkan oleh PPID di setiap Badan Publik berdasarkan Pengujian Konsekuensi secara saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.

    5. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan (Peraturan BPK 1/2022)

    Pasal 5 ayat (2)

    PPID dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:

    a. menyimpan, mendokumentasikan, menyediakan, dan/atau melaksanakan pelayanan Informasi di lingkungan BPK;

    b. mengoordinasikan dan mengklasifikasikan Informasi Publik dari setiap unit/satuan kerja yang meliputi:

    1. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala;

    2. Informasi yang wajib tersedia setiap saat;

    3. Informasi terbuka lainnya yang diminta Pemohon Informasi Publik; 

    c. mengoordinasikan pendataan Informasi Publik yang dikuasai oleh setiap unit/satuan kerja di lingkungan BPK untuk pembuatan dan pemutakhiran DIP secara berkala;

    d. memberikan pertimbangan tertulis atas setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik; dan 

    e. melakukan Pengujian Konsekuensi sebelum menyatakan suatu Informasi Publik dikecualikan sebagai Informasi Publik yang dapat diakses.

    6. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Peraturan KI 1/2021)

    Pasal 49

    (1) Pengujian konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dapat dilakukan:

    a. sebelum adanya Permintaan Informasi Publik;

    b. pada saat adanya Permintaan Informasi Publik; atau

    c. pada saat penyelesaian sengketa Informasi Publik atas perintah Majelis Komisioner.

    (2) Pengujian konsekuensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

    a. mengidentifikasi dokumen Informasi Publik yang di dalamnya memuat Informasi yang akan dikecualikan;

    b. mencatat Informasi yang akan dikecualikan secara jelas dan terang; 

    c. menganalisis undang-undang yang dijadikan dasar pengecualian; 

    d. menganalisis dan mempertimbangkan berdasarkan kepatutan, kesusilaan, kepentingan umum dan/atau ukuran lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi dibuka.

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Bahwa hasil pemeriksaan BPK yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum serta wajib disediakan, diberikan, dan/atau diterbitkan sebagai informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    2. Bahwa BPK sebagai badan publik, berkewajiban menyediakan informasi publik di bawah kewenangannya kepada setiap pemohon, kecuali informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan UU 14/2008 jo. PP 61/2010 jis. Peraturan KI 1/2021.

    3. Berdasarkan Pasal 17 huruf a UU 14/2008, BPK wajib membuka akses atas LHP yang telah disampaikan kepada DPRD, kecuali jika isi laporan tersebut ditetapkan sebagai informasi yang dikecualikan karena berpotensi menghambat penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. Bahwa mekanisme pengujian konsekuensi merupakan prasyarat yuridis yang harus dilaksanakan secara cermat sebelum menetapkan suatu informasi sebagai informasi publik yang dikecualikan, dengan melalui tahapan identifikasi dokumen, pencatatan eksplisit, serta analisis hukum dan pertimbangan normatif atas dampak keterbukaan informasi. Di samping itu, penilaian terhadap pemanfaatan informasi hasil pemeriksaan BPK oleh aparat penegak hukum dalam proses hukum juga wajib diperhitungkan sebagai bagian integral dari pertimbangan pengecualian.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
    Negara
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
     

    Undang-Undang
    Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
    2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
     

    Peraturan Badan
    Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan
    Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan
     

    Peraturan Komisi
    Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik
     

      

    Artikel 

    Implementasi
    Pemberian Informasi Publik pada Badan
    Pemeriksa
    Keuangan
    Perwakilan Provinsi Jambi Berdasarkan Undang-Undang
    Nomor
    14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
     

    Publikasi LHP
    sebagai Wujud Pelaksanaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
     

      

    Buku 

    Akuntabilitas
    Publik
      

  • Bagaimanakah ketentuan pengaturan honorarium narasumber dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional, dan apakah penetapannya harus didasarkan pada surat keputusan atau cukup melalui surat tugas?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    (PP 12/2019)

    Pasal 51

    (1) Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (5) berpedoman pada standar harga satuan regional, analisis standar belanja, dan/atau standar teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2) Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6) dan ayat (7) berpedoman pada standar harga satuan regional, analisis standar belanja, dan/atau standar teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3) Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

    (4) Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai pedoman dalam menyusun standar harga satuan pada masing-masing Daerah.

    Pasal 121

    (1) (1) PA/KPA, Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran, dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

    (3) Kebenaran material sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kebenaran atas penggunaan anggaran dan Hasil yang dicapai atas Beban APBD sesuai dengan kewenangan pejabat yang bersangkutan.

    Pasal 141 ayat (1)

    Setiap pengeluaran harus didukung bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

    2. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional

    (Perpres 72/2025)

    Pasal 1

    (1) Dengan Peraturan Presiden ini ditetapkan standar harga satuan regional.

    (2) Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. satuan biaya honorarium;

    b. satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri;

    c. satuan biaya rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor;

    d. satuan biaya pengadaan kendaraan dinas; dan

    e. satuan biaya pemeliharaan.

    Pasal 2

    (1) Standar harga satuan regional yang bersifat batas tertinggi yang besarannya tidak dapat dilampaui dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

    (2) Standar harga satuan regional yang bersifat batas tertinggi yang besarannya tidak dapat dilampaui dalam perencanaan dan dapat dilampaui dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

    Pasal 3

    (1) Kepala daerah menetapkan standar harga satuan biaya honorarium, perjalanan dinas dalam negeri, rapat atau pertemuan di dalam dan di luar kantor, pengadaan kendaraan dinas, dan pemeliharaan berpedoman pada standar harga satuan regional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, dan kewajaran.

    (2) Kepala daerah dapat menetapkan standar harga satuan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Lampiran I

    meliputi 14 (empat belas) jenis honorarium:

    1.1. Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan;

    1.2. Honorarium Pengadaan Barang/Jasa;

    1.3. Honorarium Perangkat Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ);

    1.4. Honorarium Narasumber atau Pembahas, Moderator, Pembawa Acara, dan Panitia;

    1.5. Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan dan Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan;

    1.6. Honorarium Pemberi Keterangan Ahli, Saksi Ahli, dan Beracara;

    1.7. Honorarium Penyuluhan atau Pendampingan;

    1.8. Honorarium Rohaniwan;

    1.9. Honorarium Tim Penyusunan Jurnal, Buletin, Majalah, Pengelola Teknologi Informasi, dan Pengelola Website;

    1.10. Honorarium Penyelenggara Ujian;

    1.11. Honorarium Penulisan Butir Soal Tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Kota;

    1.12. Honorarium Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan;

    1.13. Honorarium Tim Anggaran Pemerintah Daerah;

    1.14. Honorarium Pengurus Barang Milik Daerah;

    Lampiran I angka 1.4.1

    Honorarium narasumber atau pembahas diberikan kepada pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, dan pihak lain yang memberikan informasi atau pengetahuan dalam kegiatan seminar, rapat, sosialisasi, diseminasi, bimbingan teknis, workshop, sarasehan, simposium, lokakarya, focus group disussion, dan kegiatan sejenis (tidak termasuk untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan).

    Honorarium narasumber atau pembahas dapat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

    a. satuan jam yang digunakan dalam pemberian honorarium narasumber atau pembahas adalah 60 (enam puluh) menit, baik dilakukan secara panel maupun individual.

    b. narasumber atau pembahas berasal dari:

    1) luar satuan kerja perangkat daerah penyelenggara atau masyarakat; atau

    2) dalam satuan kerja perangkat daerah penyelenggara sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar satuan kerja perangkat daerah penyelenggara dan/atau masyarakat.

    c. Dalam hal narasumber atau pembahas tersebut berasal dari satuan kerja perangkat daerah penyelenggara, maka diberikan honorarium sebesar 50% (lima puluh persen) dari honorarium narasumber/pembahas.

    Tabel 1.1. Satuan Biaya Honorarium  

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, dan pihak lain dapat diberikan honorarium narasumber atau pembahas dalam rangka pelaksanaan kegiatan seminar, rapat, sosialisasi, diseminasi, bimbingan teknis, workshop, sarasehan, simposium, lokakarya, focus group disussion, dan kegiatan sejenis (tidak termasuk untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan), Dengan demikian, sepanjang kegiatan yang dilaksanakan telah memenuhi ketentuan pemberian honorarium sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 angka 1.4.1 Perpres 72/2025, dalam ini peran atau keikutsertaan Pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, dan pihak lain dalam kegiatan tersebut adalah bertindak sebagai narasumber atau pembahas atas kegiatan menyampaikan materi, informasi atau pengetahuan pada kegiatan, baik yang sifatnya pembinaan maupun arahan teknis, maka dapat diberikan honorarium sebagai Narasumber.

    2. Dalam rangka penatausahaan dokumen pertanggungjawaban atas pengeluaran APBD, Surat Tugas yang memuat rincian pelaksanaan tugas, waktu, lokasi, serta pejabat penandatangan dapat dijadikan dasar legalitas, di mana pejabat tersebut bertanggung jawab secara material atas isi dan akibat hukum dari surat tersebut. Adapun Surat Keputusan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah digunakan untuk membentuk tim kerja kolektif dengan tugas terkoordinasi guna mendukung pelaksanaan program yang memerlukan legitimasi formal dan tanggung jawab bersama. Sebaliknya, Surat Tugas bersifat individual dan berfungsi sebagai dasar penugasan narasumber dalam suatu kegiatan tertentu, yang mencakup pengesahan pelaksanaan tugas serta validasi atas hak administratif seperti honorarium.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.


