PLTA, Relokasi, dan Mimpi Menjadi Kota

Koran Kaltara, 23 Januari 2022

TANJUNG SELORKoran Kaltara – Sejak tahun 2012 mendapatkan izin lokasi, kemudian groundbreaking pada 2014, hingga saat ini belum ada pembicaraan lebih lanjut terkait rencana relokasi dua desa terdampak pembangunan PLTA Kayan. Dua desa tersebut yakni Desa Pelban dan Desa Long Lejuh, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan.

Relokasi warga kedua desa diamanatkan kepada PT Kayan Hydro Energi (KHE), sebagai pengembang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan. Untuk sampai di desa, butuh waktu sekitar 4,5 jam – 5 jam menggunakan speedboat bermuatan 6 orang. Sepanjang bantaran sungai menuju desa di hulu Sungai Kayan ini, selain hutan rimba yang masih asri, perkebunan kelapa sawit juga tampak berjejer rapi.

Beberapa warga yang sempat ditemui, mengungkapkan belum ada tindak lanjut pembahasan terkait relokasi. Meskipun rencana itu sudah diketahui warga sejak PLTA itu direncanakan.

Kepala Desa Long Lejuh, Irawan mengatakan, warga desanya dijanjikan bakal di relokasi, dan nantinya akan dibangun selayaknya kota kecil. “Informasinya, PLTA akan dibangun, katanya, nanti kami akan dibangunkan desa di tempat relokasi yang baru, dengan fasilitas lengkap layaknya kota kecil. Sebagai masyarakat kita senang. Tapi sampai saat ini belum ada pembahasan lanjutannya,” ujar Irawan kepada Koran Kaltara.

Meski masih sangsi adanya pembangunan PLTA, Irawan mengaku siap menyambut adanya agenda itu. Namun dengan catatan, tidak mengesampingkan adanya hak-hak masyarakat. Ia menegaskan sebagai desa yang bakal tenggelam karena pembangunan bendungan, pemerintah harus memperhatikan desanya yang saat ini dihuni 144 kepala keluarga.

“Tentu saja usulan masyarakat harus didengar. Dulu, sudah disebutkan titik koordinat untuk relokasi itu. Namun sampai hari ini belum ada pembebasan lahan. Setidaknya ada sekitar 600 hektare yang diperlukan untuk relokasi,” ungkapanya.

Lokasi relokasi berada di 20- 25 kilometer dari desa saat ini. Lokasi tersebut merupakan kawasan hak pengusahaan hutan (HPH). Stepanus Tony Pascalis, warga Long Lejuh menambahkan, jika benar kawasan yang dimaksud merupakan KBK (kawasan budidaya non-kehutanan). Namun demikian, beberapa waktu terakhir diketahui lokasinya bakal berubah. Lagi-lagi kepastiannya belum diketahui seperti apa.

“Itu proses relokasi cukup panjang, maka tahapan harus diselesaikan dulu. Sementara ini seperti mimpi saja. Sempat bicara ganti untung, tetapi kemudian tidak ada kabar lagi,” tambahnya.

Untuk Desa Long Pelban, saat ini juga belum ada penunjukan tempat relokasi. Meskipun beberapa tahun lalu diketahui sempat dibahas bersama warga, terkait ganti untung lahan masyarakat.

“Dulu pernah dihitung seperti untuk lombok, per pohon dibayar Rp500 ribu. Tapi baru sebatas informasi, belum ada pembicaraan lebih lanjut,” kata Tegun, salah satu warga Long Pelban.

Desa Long Peso dan Desa Muara Pangean, merupakan desa yang terdekat paling hilir dari bendungan pertama PLTA. Kepala desa Long Peso, Pulinop Jaui mengaku riskan dengan rencana pembangunan bendungan. Bendungan yang akan dibangun apakah sebanding dengan kekuatan arus air di Sungai Kayan.

“Kita tidak minta-minta, tapi jaminannya harus ada dulu. Kalau terjadi jebol, bukan orang di Tanjung Selor yang terdampak pertama, tapi kami desa paling terdekat ini,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Desa Long Peso, Ding. Sebagai salah satu orang yang pernah diajak ke Cina melihat langsung bendungan di sana, ia sangsi bendungan yang dibangun di Peso sama dengan yang di Cina.

“Kita berada di hilir bendungan. Kita juga meragukan, mungkin adanya potensi bendungan jebol. Karena ini perbuatan (dibangun) manusia. Keahlian manusia membuat bendungan akan mengubah kondisi alam. Kita tidak tahu sejauh mana kekuatan yang sudah disiapkan untuk menangkal kekuatan alam itu,” katanya.

Keraguan tersebut rupanya tidak dijawab oleh pihak PT KHE selaku investor PLTA Kayan. Menurut Ding, PT KHE masih belum optimal memberikan sosialisasi kepada masyarakat.

Cerita Warga Diajak ke Cina Melihat Bendungan

SEBAGAI gambaran pembangunan PLTA, tahun 2012 lalu sejumlah warga di Long Pelban, Long Lejuh, Long Peso dan beberapa desa lainnya dibawa ke Cina, sebagai negara yang dinilai berhasil membangun PLTA. Para tokoh masyarakat diperlihatkan langsung bendungan yang berhasil dibangun di negeri tirai bambu tersebut.

Sekdes Desa Long Peso, Ding, salah satu orang dalam rombongan bersama PT. KHE dan pejabat daerah: salah satunya, Wakil Bupati Bulungan, yang saat itu dijabat Liet Ingai. Ding berkisah bagaimana bendungan di Cina sangat menjanjikan, dengan sistem hydropower. Bukan hanya menghasilkan listrik, tetapi juga bisa menjadi sarana wisata masyarakat setempat.

Tentu saja dengan pemandangan itu menggugah agar PLTA Kayan bisa segera direalisasikan. Meskipun di sisi lain, sejak 10 tahun lalu hingga saat ini belum ada tanda-tanda pembangunan konstruksi pembangunan bendungan.

Ding mengatakan, kunjungannya itu untuk melihat operasional di Iching, yang membendung sungai terbesar di Cina yakni Yangtze. Selama 12 hari di Cina, rombongan berkeliling melihat langsung bendungan.

“Kami berangkat dari Jakarta, transit di Hongkong, lalu, lanjut ke Beijing. Sebelum ke lokasi bendungan, kami dibawa ke tempat museum bersejarah. Tempat bendungan itu di sungai Yangtze. Bendungannya besar. Kita ke sana dari jalan kaki, sampai naik eskalator hingga lift,” ungkapnya.

Bendungan memiliki pintu keluar masuk. Perahu ukuran besar dapat melintasi bendungan dengan sistem buka tutup. Kapal pesiar tiga tingkat, tak jarang antre, jika air surut. Satu kapal masuk, kemudian menggunakan sistem hidrolik airnya naik sampai pintu depan terbuka.

“Apabila pintu lagi ditutup, bisa dilalui oleh motor sebagai akses jalan. Kami waktu itu masuk di dalam kapal, jadi tahu kalau ada antrean itu. Jadi, diatur keluar masuknya kapal itu,” kisahnya.

Tak hanya itu, rombongan juga mengunjungi pusat perekonomian di Cina, yakni Shanghai. Menurutnya, Cina merupakan negara yang cukup maju. Bahkan pertanian di sana seperti di Kota Wuhan, hampir sepenuhnya menggunakan teknologi mesin. “Kami melewati Wuhan, itu daerah pertanian dan industri. Tanah pertaniannya luas dan modern pakai mesin,” katanya. (*)

Reporter: Nurjannah

Editor: Nurul Lamunsari