Koran Kaltara,
Jum’at, 4 Maret 2022
TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Kinerja ekspor Kalimantan Utara mengawali penurunan yang tajam pada awal tahun 2022. Ini disebabkan adanya kebijakan larangan ekspor batu bara sepanjang Januari 2022 yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Demikian disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltara, Tina Wahyufitri.
Berdasarkan informasi yang ia terima, kebijakan larangan ekspor batu bara dipicu krisis pasokan untuk kepentingan dalam negeri. Khususnya untuk pembangkit listrik milik PT. PLN (Persero) dan pengembangan listrik wisata atau independent power production.
Ia memaparkan, ekspor kelompok hasil tambang yang didominasi batu bara, turun sekitar 80 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Yakni dari USD228,91 juta atau setara Rp3,28 triliun (mengacu kurs tengah Bank Indonesia 2 Maret : Rp14.349) menjadi USD43,02 juta (Rp617,29 miliar).
Meskipun mengalami penurunan, ekspor hasil tambang masih tetap mendominasi dibandingkan kelompok ekspor lainnya. Seperti hasil industri yang hanya sebesar USD7,05 juta (Rp101,16 miliar) dan hasil pertanian sebesar USD3,39 juta (Rp48,64 miliar).
“Secara keseluruhan, ekspor Kaltara melalui pelabuhan dalam daerah mengalami penurunan 78,13 persen pada bulan Januari 2022. Yaitu dari USD244,45 juta (Rp3,5 triliun) menjadi USD53,46 juta (Rp767,09 miliar),” kata Tina dalam rilis Perkembangan Ekspor Impor Kaltara Januari 2022 pada awal Maret ini.
Sementara itu, Kaltara dalam beberapa bulan terakhir juga rutin melakukan re-ekspor rokok ke Filipina dan Singapura. Dengan masing-masing nominal USD10,78 juta (Rp154,68 miliar) dan USD6,28 juta (Rp90,11 miliar) pada bulan Januari 2022.
“Sejumlah komoditas lain ada juga diekspor melalui pelabuhan di luar daerah. Seperti Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Terdiri dari ikan beku, udang beku, kayu lapis dan lainnya,” papar Tina.
Adapun, kontraksi negatif ekspor dinilai membuat neraca perdagangan luar negeri Kaltara mengalami penurunan cukup dalam dibandingkan bulan sebelumnya. Yaitu dari surplus USD243,37 juta (Rp3,49 triliun) menjadi USD46,70 juta (Rp670,09 miliar).
“Neraca perdagangan turun sampai 80,7 persen, semoga ke depan neraca perdagangan bisa membaik seperti sebelumnya,” jelas Tina.
Kepala Seksi Konservasi dan Produksi pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltara, Zainal Arifin, membenarkan jika ada kebijakan larangan ekspor yang diterbitkan Kementerian ESDM pada Bulan Januari lalu. “Iya benar, ada edarannya ke kita. Tapi bentuknya sebatas tembusan,” ujar Zainal, Kamis (3/3/2022).
Zainal tidak bisa mengungkapkan kepatuhan perusahaan batu bara di Kaltara perihal larangan ini. Termasuk juga imbas kebijakan tersebut kepada tren produksi batubara. Ini disebabkan kewenangan hal tersebut sudah dicabut dari pemerintah provinsi.
“Kalau produksi di lapangan, saya sudah kurang tahu bagaimana. Karena kita sudah tidak pernah ke lapangan, kewenangannya kan sekarang langsung di pusat semua,” ungkapnya.
Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltara, Peter Setiawan mengatakan, intervensi terhadap batu bara akan langsung berdampak signifikan terhadap kinerja ekspor Kaltara secara keseluruhan. Ini disebabkan tidak ada lagi komoditas lain yang bisa diandalkan.
“Saya rasa itu (batubara) saja yang dominan, tidak ada lagi. Memang hanya batubara, ada juga sih CPO dan perikanan, tapi jauh di bawah jika dibandingkan batubara,” kata Peter.