    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 

    Peraturan
    Presiden Nomor 72 Tahun 2025 tentang Standar Harga Satuan Regional
     

    Peraturan
    Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Naskah
    Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah
     

      

    Artikel 

    Standar
    Pelayanan Penyediaan Narasumber di Lingkungan Kementerian Pendayagunaan
    Aparatur Negara dan Reformasi
    Birokrasi
      

  • Bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur mekanisme penyetoran uang pengganti atas kerugian daerah ke Kas Negara, serta apakah pemerintah daerah memiliki dasar hukum untuk menarik kembali dana tersebut dan mengakuinya sebagai piutang lain-lain?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    Pasal 10 huruf b

    Pidana terdiri atas: b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.

    2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU PTPK)

    Pasal 2

    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Pasal 3

    Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Pasal 18

    (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

    a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

    b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

    c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

    d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

    (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

    (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004)

    Pasal 1 Angka 2

    Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh menteri keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

    Pasal 1 Angka 4

    Kas Daerah sebagai tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

    Pasal 1 Angka 7

    Piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

    Pasal 9 ayat (2) huruf m dan n

    Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah berwenang antara lain: m. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; n. melakukan penagihan piutang daerah;

    Pasal 14 ayat (1)

    Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 62

    (1) Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

    (2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    (3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.

    4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU 15/2004)

    Pasal 22 ayat (4)

    Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.

    5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain (PP 38/2016)

    Pasal 41

    Berdasarkan surat penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Pihak yang Merugikan/Pengampu/yang Memperoleh Hak/Ahli Waris menyetorkan ganti Kerugian Negara/Daerah ke Kas Negara/Daerah.

    6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia (PP 39/2016)

    Pasal 1 ayat (1) huruf a

    Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia meliputi penerimaan dari antara lain: a. pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi;

    Pasal 1 ayat (2)

    Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf o merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dan/atau akibat dari penetapan hakim

    dan/atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    Pasal 1 ayat (3)

    Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h, sebesar yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    Pasal 1 Angka 1

    Keuangan Daerah sebagai semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.

    Pasal 1 Angka 49

    Piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.

    Pasal 8 ayat (3) huruf j dan huruf k

    Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: antara lain untuk melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah dan melakukan penagihan piutang daerah.

    8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pembayaran atas Transaksi Pengembalian Penerimaan Negara (PMK 96/2017)

    Pasal 2

    (1) Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara yang telah disetor melalui Kas Negara pada tahun anggaran berjalan maupun tahun anggaran yang lalu.

    (2) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. pengembalian PNBP;

    b. pengembalian penerimaan pajak dan bea cukai; dan

    c. pengembalian Penerimaan Negara yang disetor melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN).

    Pasal 3

    (1) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang disetorkan pada tahun anggaran berjalan dibukukan sebagai pengurang Penerimaan Negara bersangkutan dan dibebankan pada akun penerimaan yang sama dengan akun yang digunakan pada saat penyetorannya.

    (2) Pengembalian Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dibebankan pada Sisa Anggaran Lebih (SAL).

    (3) Permintaan pengembalian Penerimaan Negara dilakukan berdasarkan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang sah.

    Pasal 4

    (1) Pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dilakukan oleh Direktorat Sistem Perbendaharaan selaku satuan kerja pengembalian Penerimaan Negara atas beban SAL.

    (2) Pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara melalui RKUN pada tahun anggaran berjalan dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara selaku satuan kerja pembayaran atas transaksi pengembalian Penerimaan Negara melalui RKUN.

    Pasal 6

    Pengembalian PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal terjadi:

    a. Keterlanjuran setoran/kelebihan penyetoran PNBP;

    b. Kelebihan pemotongan pada SPM atas transaksi PNBP; atau

    c. Kesalahan perekaman dan eksekusi Kode Billing setoran PNBP oleh Bank/Pos Persepsi.

    Pasal 12

    Pengembalian PNBP yang disetorkan pada tahun anggaran yang lalu dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

    a. Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi menyampaikan permintaan pengembalian PNBP kepada KPA dengan dilampiri BPN dan fotokopi bukti kepemilikan rekening tujuan;

    b. KPA melakukan pengujian atas keabsahan BPN dan kebenaran perhitungan jumlah pengembalian yang diajukan oleh Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi; dan

    c. KPA menyampaikan permintaan penerbitan SKTB kepada KPPN mitra kerja, atas setoran PNBP yang dimintakan pengembalian.

    Pasal 13

    (1) Berdasarkan permintaan penerbitan SKTB dari KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, KPPN mitra kerja melakukan penelitian untuk memastikan setoran dimaksud telah diterima dan telah dibukukan oleh KPPN.

    (2) Dalam hal setoran dimaksud telah diterima dan telah telah dibukukan, KPPN Mitra kerja menerbitkan SKTB dengan menggunakan format tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    (3) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya disampaikan kepada KPA.

    Pasal 14

    (1) Berdasarkan SKTB dari KPPN mitra kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), KPA menerbitkan SKKSPN dengan menggunakan format tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    (2) KPA menyampaikan permintaan pengembalian PNBP kepada Direktorat Sistem Perbendaharaan melalui KPPN mitra kerja, dilampiri dengan:

    a. SKKSPN;

    b. SKTB;

    c. fotokopi BPN;

    d. fotokopi bukti kepemilikan rekening tujuan; dan

    e. SPTJM yang dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Pasal 15

    (1) KPPN mitra kerja meneruskan permintaan pengembalian PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada Direktorat Sistem Perbendaharaan.

    (2) Direktorat Sistem Perbendaharaan melakukan pengujian dan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen permintaan pengembalian penerimaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    (3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan membandingkan kesesuaian antara jumlah permintaan pengembalian PNBP dengan dokumen lampiran.

    (4) Dalam hal permintaan pengembalian atas Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lengkap dan benar, Direktorat Sistem Perbendaharaan menerbitkan SPMPP.

    (5) SPMPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada KPPN Jakarta II.

    (6) Dalam hal SPMPP diterbitkan dalam mata uang asing, SPMPP diajukan kepada KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah.

    (7) Proses penerbitan dan pengajuan SPMPP dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Pasal 16

    Berdasarkan SPMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) atau ayat (6), KPPN Jakarta II/KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    9. Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara (Peraturan BPK 3/2007)

    Pasal 29

    (1) Berdasarkan surat keputusan pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan, bendahara wajib mengganti kerugian negara dengan cara menyetorkan secara tunai ke kas negara/daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat keputusan pembebanan.

    (2) Dalam hal bendahara telah mengganti kerugian negara secara tunai, maka harta kekayaan yang telah disita dikembalikan kepada yang bersangkutan.

    10. Standar Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual

    BAB II

    Peristiwa yang menimbulkan piutang antara lain:

    2.1. Pungutan Pendapatan Negara/Daerah

    Timbulnya piutang di lingkungan pemerintahan pada umumnya terjadi karena adanya tunggakan pungutan pendapatan dan pemberian pinjaman serta transaksi lainnya yang menimbulkan hak tagih dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Pendapatan Pemerintah Pusat dikelompokkan menjadi Pendapatan Pajak, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Pendapatan Hibah. Pendapatan pemerintah daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, dimana dalam komponen PAD terdapat Pendapatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

    2.2. Perikatan

    Terdapat berbagai perikatan antara instansi pemerintah dengan pihak lain yang menimbulkan piutang, seperti pemberian pinjaman, penjualan kredit, kemitraan.

    2.3. Kerugian Negara/Daerah

    Piutang atas kerugian Negara/Daerah sering disebut sebagai piutang Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan Tuntutan Perbendaharaan (TP). Tuntutan Ganti Rugi dikenakan oleh atasan langsung pegawai negeri ataupun bukan pegawai negeri yang bukan bendaharawan yang karena lalai atau perbuatan melawan hukum mengakibatkan kerugian Negara/Daerah. Tuntutan Perbendaharaan ditetapkan oleh BPK kepada bendahara yang karena lalai atau perbuatan melawan hukum mengakibatkan kerugian Negara/Daerah.

    Penyelesaian atas Tuntutan Ganti Rugi/Tuntutan Perbendaharaan ini dapat dilakukan dengan cara damai (di luar pengadilan) atau melalui pengadilan. Apabila penyelesaian tagihan ini dilakukan dengan cara damai, maka setelah proses pemeriksaan selesai dan telah ada Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM) dari pihak yang bersangkutan, diakui sebagai Piutang Tuntutan Ganti Rugi/Tuntutan Perbendaharaan dan disajikan di neraca untuk jumlah yang akan diterima lebih dari 12 bulan mendatang dan disajikan sebagai piutang kelompok aset lancar untuk jumlah yang akan diterima dalam waktu 12 bulan mendatang.

    Dalam hal yang bersangkutan memilih menggunakan jalur pengadilan, pengakuan piutang dilakukan setelah terdapat surat ketetapan. Apabila terdapat barang/uang yang disita oleh Negara/Daerah sebagai jaminan maka hal ini wajib diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).

    11. Standar Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah

    BAB III poin 3.3.1. Pengakuan

    Suatu peristiwa yang mengakibatkan terjadinya kerugian Negara/Daerah berdasarkan putusan pengadilan dapat menimbulkan beberapa pengakuan akuntansi di entitas terkait, yaitu:

    a. Entitas yang mengalami kerugian Negara/Daerah

    1) Pengakuan Beban Non Operasional

    Beban Non Operasional diakui pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    2) Pengakuan atas kekurangan aset

    Diakui dengan mengeluarkan atau mengurangkan dari neraca pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    b. Entitas Yang Berhak Menerima

    1) Pengakuan atas Piutang Ganti kerugian Negara/Daerah

    Piutang Ganti Kerugian diakui di neraca pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    2) Pengakuan Pendapatan LRA

    Pendapatan LRA yang berasal dari pelunasan piutang ganti kerugian Negara/Daerah diakui pada saat diterima di Kas Negara/Daerah.

    3) Pengakuan Pendapatan Laporan Operasional (LO)

    Pendapatan LO diakui pada saat sudah ada Putusan Pengadilan.

    BAB III poin 3.3.2. Pengukuran

    Pengukuran nilai kerugian Negara/Daerah yang berasal dari kerugian Negara/Daerah karena putusan pengadilan adalah sebagai berikut:

    a. Beban kerugian Negara/Daerah dan kekurangan aset diukur berdasarkan nilai yang dihitung oleh Ahli.

    b. Piutang Ganti kerugian Negara/Daerah dan Pendapatan LO diukur berdasarkan nilai putusan hakim.

    c. Pendapatan LRA yang berasal dari pelunasan piutang ganti kerugian Negara/Daerah diukur sebesar jumlah yang diterima di Kas Negara.

    BAB III poin 3.4. Pengungkapan Kerugian Negara/Daerah

    Pengungkapan kerugian Negara/Daerah pada CaLK antara lain:

    a. Kebijakan akuntansi kerugian Negara/Daerah.

    b. Informasi mengenai akun piutang diungkapkan dalam Catatan Atas Laporan Keuangan. Informasi dimaksud dapat berupa:

    1) Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penilaian, pengakuan dan pengukuran tagihan TGR;

    2) Rincian jenis-jenis, saldo menurut umur untuk mengetahui tingkat kolektibilitasnya;

    3) Penjelasan atas penyelesaian piutang, masih di kementerian Negara/lembaga/daerah atau telah diserahkan penagihannya ke PUPN;

    4) Tuntutan ganti rugi/perbendaharaan yang masih dalam proses penyelesaian, baik melalui cara damai maupun pengadilan.

    c. Dalam hal terdapat barang/uang yang disita oleh Negara/Daerah sebagai jaminan maka hal ini wajib diungkapkan.

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka bersama ini kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Mekanisme pengembalian uang pengganti ke Kas Daerah memiliki dasar hukum yang jelas, yaitu melalui ketentuan Pasal 6 PMK 96/PMK.05/2017, yang memberikan ruang bagi Wajib Bayar atau Bank/Pos Persepsi untuk mengajukan permintaan pengembalian atas PNBP yang telah disetorkan ke Kas Negara, dalam hal dana tersebut seharusnya menjadi hak pemerintah daerah.

    2. Pemerintah daerah berwenang untuk menarik kembali dana yang disetorkan ke Kas Negara, sepanjang dana tersebut merupakan hak daerah atas dasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menetapkan adanya kerugian daerah dan pembayaran uang pengganti.

    3. Penarikan dana oleh pemerintah daerah tersebut dapat dicatat sebagai piutang lain-lain, berdasarkan pengakuan dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diatur dalam Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah, di mana entitas penerima berhak mengakui piutang ganti kerugian di neraca pada saat terdapat putusan pengadilan.

    4. Secara akuntansi, pemerintah daerah yang mengalami kerugian wajib mengakui beban non operasional dan kekurangan aset, yang dicatat saat putusan pengadilan dinyatakan, sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban keuangan.

    5. Sebaliknya, entitas penerima dalam hal ini pemerintah daerah, berhak mencatat piutang ganti rugi dan pendapatan LRA, serta mengakui pendapatan dalam Laporan Operasional (LO), yang masing-masing diakui pada saat terjadi pelunasan piutang atau ketika putusan pengadilan dikeluarkan.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
     

    Undang-Undang
    Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
     

    Undang-Undang
    Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
    Negara
     

    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
    tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian
    Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain
     

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 39 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
    Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia
     

    Peraturan Badan
    Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti
    Kerugian Negara Terhadap Bendahara
     

    Peraturan
    Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pembayaran atas
    Transaksi Pengembalian Penerimaan Negara
     

    Standar
    Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis
    Akrual
     

    Standar
    Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 20 tentang Akuntansi Kerugian
    Negara/Daerah
     

      

      

    Artikel 

    Kewenangan
    Penghitungan Kerugian Negara
     

    Ketika KPK
    Diperintahkan Kembalikan Setoran Uang Eks Pejabat Unud
     

    Antara Uang
    Pengganti dan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
     

    Pembayaran Uang
    Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan dengan Undang-Undang tentang
    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
     

    Peran Kejaksaan
    Tinggi Sumatera Utara dalam Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak
    Pidana Korupsi (Studi Penelitian di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara)
     

      

    Buku 

    Manajemen Perbendaharaan
    Negara
     

      

    Slide PowerPoint 

    Kerugian Negara 

    Tindak Lanjut
    LHP dan Pemantauan Kerugian Negara


  • Apakah diperkenankan mengajukan permohonan ahli penghitungan kerugian negara kepada BPK apabila telah terdapat laporan hasil penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh instansi selain BPK?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut:
    1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (UU Tipikor)

    Penjelasan Pasal 32

    Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

    2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU 15/2004)

    Pasal 13

    Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian 

    negara/daerah dan/atau unsur pidana.

    3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU 15/2006)

    Pasal 10

    (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

    (2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.

    4. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif, Penghitungan Kerugian Negara/Daerah, dan Pemberian Keterangan Ahli

    (Peraturan BPK 1/2020)

    Pasal 13

    Penghitungan Kerugian Negara/Daerah dilakukan melalui Pemeriksaan Investigatif yang bertujuan untuk mengungkap ada atau tidaknya Kerugian Negara/Daerah termasuk menghitung nilai Kerugian Negara/ Daerah yang terjadi sebagai akibat dari penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. 

    Pasal 14

    Penghitungan Kerugian Negara/Daerah dilakukan oleh BPK dalam proses penyidikan suatu tindak pidana oleh Instansi yang Berwenang.

    Pasal 20

    (1) BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai Kerugian Negara/ Daerah. 

    (2) Keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Anggota BPK dan/atau Pelaksana BPK berdasarkan penugasan BPK. 

    Pasal 21

    Pemberian keterangan ahli dilakukan oleh BPK berdasarkan permintaan dari Instansi yang Berwenang. 

    Pasal 22

    Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 disampaikan secara tertulis kepada Ketua BPK melalui surat pejabat yang berwenang di lingkungan Instansi yang Berwenang. 

    Pasal 23

    Pemberian keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan dan/atau peradilan. 

    Pasal 24

    BPK dapat berkoordinasi dengan Instansi yang Berwenang dalam rangka menindaklanjuti permintaan pemberian keterangan ahli.

    Pasal 25

    (1) Keterangan ahli diberikan berdasarkan laporan Hasil Pemeriksaan penghitungan Kerugian Negara/Daerah.

    (2) Dalam hal permintaan pemberian keterangan ahli tidak didasarkan pada laporan Hasil Pemeriksaan penghitungan Kerugian Negara/Daerah, keterangan ahli dapat dipenuhi terkait dengan metodologi dan pengetahuan lain berkaitan dengan Pemeriksaan investigatif dan penghitungan Kerugian Negara/Daerah.

    5. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (SEMA 4/2016)

    A. Rumusan Hukum Kamar Pidana

    6. Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara;

    Dengan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta norma hukum yang berlaku, bersama ini kami sampaikan bahwa terhadap permohonan pelaksanaan penghitungan kerugian negara (PKN) oleh BPK, apabila sebelumnya telah terdapat laporan hasil PKN yang dilakukan oleh instansi selain BPK, maka terdapat tiga opsi yang secara normatif dapat dipertimbangkan:

    1. Pertama, mengakui hasil perhitungan pihak lain sebagai PKN BPK, namun opsi ini tidak memiliki dasar hukum;

    2. Kedua, menjadikan hasil perhitungan pihak lain sebagai informasi awal yang kemudian ditindaklanjuti dengan PKN secara mandiri oleh BPK; dan

    3. Ketiga, BPK melakukan PKN secara independen tanpa memperhitungkan hasil perhitungan dari pihak lain.

    Dalam hal ini, opsi kedua dan ketiga dapat dilaksanakan sepanjang terdapat permintaan secara tertulis dari pejabat yang berwenang di lingkungan Instansi yang Berwenang kepada Ketua BPK pada tahap penyidikan, dan BPK memiliki dasar hukum yang memadai untuk melaksanakan PKN tersebut.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Undang-Undang
    Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
    Negara
     

    Undang-Undang
    Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
     

    Peraturan Badan
    Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif,
    Penghitungan Kerugian Negara/Daerah, dan Pemberian Keterangan Ahli
     

    Surat Edaran
    Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
    Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan
     

      

    Artikel 

    Kewenangan Penghitungan Kerugian Negara 

    Siapa Pihak yang
    Menilai Kerugian Keuangan Negara dalam Tipikor?
     