Pada saat yang bersamaan, ia mengungkapkan jika ekspor komoditas hasil perikanan turut lesu. Ini disebabkan pasar penjualan yang mulai jatuh, biaya kontainer pengiriman yang mahal dan penurunan pembeli akibat dampak pandemi yang berkepanjangan.
“Jadi semuanya kurang bagus, harga udang turun dan turun terus,” ungkapnya.
Apindo Kaltara sendiri menilai diversifikasi komoditas ekspor di Kaltara masih sulit dilakukan. Ini yang seyogianya juga perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Mengingat batubara tidak bisa diandalkan dalam jangka waktu panjang.
“Kalau berbicara diversifikasi atau perluasan jenis komoditas ekspor, itu masih sulit kita lakukan. Jika bicara produk olahan, itu masih didominasi bahan baku perikanan. Kalau yang sifatnya industri hampir tidak ada, hanya plywood saja dari IDEC dan Intraca,” papar Peter.
Sebelumnya, Kepala Seksi Ekspor dan Impor pada Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (Disperindagkop) Kaltara, Hidayat, tidak menampik jika pertambangan masih jadi tumpuan utama ekspor daerah.
Hal ini tidak terlepas dari cadangan batu bara yang masih melimpah hingga saat ini.
“Ekspor kita terbesar memang batu bara sampai saat ini. Hampir semua daerah di Kalimantan begitu, tidak hanya Kaltara saja,” kata Hidayat.
Kendati demikian, pemerintah daerah sudah berupaya mendorong adanya diversifikasi komoditas ekspor.
Khususnya yang berasal dari sumber daya alam berkelanjutan dan tidak dijual secara mentah. Sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk tersebut.
“Dari pemerintah memang sudah mendorong adanya produk baru, karena ketika batu bara tidak lagi bisa diekspor, kita sudah ada cadangan atau penggantinya. Diutamakan memang yang sifatnya produk olahan, jadi menyerap banyak tenaga kerja juga,” paparnya.
Impor Turun 19 Persen di Awal Tahun
Koordinator Fungsi Statistik Distribusi pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Utara, Panca Oktianti mengatakan, impor ke Kalimantan Utara menurun 19,92 persen pada Bulan Januari 2022. Yaitu dari USD14,39 juta (Rp206,48 miliar) menjadi USD11,53 juta (Rp165,44 miliar).
Ia menjelaskan, impor di awal tahun 2022 cukup didominasi komoditas rokok dari Singapura dan Pakistan. Namun ini bersifat impor tujuan ekspor. Karena selanjutnya barang ini dikirim lagi ke Filiphina dan Malaysia melalui Kabupaten Nunukan.
Lanjut dia, Kaltara juga melakukan impor kendaraan, alat elektronik dan suku cadang mesin industri domestik dari China. Kemudian ada juga impor kerikil dari Malaysia untuk kebutuhan lapangan usaha konstruksi.
“Kaltara juga melakukan impor petroleum atau sejenis aspal minyak sebesar USD0,67 juta (Rp9,61 miliar) di Januari 2022,” kata Panca.
Sebagai informasi tambahan, nilai kumulatif impor ke Kaltara periode Januari – Desember 2021 mencapai USD106,3 juta (Rp1,52 triliun). Jika dibandingkan periode sama pada tahun 2020, terjadi peningkatan sebesar 27,47 persen.
Ada tiga negara yang mendominasi impor ke Kaltara. Pertama, Singapura dengan nominal USD52,37 juta (Rp751,45 miliar). Ini didominasi komoditas rokok yang kemudian dire-ekspor oleh Kaltara.
Kedua, China dengan nominal USD30,69 juta (Rp440,37 miliar). Negara ini dominan mengirim komoditas berupa kendaraan, alat elektronik, peralatan mesin dan kebutuhan industri lainnya.
Ketiga, Malaysia sebesar USD9,28 juta (Rp133,15 miliar). Negara yang bersebelahan langsung dengan Kaltara ini kerap menyuplai bahan konstruksi untuk kegiatan pembangunan di daerah perbatasan. Ini disebabkan akses distribusi yang lebih mudah dan murah jika dibandingkan barang dalam negeri. (*)