    Penentuan
    Kerugian Keuangan Negara Akibat Penyalahgunaan Kewenangan Pejabat Pemerintah
     

    Kewenangan Badan
    Pengawas Keuangan dan Pembangunan
    (BPKP) dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara pada Kasus Tipikor
     

    Kewenangan Badan
    Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
    Menentukan Unsur Kerugian Negara terhadap Tindak
    Pidana Korupsi
     

    Kewenangan Jaksa
    dalam Menghitung Kerugian Negara pada Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor: Print
    -05/N.9.11.4/Fd.1/12/2017 Hubungannya dengan Sema Nomor
    04 Tahun 2016
     

    Peran Pemberian
    Keterangan Ahli oleh Auditor
    Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atas
    Penghitungan Kerugian Negara terhadap Putusan
    Hakim dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
     

    Kewenangan Badan
    Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
    dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara
     

    Kewenangan Penghitungan Kerugian Negara 

      

    Buku 

    Pertanggungjawaban Atas Kerugian Keuangan Negara Dalam
    Perspektif Hukum Administrasi, Perdata/Bisnis dan Pidana/Korupsi
     

      

    Slide PowerPoint 

    Perhitungan
    Kerugian Negara
     

    Penghitungan
    Kerugian Keuangan Negara di Indonesia
      

  • Apakah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah ditetapkan sebagai utang pemerintah daerah oleh BPK dapat langsung dieksekusi untuk pelaksanaan pembayaran kepada pihak Pemohon selaku pemenang gugatan perdata?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) 

    Pasal 1917

    Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. 

    Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula. 

    Pasal 1918  

    Suatu putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang menyatakan hukuman kepada seseorang yang karena suatu kejahatan atau pelanggaran dalam suatu perkara perdata, dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. 

    2. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) 

    Penjelasan Pasal 195 

    Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu.
    Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya
     

    Dalam hal ini
    tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi
    putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah
    dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.
      

    Pasal 196

    Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

    Pasal 197 

    Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu. 

    Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.

    Apabila panitera berhalangan karena pekerjaan jabatannya atau oleh sebab yang lain, maka ia digantikan oleh seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya, yang untuk itu ditunjukkan oleh ketua atau atas permohonan panitera oleh Kepala Daerah, dalam hal penunjukan yang menurut tersebut tadi, ketua berkuasa pula, menurut keadaan bilamana perlu ditimbangnya untuk menghemat biaya berhubung dengan jauhnya tempat penyitaan itu harus dilakukan. 

    Penunjukan orang itu dilakukan dengan menyebutkannya saja atau dengan mencatatnya pada surat perintah yang tersebut pada ayat pertama pasal ini. 

    Panitera itu atau orang yang ditunjukkan sebagai penggantinya membuat berita acara tentang pekerjaannya, dan kepada orang yang disita barangnya itu diberitahukan maksudnya, kalau ia ada hadir. 

    Di waktu melakukan penyitaan itu ia dibantu oleh dua orang saksi, yang namanya, pekerjaannya dan tempat diamnya disebutkan dalam pemberitaan acara, dan mereka turut menandatangani surat asli pemberitaan acara itu dan salinannya.

    Saksi itu haruslah penduduk Indonesia, telah cukup umurnya 21 tahun dan terkenal sebagai orang yang dapat dipercaya pada yang melakukan penyitaan itu.

    Penyitaan barang yang tidak tetap kepunyaan orang yang berutang, termasuk juga dalam bilangan itu uang tunai dan surat-surat yang berharga uang dapat juga dilakukan atas barang berwujud, yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak dapat dijalankan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh dipergunakan menjalankan pencaharian orang yang terhukum itu. 

    Panitera atau orang yang ditunjuk menggantinya, menurut keadaan, dapat meninggalkan barang-barang yang tidak tetap atau sebagian dari itu dalam persimpanan orang yang barangnya disita itu, atau menyuruh membawa sebagian dari barang itu ke satu tempat persimpanan yang patut. Dalam hal pertama, maka ia memberitahukan kepada polisi desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus menjaga, supaya jangan ada dari barang itu dilarikan. Opstal Indonesia tidak dapat dibawa ke tempat lain

    3. Rechtreglement voor de Buitengewesten (“Rbg”)

    Pasal 206

    (1) pelaksanaan hukum (eksekusi) perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam tingkat pertama dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua menurut cara yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut.

    (2) Jika putusan seluruhnya atau sebagian harus dilaksanakan di luar wilayah hukum jaksa di tempat kedudukan pengadilan negeri atau ketua tidak ada di tempat itu, maka ketua dapat minta secara tertulis perantaraan jaksa yang bersangkutan. 

    (3) Dalam hal putusan itu seluruhnya atau sebagian harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri, maka ia secara tertulis minta perantaraan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan, juga jika pengadilan negeri ini ada di pulau Jawa dan Madura - ketua ini bertindak serupa jika ternyata pelaksanaan harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negerinya. 

    (4) Bagi ketua pengadilan negeri yang diminta perantaraannya oleh rekannya di Jawa dan Madura, berlaku ketentuan-ketentuan bab ini terhadap segala akibat tindakan-tindakan yang dimintakan kepadanya. 

    (5) Ketua yang diminta perantaraannya secepatnya memberitahukan tentang tindakan-tindakan yang dimintakan kepadanya dan kemudian memberitahukan hasilnya kepada pengadilan negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. 

    (6) perlawanan, juga yang datang dari pihak ketiga, berdasarkan hak milik yang diakui olehnya yang disita untuk pelaksanaan putusan, juga semua sengketa mengenai upaya-upaya paksa yang diperintahkan, diadili oleh pengadilan negeri yang mempunyai wilayah hukum di mana dilakukan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan keputusan hakim. 

    (7) Tentang perselisihan-perselisihan yang timbul dan tentang keputusan-keputusan yang telah diambil, tiap-tiap kali harus segera, oleh ketua pengadilan negeri, diberitahukan kepada ketua pengadilan negeri yang memutus dalam tingkat pertama. (IR. 195.)

    4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 14/1985)

    Pasal 34

    Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini.

    Penjelasan Pasal 45 ayat (3)

    Yang dimaksudkan dengan "tidak boleh merugikan pihak yang berperkara" tersebut ayat (3) ialah tidak

    menunda pelaksanaan dan tidak mengubah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

    tetap.

    5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU 22/2002)

    Pasal 2 ayat (1)

    Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:

    a. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 

    b. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

    c. putusan kasasi.

    6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004)

    Pasal 1 Angka 9

    Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

    Pasal 50

    Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:

    a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

    b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;

    c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

    d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;

    e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.

    7. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009)

    Pasal 13 

    (1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

    (2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 

    (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

    Pasal 24

    (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

    (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

    Pasal 54

    (1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

    (2) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

    (3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan. 

    Pasal 55

    (1) Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    (2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU 30/2014)

    Pasal 18 ayat (3)

    Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

    a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau

    b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

    9. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (PP 8/2006)

    Lampiran I-D

    Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) bertujuan untuk menginformasikan pengungkapan yang diperlukan atas laporan keuangan. 

    V. Pengungkapan-pengungkapan lainnya

    Berisi hal-hal yang mempengaruhi laporan keuangan, antara lain: 

    a) Penggantian manajemen pemerintahan selama tahun berjalan. 

    b) Kesalahan manajemen terdahulu yang telah dikoreksi oleh manajemen baru 

    c) Kontijensi, yaitu suatu kondisi atau situasi yang belum memiliki kepastian pada tanggal neraca. Misalnya, jika ada tuntutan hukum yang substansial dan hasil akhirnya bisa diperkirakan. Kontijensi ini harus diungkapkan dalam catatan atas neraca.

    d) Komitmen, yaitu bentuk perjanjian dengan pihak ketiga yang harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. 

    e) Penggabungan atau pemekaran entitas tahun berjalan. 

    f) Kejadian yang mempunyai dampak sosial, misalnya adanya pemogokan yang harus ditanggulangi pemerintah.

    g) Kejadian penting setelah tanggal neraca (subsequent event) yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkiraan yang disajikan dalam neraca.

    Dengan demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat kami sampaikan sebagai berikut:

    1. Bahwa putusan hakim merupakan pernyataan tertulis yang diucapkan dalam persidangan oleh hakim sebagai pejabat negara yang berwenang, yang mengikat para pihak sebagai hukum dan memuat perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan sesuai ketentuan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata jo. Pasal 13 UU 48/2009.

    2. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 195, 196, dan 197 HIR serta Penjelasan Pasal 2 ayat (1) 

    UU 22/2002, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) merupakan putusan yang tidak lagi dapat dibatalkan melalui upaya hukum biasa dan oleh karenanya wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh para pihak.

    3. Bahwa eksekusi putusan pengadilan dalam perkara perdata dilaksanakan oleh panitera dan juru sita di bawah pimpinan ketua pengadilan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR jo. Pasal 206 ayat (1) Rbg jis. Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU 48/2009. Selanjutnya, sesuai Pasal 55 ayat (1) dan (2) UU 48/2009, ketua pengadilan berkewajiban mengawasi eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan tetap mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk larangan penyitaan terhadap aset negara/daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 50 UU 1/2004.

    4. Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap masih dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, sepanjang didasarkan pada alasan-alasan yang ditentukan dalam Bab IV Bagian Keempat UU 14/1985, tanpa menunda eksekusi maupun mengubah isi putusan yang telah inkracht demi menjaga kepastian dan keadilan hukum bagi para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan Penjelasan Pasal 45 ayat (3) UU 14/1985 jo. 

    Pasal 24 UU 48/2009.

    5. Berdasarkan Lampiran I-D PP 8/2006, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib diakui sebagai kewajiban yang memengaruhi laporan keuangan dan dicatat sebagai utang kepada pihak ketiga dalam LKPD Kabupaten Tana Tidung sesuai sistem akuntansi berbasis akrual. Apabila hingga tanggal pelaporan kewajiban tersebut belum dianggarkan atau belum terdapat kepastian pengeluaran sumber daya, maka Pemerintah Daerah dapat mengungkapkannya dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) serta menganggarkannya pada tahun anggaran berikutnya.

    6. Bahwa kewenangan BPK secara konstitusional terbatas pada pelaksanaan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, yang meliputi pemeriksaan keuangan, kinerja, dan tujuan tertentu, tanpa mencakup pemberian pendapat terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Namun demikian, dalam menjalankan fungsi pengawasannya, BPK tetap memastikan bahwa keputusan dan/atau tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang diperiksa tidak bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014.

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.

    Disclaimer:

    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”.

     Peraturan 

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 

    Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) 

    Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg) 

    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi 

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 

    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
    1985 tentang Mahkamah Agung
     

    Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 

    Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
    Pemerintah
     

      

    Artikel 

    Perkembangan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah Pasca-Undang-Undang Nomor 30
    Tahun 2014
     

    Peluang Menggunakan Contempt of Court Atasi Masalah Eksekusi Putusan Perdata 

    Mengenai Eksekusi Putusan Perdata oleh Pihak yang Kalah 

    Buku 

    Eksekusi Putusan Perdata: Proses Eksekusi dalam Tataran Teori dan Praktik 

    Buku Hukum Acara Perdata 

    Buku HAP 

  • Bagaimana status pemantauan penyelesaian kerugian negara yang disebabkan oleh eks Bendahara RSUD Nunukan dalam kasus dugaan korupsi anggaran BLUD Covid-19 di RSUD Nunukan, serta apakah informasi ini dilaporkan dan harus ditetapkan oleh Majelis Tuntutan Perbendaharaan (MTP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
    Negara

    Pasal 35 

    (1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
     

    (2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang
    negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada
    dalam pengurusannya.  

    (4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara. 

    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
    Negara

    Pasal 1 Angka 14

    Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/ menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah. 

    Pasal 1 Angka 22

    Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 

    Pasal 59

    (1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan
    sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 

    (2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut. 

    (3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun. 

    Pasal 61

    (1) Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala satuan kerja perangkat daerah kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.  

    (2) Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata
    melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dapat segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia
    mengganti kerugian daerah dimaksud.  

    (3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah,
    gubernur/bupati/ walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan. 

    Pasal 62

    (1) Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa
    Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

    (3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan
    pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. 

    Pasal 64

    (1) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai
    sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. 

    (2) Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. 

    Pasal 65

    Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. 

    Pasal 66

    (1) Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian negara/daerah berada dalam
    pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan. 

    (2) Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat/yang berwenang mengenai adanya kerugian negara/daerah.  

    Pasal 67

    (1) Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan
    milik negara/daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.  

    (2) Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan negara/daerah dan
    badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. 

     3. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara  

    Pasal 2

    Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan ini mengatur tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara di lingkungan instansi pemerintah/lembaga negara dan bendahara lainnya yang mengelola keuangan negara. 

    Pasal 3

    Informasi tentang kerugian negara dapat diketahui dari:  

    a. Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.  

    b. Pengawasan aparat pengawasan fungsional.  

    c. Pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan kerja.  

    d. Perhitungan ex officio. 

    Pasal 4

    (1) Pimpinan instansi wajib membentuk TPKN.  

    (2) TPKN terdiri dari: 

    a. Sekretaris jenderal/kepala kesekretariatan badan-badan lain/sekretaris daerah provinsi/kabupaten/kota sebagai ketua; 

    b. Inspektur jenderal/kepala satuan pengawasan internal/inspektur provinsi/kabupaten/kota sebagai wakil ketua; 

    c. Kepala biro/bagian keuangan/kepala badan pengelola keuangan daerah sebagai sekretaris; 

    d. Personil lain yang berasal dari unit kerja di bidang pengawasan, keuangan, kepegawaian, hukum, umum, dan bidang lain terkait sebagai
    anggota; 

    e. Sekretariat 

    Pasal 6

    (1) TPKN bertugas membantu pimpinan instansi dalam memproses penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara yang pembebanannya akan
    ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), TPKN menyelenggarakan fungsi untuk:  

    a. menginventarisasi kasus kerugian negara yang diterima;  

    b. menghitung jumlah kerugian negara;  

    c. mengumpulkan dan melakukan verifikasi bukti-bukti pendukung bahwa bendahara telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja
    maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara;  

    d. menginventarisasi harta kekayaan milik bendahara yang dapat dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian negara;  

    e. menyelesaikan kerugian negara melalui SKTJM;  

    f. memberikan pertimbangan kepada pimpinan instansi tentang kerugian negara sebagai bahan pengambilan keputusan dalam menetapkan pembebanan sementara;  

    g. menatausahakan penyelesaian kerugian negara;  

    h. menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian kerugian negara kepada pimpinan instansi dengan tembusan disampaikan kepada Badan
    Pemeriksa Keuangan. 

    Pasal 7

    (1) Atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja wajib melaporkan setiap kerugian negara kepada pimpinan instansi dan memberitahukan
    Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara diketahui.  

    (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi sekurang-kurangnya dengan dokumen Berita Acara Pemeriksaan
    Kas/Barang.  

    (3) Bentuk dan isi surat pemberitahuan kepada Badan Pemeriksa Keuangan tentang kerugian negara dibuat sesuai dengan Lampiran I. 

    Pasal 8

    Pimpinan instansi segera menugaskan TPKN untuk menindaklanjuti setiap kasus kerugian negara selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima laporan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1). 

    Pasal 11

    (1) TPKN melaporkan hasil verifikasi dalam Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara dan menyampaikan kepada pimpinan instansi.  

    (2) Pimpinan instansi menyampaikan Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Pemeriksa
    Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterima dari TPKN dengan dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). 

    Pasal 12

    (1) Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan atas laporan kerugian negara berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) untuk menyimpulkan telah terjadi kerugian negara yang meliputi nilai kerugian negara, perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, dan penanggung jawab.  

    (2) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbukti ada perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, Badan
    Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat kepada pimpinan instansi untuk memproses penyelesaian kerugian negara melalui SKTJM.  

    (3) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak terdapat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
    lalai, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat kepada pimpinan instansi agar kasus kerugian negara dihapuskan dan dikeluarkan dari Daftar kerugian negara. 

    Pasal 13

    Pimpinan instansi memerintahkan TPKN mengupayakan agar bendahara bersedia membuat dan menandatangani SKTJM paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima surat dari Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). 

    Pasal 15

    (1) Penggantian kerugian negara dilakukan secara tunai selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja sejak SKTJM ditandatangani.  

    (2) Apabila bendahara telah mengganti kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), TPKN mengembalikan bukti kepemilikan
    barang dan surat kuasa menjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) 

    Pasal 17

    (1) TPKN melaporkan hasil penyelesaian kerugian negara melalui SKTJM atau surat pernyataan bersedia mengganti kerugian negara kepada
    pimpinan instansi.  

    (2) Pimpinan instansi memberitahukan hasil penyelesaian kerugian negara melalui SKTJM atau surat pernyataan bersedia mengganti kerugian
    negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima laporan TPKN. 

    Pasal 20

    (1) Dalam hal SKTJM tidak diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, pimpinan instansi mengeluarkan surat keputusan
    pembebanan sementara dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak bendahara tidak bersedia menandatangani SKTJM.  

    (2) Pimpinan instansi memberitahukan surat keputusan pembebanan sementara kepada Badan Pemeriksa Keuangan.  

    (3) Bentuk dan isi surat keputusan pembebanan sementara dibuat sesuai dengan Lampiran IV. 

    Pasal 22

    (1) Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan SK PBW (Penetapan Batas Waktu) apabila:  

    a. Badan Pemeriksa Keuangan tidak menerima Laporan Hasil Verifikasi Kerugian Negara dari pimpinan instansi sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 11 ayat (2); dan  

    b. Berdasarkan pemberitahuan pimpinan instansi tentang pelaksanaan SKTJM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), ternyata
    bendahara tidak melaksanakan SKTJM.  

    (2) SK PBW sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada bendahara melalui atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan
    kerja dengan tembusan kepada pimpinan instansi dengan tanda terima dari bendahara.  

    (3) Tanda terima dari bendahara disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan oleh atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan
    kerja selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak SK PBW diterima bendahara.

    (4) Bentuk dan isi SK PBW dibuat sesuai dengan Lampiran V. 

    Pasal 25

    (1) Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat keputusan pembebanan apabila: 

    a. jangka waktu untuk mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 telah terlampaui dan bendahara tidak mengajukan
    keberatan; atau  

    b. bendahara mengajukan keberatan tetapi ditolak; atau  

    c. telah melampaui jangka waktu 40 (empat puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM namun kerugian negara belum diganti sepenuhnya.  

    (2) Bentuk dan isi surat keputusan pembebanan dibuat sesuai dengan Lampiran VI. 

    Pasal 42

    (1) Putusan hakim yang menjatuhkan hukuman terhadap seorang bendahara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dijadikan bukti
    tentang perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai dalam proses tuntutan penggantian kerugian negara. 

    (2) Dalam hal nilai penggantian kerugian negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berbeda dengan
    nilai kerugian negara dalam surat keputusan pembebanan, maka kerugian negara wajib dikembalikan sebesar nilai yang tercantum dalam surat keputusan pembebanan.  

    (3) Apabila sudah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan untuk penggantian kerugian negara dengan cara disetorkan ke kas negara/daerah,
    pelaksanaan surat keputusan pembebanan diperhitungkan sesuai dengan nilai penggantian yang sudah disetorkan ke kas negara/daerah. 

    Dengan demikian, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sepanjang terdapat informasi terkait adanya kerugian negara oleh bendahara, maka sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja wajib melaporkan kerugian negara oleh bendahara dimaksud kepada pimpinan instansi dan memberitahukan kepada BPK. Adapun berdasarkan Pasal 42 ayat (2) Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dalam hal nilai penggantian kerugian negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berbeda dengan nilai kerugian negara dalam surat keputusan pembebanan, maka kerugian negara wajib dikembalikan sebesar nilai yang tercantum dalam surat keputusan pembebanan. 

    Demikian kami
    sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih. 

     Disclaimer: 

    “Seluruh
    informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

     

    Peraturan 

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara  

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara  

    Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara  

  • Adapun yang ingin saya tanyakan terkait rekomendasi yang dituangkan dalam LHP BPK apakah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat? Dan apabila tidak ditindaklanjuti akan berdampak seperti dijatuhi sanksi berupa sanksi administratif bagi yang bersangkutan atau indikasi adanya unsur pidana? Mohon dapat diberikan penjelasan. Terima Kasih

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 

    Pasal 1 butir 14
    Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. 

    Pasal 183
    Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepadaseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah iamemperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya. 

    Pasal 184 ayat (1)
    Alat bukti yang sah ialah:
    a. keterangan saksi;
    b. keterangan ahli;
    c. surat;
    d. petunjuk;
    e. keterangan terdakwa.
     

    2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 

    Pasal 20
    (1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
    (2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentangtindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
    (3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikankepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasilpemeriksaan diterima.
    (4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimanadimaksud pada ayat (1).
    (5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
    (6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksudpada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. 

    Pasal 26 ayat (2)
    Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untukmenindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaansebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00(lima ratus juta rupiah). 

    Penjelasan Pasal 20 ayat (1)
    Tindak lanjut atas rekomendasi dapat berupapelaksanaan seluruh atau sebagian dari rekomendasi. Dalam hal sebagian atauseluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan, pejabat wajib memberikan alasanyang sah. 

    Penjelasan Pasal 20 ayat (4)
    Dalam rangka pemantauan sebagaimana dimaksudpada ayat ini, BPK menatausahakan laporan hasil pemeriksaan danmenginventarisasi permasalahan, temuan, rekomendasi, dan/atau tindak lanjutatas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Selanjutnya BPK menelaahjawaban atau penjelasan yang diterima dari pejabat yang diperiksa dan/atauatasannya untuk menentukan apakah tindak lanjut telah dilakukan. 

    3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 

    Pasal 8 ayat (1)
    Untuk keperluan tindak lanjuthasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BPK menyerahkanpula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur,Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. 

    Pasal 8 ayat (2)
    Tindak lanjut hasilpemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulisoleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kepada BPK. 

    Pasal 8 ayat (5)
    BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasilpemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), danhasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, sertaPemerintah. 

    4. Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 

    Amar Menimbang
    Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalbersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan“bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. 

    5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023tentang Aparatur Sipil Negara 

    Pasal 29 ayat (1) huruf e
    Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahandalam pembinaan Pegawai ASN dapat mendelegasikankewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabatselain pejabat pimpinan tinggi utama, selain pejabat pimpinan tinggi madya, danselain pejabat fungsional tertinggi kepada: e. bupati/walikota dikabupaten/kota. 

    Pasal 30
    (1) Presiden dapat mendelegasikankewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang dikementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariatlembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalammenjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan SistemMerit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansimasing-masing. (3) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikanrekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansimasing-masing. (4) Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, danpemberhentian Pegawai ASN selain: a. pejabat pimpinan tinggi utama; b. pejabat pimpinan tinggi madya; dan c. pejabat fungsional tertinggi. kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing. 

    6. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2017 tentang PemantauanPelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan PemeriksaKeuangan 

    Pasal 3
    (1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam hasil pemeriksaansetelah hasil pemeriksaan diterima. (2) Tindak lanjut atas rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupajawaban atau penjelasan atas pelaksanaan tindak lanjut yang dilampiri dengandokumen pendukung. (3) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikankepada BPK paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaanditerima. 

    Pasal 5
    (1) Dalam hal tindak lanjut atas rekomendasi tidak dapat dilaksanakan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pejabat wajibmemberikan alasan yang sah.
    (2) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keadaan kahar, yaitu suatu keadaan peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan gangguan lainnya yang mengakibatkan tindak lanjut tidak dapat dilaksanakan; b. sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; c. menjadi tersangka dan ditahan; d. menjadi terpidana; atau e. alasan sah lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak membebaskanPejabat dari kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan.
    (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)Pejabat tidak menindaklanjuti rekomendasi tanpa adanya alasan yang sah, BPKdapat melaporkan kepada instansi yang berwenang. 

    Pasal 8
    (1) Untuk menentukan klasifikasi tindak lanjut telah sesuai denganrekomendasi atau rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti, diperlukanpersetujuan Anggota BPK atau Pelaksana di lingkungan BPK yang diberikanwewenang. (2) Tanggung jawab administratif Pejabat untuk menindaklanjuti rekomendasidianggap selesai apabila klasifikasi tindak lanjut telah sesuai denganrekomendasi atau rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti. 

    Pasal 10
    Penyelesaian tindak lanjuttidak menghapuskan tuntutan pidana. 

    7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor15 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahTahun Anggaran 2024 

    Lampiran huruf C nomor 3.a.1).h).(7).(b).iii.
    Pemberian sanksi administratif berupa penundaan pembayaran TPP dalam halASN penerima TPP tidak patuh dalam pelaporan Laporan Harta KekayaanPenyelenggara Negara (LHKPN), menguasai atau memanfaatkan aset milik/dikuasaiPemerintah Daerah secara tidak sah, dan/atau belum menyelesaikan kerugiannegara/daerah berdasarkan hasil audit dan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) atau Inspektorat/APIP; 

    8. Keputusan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/JasaPemerintah Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2022 

    Lampiran II angka II huruf I nomor 1
    LKPP atau Pengelola KatalogElektronik dapat mencabut status sebagai Penyedia Katalog Elektronik secarasepihak apabila: 1.rekomendasi dan/atau hasilpemantauan/evaluasi/audit/reviu/pemeriksaan yang dilakukan Badan PemeriksaKeuangan (BPK)/Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/AparatPengawasan Intern Pemerintah (APIP)/Aparat Penegak Hukum berdasarkan peraturanperundang-undangan yang berlaku yang merekomendasikan untuk mencabut statussebagai Penyedia Katalog Elektronik; 

    Dengan demikian, memedomani peraturan perundang-undangan tersebut di atas, BPK hanya berwenang untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat dan hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah. Sedangkan terkait dengan pengenaan sanksi administratif dan indikasi tindak pidana tidak ditindaklanjutinya rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK, maka hal tersebut di luar daripada kewenangan BPK. 

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih. 

     Disclaimer: “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

    Peraturan
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan danTanggung Jawab Keuangan Negara
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
    Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
    Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2023tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2024
    Keputusan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2022 

    Putusan Pengadilan
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 

    Artikel
    Follow Up Report of Examination Result Of Supreme Audit Agency For State Financial Management
    Follow-up Analysis of Financial Management Examination Results within the General Election Supervisory Board of Maluku Province 

    Buku
    Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Bukti Permulaan Yang Cukup  

  • Dengan keluarnya putusan MA terkait pembatalan Perpres Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perjalanan Dinas DPRD dengan pembayaran lumpsum, dalam pelaksanaannya apakah harus menunggu keputusan penarikan Perpres Nomor 53 Tahun 2023 dengan turunannya atau Perpres Nomor 53 Tahun 2023 dan turunannya akan gugur dengan sendirinya setelah putusan MA tersebut?

    Kami menginformasikan bahwa terkait pertanyaan tersebut agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen sebagai berikut: 

    1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

    Pasal 31A ayat (10)
    Ketentuan mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dengan Peraturan Mahkamah
    Agung.
     

    2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah beberapa
    kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011)

    Pasal 7 ayat (1)
    Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
    a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    d. Peraturan Pemerintah;
    e. Peraturan Presiden;
    f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
    g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

    Pasal 7 ayat (2)
    Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Penjelasan Pasal 7 ayat (2)
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 

    3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang

    Pasal 250 ayat (1)
    Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. 

    Pasal 251 ayat (1)
    Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. 

    Pasal 251 ayat (2)
    Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. 

    4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
    menjadi Undang-Undang
     

    Pasal 18 ayat (3)
    Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
    a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
    b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 

    Pasal 68 ayat (1)
    Keputusan berakhir apabila:
    a. habis masa berlakunya;
    b. dicabut oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang;
    c. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan
    Pengadilan; atau

    d. diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 

    5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    Pasal 141 ayat (1)
    Setiap pengeluaran harus didukung bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. 

    6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil

    Pasal 8 ayat (2)
    Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.    

    7. Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional (Perpres 53/2023)

    Pasal 3A ayat (2)
    Pertanggungjawaban perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan secara lumpsum dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, kewajaran, dan akuntabel. 

    Pasal II
    Ketentuan mengenai pertanggungjawaban perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara lumpsum digunakan paling lambat tahun anggaran 2024. 

    8. Surat Panitera Mahkamah Agung Nomor 17/P.PTS/VII/2024/12 P/HUM/2024 tanggal 10 Juli 2024 perihal Pengiriman Putusan Perkara Hak Uji Materiil Reg. No. 12 P/HUM/2024 kepada Eko Sentosa dan Presiden Republik Indonesia

    Bersama ini dikirimkan kembali kepada Saudara, salinan sah Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 12 P/HUM/2024 mengenai Permohonan keberatan Hak Uji Materiil terhadap: "Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional" yang telah diputus pada tanggal 11 Juni 2024 dalam perkara permohonan keberatan yang diajukan oleh:   

    EKO SENTOSA 

    Lawan 

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

    Demikian untuk diketahui seperlunya. 

    9. Putusan Mahkamah Agung Nomor 12P/HUM/2024

    Amar Putusan (MENGADILI)
    Diktum KEDUA 

    Menyatakan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu: 

    1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
    2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
    3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
    4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
    5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
    dan karenanya tidak sah atau tidak berlaku untuk umum; 

    Diktum KETIGA
    Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional;  

    Dengan demikian, selain memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sesuai dengan kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah kabupaten/kota, kami menyarankan terkait dengan permasalahan Saudara agar
    dikoordinasikan kepada Gubernur sebagai wakil dari Pemerintah Pusat di daerah.
     

    Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih. 

    Disclaimer:
    “Seluruh informasi yang disediakan dalam jawaban adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi”. 

    Putusan Pengadilan
    Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 P/HUM/2024 

    Peraturan
    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
    Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil 

    Matriks Perbandingan Peraturan
    Matriks Perbandingan Perpres tentang Standar Harga Satuan Regional 

    Berita
    Biaya Perjalanan Dinas DPRD Secara Lumpsum Ternyata Melanggar Aturan

    Buku
    Pengelolaan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD  

Dukung Zona Integritas, BPK Kaltara dan Kejari Tarakan Sinergi Tangani Temuan Pemeriksaan
Dukung Zona Integritas, BPK Kaltara dan Kejari Tarakan Sinergi Tangani Temuan Pemeriksaan

Tarakan, 17 Juli 2025 – Dalam rangka memperkuat koordinasi dan sinergi antarlembaga, BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara melaksanakan kegiatan koordinasi dengan Kejaksaan Negeri Tarakan bertempat di Kantor Kejaksaan Negeri Tarakan pada hari Rabu, 17 Juli 2025.

Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala Subbagian Hukum BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara, Baren Sipayung, S.H., M.A.P., M.H., C.L.A., CRMP, dan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Tarakan, Zulkifli, S.H. Pertemuan ini menjadi momentum penting dalam mempererat kolaborasi antara BPK dan Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan yang memiliki indikasi unsur tindak pidana.

Beberapa poin strategis yang menjadi fokus pembahasan dalam kegiatan ini antara lain:

  1. Pemanfaatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam proses hukum, sebagai bentuk dukungan BPK terhadap upaya penegakan hukum yang transparan dan akuntabel.

  2. Sinergi pelaksanaan IKU baru BPK terkait Tingkat Pemenuhan Analisis atas Temuan Berindikasi Fraud di lingkungan BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara, yang memerlukan kolaborasi erat antara auditor dan APH agar proses analisis dapat dilakukan secara cepat, akurat, dan terverifikasi.

  3. Dukungan Kejaksaan Negeri Tarakan dalam pembangunan Zona Integritas menuju WBK dan WBBM, termasuk pertukaran pengalaman dan komitmen bersama dalam membangun tata kelola yang bersih dan bebas dari korupsi di masing-masing institusi.

Dalam kesempatan tersebut, Baren Sipayung menyampaikan bahwa BPK Kaltara memandang penting peran aktif APH dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan, terlebih yang mengandung indikasi tindak pidana. “Kami berharap kerja sama ini dapat terus diperkuat untuk memastikan bahwa setiap potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dapat ditindaklanjuti secara tepat. Hal ini juga menjadi bagian dari upaya BPK dalam mendukung pencapaian IKU terkait analisis temuan fraud di daerah,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Tarakan, Zulkifli, S.H., menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka antara Kejaksaan dan BPK. “LHP BPK adalah dokumen yang sangat krusial dalam proses penyelidikan. Dengan adanya koordinasi seperti ini, kami dapat lebih memahami konteks dan substansi temuan, sehingga proses penegakan hukum bisa berjalan secara efektif dan terukur,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Zulkifli juga menyampaikan apresiasi terhadap semangat kolaborasi yang diusung BPK, khususnya dalam mendukung pembangunan Zona Integritas. “Kami menyambut baik kerja sama ini, karena selain untuk mendukung penyelesaian perkara hukum, sinergi ini juga penting dalam membangun sistem birokrasi yang berintegritas,” pungkasnya.

Melalui koordinasi ini, BPK dan Kejaksaan Negeri Tarakan berkomitmen untuk terus membangun komunikasi yang efektif serta kerja sama strategis, dalam rangka menciptakan sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lebih baik, sekaligus mendukung keberhasilan pembangunan Zona Integritas menuju WBK dan WBBM di wilayah Kalimantan Utara.

Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

BPK Kaltara Sambut Siswa PKL SMKN 1 Nunukan, Perkuat Komitmen Edukasi dan Pengembangan SDM
BPK Kaltara Sambut Siswa PKL SMKN 1 Nunukan, Perkuat Komitmen Edukasi dan Pengembangan SDM

Tarakan, 17 Juli 2025 – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara secara resmi menyambut kedatangan lima siswa dari SMK Negeri 1 Nunukan untuk melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) terhitung mulai hari ini, 16 Juli hingga 4 Desember 2025. Penerimaan ini menjadi manifestasi nyata dari komitmen BPK Kaltara dalam mendukung pengembangan sumber daya manusia unggul di Kalimantan Utara, khususnya melalui program pendidikan vokasi.

Sebelumnya, surat permohonan dari SMK Negeri 1 Nunukan tanggal 26 Februari 2025 telah diterima BPK Kaltara. Menindaklanjuti permohonan tersebut, Bapak Dwi Sabardiana selaku Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara setelah melalui serangkaian pertimbangan memberikan persetujuannya.

Adapun kelima siswa yang akan menjalani PKL ini berasal dari dua kompetensi keahlian strategis: Akuntansi dan Keuangan Lembaga serta Desain Komunikasi Visual (DKV). Mereka adalah Haerul, Muhammad Syafril Alfayet (keduanya dari Akuntansi dan Keuangan Lembaga), serta Muhammad Iswandi, Cheysa Dwi Aqifah, dan Dewi Jelista (dari Desain Komunikasi Visual). Penempatan ini diharapkan selaras dengan materi yang dapat dipelajari, seperti proses administrasi keuangan dan pengembangan keterampilan desain grafis, sekaligus memberikan pengalaman kerja langsung di lingkungan pemerintahan.

Penerimaan siswa PKL ini didasari oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan bagi Peserta Didik, yang mengamanatkan PKL sebagai bagian integral dari kurikulum untuk menumbuhkembangkan karakter profesional, meningkatkan kompetensi, dan menyiapkan kemandirian peserta didik. BPK Kaltara, sebagai salah satu instansi pemerintah, dipandang sebagai “dunia kerja” yang relevan bagi siswa SMK.

BPK Kaltara tidak hanya menyediakan pengalaman kerja, namun juga siap memfasilitasi kebutuhan siswa, termasuk ketersediaan mess pegawai jika diperlukan. Lebih lanjut, dalam upaya mendukung Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), siswa PKL ini akan dilibatkan sebagai responden dalam Survei Persepsi Kualitas Pelayanan (SPKP) dan Survei Persepsi Antikorupsi (SPAK).Pada kesempatan tersebut,BPK Kaltara juga mengenalkan adanya inovasi BedKo,yaitu inovasi yang memudahkan bagi SMA/SMK untuk mengajukan permohonan Prakerin/PKL di institusi BPK Kaltara, secara online melalui link sebagai berikut: https://bedko.rinakala.com/Penerimaan siswa PKL ini menegaskan peran aktif BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara dalam mencetak generasi muda yang kompeten dan berintegritas, sejalan dengan visi pembangunan sumber daya manusia unggul untuk masa depan bangsa.

Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

BPK Kaltara Gandeng Pegadaian Cabang Tarakan Tingkatkan Literasi Keuangan Pegawai
BPK Kaltara Gandeng Pegadaian Cabang Tarakan Tingkatkan Literasi Keuangan Pegawai

Tarakan, 17 Juli 2025 –  Dalam upaya mendukung program literasi dan edukasi keuangan yang dicanangkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara bekerja sama dengan Pegadaian Cabang Tarakan menggelar kegiatan Sosialisasi Produk Pegadaian di Auditorium Kantor BPK Kaltara. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada para pegawai mengenai pengelolaan keuangan yang cerdas, sehat, dan bertanggung jawab melalui berbagai produk dan layanan yang ditawarkan oleh Pegadaian.

Acara dihadiri oleh jajaran pejabat struktural BPK Kaltara, antara lain Kepala Subbagian Humas dan Tata Usaha, Okta Anantyo Prasetyo; Kepala Subbagian Umum dan TI, Afif Qudratullah; dan Kepala Subbagian Hukum, Baren Sipayung. Dari pihak Pegadaian turut hadir Manager Bisnis Pegadaian Cabang Tarakan, Dwi Andini Langgista Mahanani, dan perwakilan bagian Business to Business Marketing, Alya Tara.

Kegiatan diawali dengan sambutan dari Kepala Subbagian Humas dan TU, Okta Anantyo Prasetyo, yang menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya internalisasi nilai-nilai Zona Integritas dalam mendukung kesejahteraan pegawai melalui peningkatan literasi finansial.

“Penting bagi kita sebagai aparatur negara untuk memiliki pengetahuan dan kesadaran dalam mengelola keuangan secara tepat. Dengan memahami berbagai solusi keuangan yang legal dan terpercaya, kita dapat menghindari praktik pinjaman ilegal dan risiko keuangan yang merugikan,” ujar Okta.

Sementara itu, dalam sambutannya, Manager Bisnis Pegadaian Cabang Tarakan, Dwi Andini Langgista Mahanani, menyampaikan bahwa Pegadaian hadir sebagai mitra solusi keuangan masyarakat dengan berbagai produk unggulan.

“Kami membawa semangat untuk menjadi sahabat keuangan masyarakat, termasuk para ASN. Produk-produk kami seperti tabungan emas, pembiayaan syariah, dan layanan gadai cepat dirancang untuk menjawab kebutuhan keuangan harian dengan mudah, aman, dan berbasis syariah,” jelas Dwi Andini.

Pada kesempatan tersebut, Dwi Andini juga menyampaikan komitmen Pegadaian Cabang Tarakan dalam mendukung upaya BPK Kaltara meraih predikat Zona Integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (ZI-WBBM) pada tahun 2025.

“Kami menyambut baik dan mendukung langkah BPK Kaltara dalam membangun budaya kerja yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik. Semoga kerja sama yang baik ini dapat menjadi bagian dari kontribusi nyata Pegadaian dalam mendukung reformasi birokrasi di daerah,” ujarnya.

Sesi pemaparan materi dilanjutkan secara interaktif oleh tim Pegadaian, dengan fokus pada produk-produk seperti:

  1. Tabungan Emas Pegadaian, sebagai alternatif investasi jangka panjang dengan akses mudah dan nilai terjangkau.
  2. Gadai Cepat Aman, solusi pinjaman jangka pendek dengan jaminan emas atau barang berharga.
  3. Produk Syariah, termasuk pembiayaan haji dan umrah.
  4. Pembiayaan Multi Guna dan Program Kemitraan untuk ASN dan karyawan swasta.

Para peserta juga mendapatkan kesempatan untuk melakukan simulasi pembukaan rekening tabungan emas secara langsung dan berkonsultasi terkait kebutuhan keuangan mereka dengan tim Pegadaian.

Melalui kegiatan ini, BPK Kaltara tidak hanya mendorong penguatan pemahaman finansial di kalangan pegawai, tetapi juga membangun sinergi positif dengan lembaga keuangan dalam mendukung pengelolaan keuangan pribadi yang sehat. Kegiatan ini sejalan dengan nilai-nilai integritas dan akuntabilitas yang dijunjung tinggi dalam pelaksanaan tugas di lingkungan BPK RI.

Sebagai penutup, Kepala Subbagian Umum dan TI, Afif Qudratullah, mengungkapkan bahwa kegiatan serupa diharapkan dapat terus dilaksanakan secara berkala dengan melibatkan lebih banyak mitra keuangan dan memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan pegawai.

“BPK Kaltara berkomitmen untuk tidak hanya menjadi lembaga pemeriksa, tetapi juga turut serta dalam mendorong kualitas hidup dan literasi pegawai di bidang lain, termasuk keuangan pribadi,” pungkas Afif.

Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

Perkuat Komitmen WBBM, BPK Kaltara Bangun Sinergi Strategis dengan KPKNL Tarakan
Perkuat Komitmen WBBM, BPK Kaltara Bangun Sinergi Strategis dengan KPKNL Tarakan

Tarakan, 16 Juli 2025 – Dalam rangka memperkuat komitmen menuju predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara melaksanakan kegiatan strategi pemaparan atas layanan dan inovasi sebagai bagian dari proses evaluasi pembangunan Zona Integritas (ZI). Kegiatan ini berlangsung di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Tarakan dan menjadi forum strategis untuk berbagi praktik baik serta memperkuat sinergi lintas instansi.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kepala subbagian Hukum BPK Kaltara, Baren Sipayung S.H., M.A.P., M.H., C.L.A., CRMP, Pranata Komputer Terampil, Abimanyu Bagarela A.P, S.Kom., Dari pihak KPKNL Kota Tarakan turut hadir pada kegiatan tersebut Kepala KPKNL Tarakan, Ahmad Elazar, Kepala Seksi Piutang Negara KPKNL Tarakan, Lapianus Bubu, Kepala Subbagian Umum, Aziz Kurniawan, Kepala Seksi Kepatuhan Internal, Eko Budi Hariyanto, dan Kepala Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara, Chusaeri.

Dalam pemaparannya, Baren Sipayung menekankan pentingnya transformasi layanan publik yang berbasis nilai integritas dan inovasi. “Pembangunan Zona Integritas tidak hanya menjadi instrumen pemenuhan indikator administratif, melainkan menjadi wujud komitmen moral seluruh insan organisasi dalam menciptakan birokrasi yang bersih, transparan, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Peran pimpinan dalam setiap proses kegiatan sangat penting sebagai lokomotif penggerak perubahan,” jelas Baren Sipayung.

Adapun beberapa poin utama yang dibahas dalam kegiatan ini meliputi:

  1. Kriteria Penilaian Pembangunan ZI WBBM, termasuk indikator integritas, inovasi layanan, dan akuntabilitas kinerja;
  2. Monitoring dan evaluasi berkelanjutan terhadap proses pembangunan ZI, dari tahapan perencanaan hingga pelaksanaan verifikasi lapangan oleh Tim Penilai Nasional (TPN);
  3. Tiga pilar utama WBBM: integritas, capaian kinerja, dan pelayanan prima;
  4. Keterlibatan aktif pimpinan dalam setiap kegiatan organisasi sebagai bagian dari penguatan budaya kerja berintegritas;
  5. Replikasi inovasi antar satuan kerja, sebagai strategi percepatan dan perluasan dampak pembangunan ZI;
  6. Pelibatan seluruh pegawai dalam proses pembangunan ZI untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama;
  7. Service excellent sebagai nilai utama dalam penyelenggaraan layanan publik;
  8. Inovasi berdampak nyata yang memberikan manfaat bagi organisasi dan masyarakat luas.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala KPKNL Tarakan, Ahmad Elazar, menyampaikan apresiasinya atas kolaborasi dan pembahasan yang dilakukan oleh BPK Kaltara. “Kami menyambut baik kegiatan ini sebagai wujud sinergi antarinstansi dalam memperkuat Zona Integritas. Pemaparan yang disampaikan sangat menggugah semangat kami untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan melalui inovasi yang relevan dan berdampak langsung,” ujar Ahmad.

Sebagai bentuk dukungan konkret, KPKNL Tarakan juga menyatakan komitmennya untuk mendukung BPK Kaltara dalam meraih predikat WBBM tahun 2025. “Kami siap berbagi pengalaman, praktik baik, serta memberikan ruang diskusi dan asistensi yang dibutuhkan BPK Kaltara untuk terus menguatkan proses pembangunan Zona Integritas. Pencapaian WBBM adalah kemenangan bersama untuk pelayanan publik yang lebih berkualitas,” tegas Ahmad Elazar.

Senada dengan itu, Kepala Seksi Kepatuhan Internal KPKNL Tarakan, Eko Budi Hariyanto, menambahkan bahwa keberhasilan pembangunan ZI harus dilandasi dengan sistem pengawasan internal yang kuat dan budaya kerja yang konsisten. “Evaluasi harus menjadi kebiasaan, bukan hanya ketika menjelang penilaian. Konsistensi adalah kunci,” ujarnya.

Kegiatan ini menjadi bagian dari langkah proaktif BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara dalam memastikan kesiapan dan keberlanjutan proses reformasi birokrasi, serta sebagai sarana pertukaran gagasan dan penguatan jejaring kerja antarinstansi.

Dengan semangat kebersamaan dan kolaborasi, BPK Kaltara berkomitmen untuk terus melakukan inovasi yang berdampak dan membangun sistem pelayanan publik yang lebih bersih, transparan, dan melayani, guna mendukung tercapainya predikat WBBM pada tahun 2025.

Editor: Tim Publikasi BPK Kaltara

BPK Kaltara dan BI Kaltara Perkuat Sinergi Lewat Ekspedisi Rupiah Berdaulat
Perkuat Sinergi Perpajakan Publik, BPK Kaltara Lakukan Koordinasi Kelembagaan dengan KPP Pratama Tarakan

Q:

Pengunjung Tanjik Online

  • 0
  • 0
  • 0
  • 732
  • 29

TANJIK HUKUM ONLINE

BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Utara

Kontak : hukum.kaltara@bpk.go.id

© Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 

Free WordPress Themes, Free Android Games