Koran Kaltara, 31 Maret 2022
TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Utara bertambah 8.370 jiwa dalam enam tahun terakhir. Angka ini terdata dari periode Maret 2016 sampai dengan September 2021.
Informasi yang Koran Kaltara himpun dalam Publikasi Data dan Informasi Kemiskinan Kaltara 2016 – 2021, mencatat, penduduk miskin pada Maret 2016 sebanyak 41.120 jiwa. Kemudian jumlahnya melonjak hingga 49.490 jiwa pada September 2021.
Berdasarkan lokasi pemukiman, diketahui lonjakan penduduk miskin terjadi di daerah perkotaan.
Dalam kurun waktu enam tahun tersebut, terdapat pertambahan penduduk miskin di kota sebanyak 9.670 jiwa atau dari 14.210 jiwa menjadi 23.880 jiwa.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di desa justru mengalami penurunan sebanyak 1.300 jiwa. Atau dari 26.910 jiwa menjadi 25.610 jiwa.
Kendati demikian, dapat terlihat jika penduduk miskin di desa masih jauh lebih banyak dibandingkan wilayah kota.
Koordinator Fungsi Statistik Sosial pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltara, Basran mengatakan, jumlah penduduk miskin setiap tahunnya menunjukkan tren fluktuatif. Ini sejalan dengan hitungan persentase penduduk miskin yang ada.
Lanjut dia, peningkatan penduduk miskin terbesar terjadi pada September 2016, sebesar 5,91 ribu jiwa. Atau dari 41.120 jiwa dari Maret 2016 menjadi 47.030 jiwa di September 2016.
“Sedangkan, penurunan jumlah penduduk miskin terbesar terjadi pada Maret-September 2021, yaitu sebesar 3,37 ribu jiwa,” jelasnya.
Secara khusus, pandemi Covid-19 sempat membuat lonjakan penduduk miskin bertambah 900 orang pada September 2020. Meski begitu, ada penurunan setelah periode tersebut.
Apabila ditinjau dari wilayah perdesaan dan perkotaan, masih terdapat disparitas jumlah penduduk miskin. Penduduk miskin lebih banyak berada di daerah perdesaan.
“Pada Maret 2020, penduduk miskin di daerah perkotaan sebanyak 23,35 ribu jiwa, sedangkan di daerah perdesaan sebanyak 28,43 ribu jiwa,” papar Basran.
Seperti halnya dengan jumlah penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan di Kaltara disebut juga mengalami fluktuasi.
Peningkatan indeks kedalaman kemiskinan terbesar terjadi pada September 2016 ke Maret 2017 sebesar 0,328 poin.
“Jadi, semakin tinggi nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan, menunjukkan semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin untuk keluar dari garis kemiskinan,” imbuhnya.
Apabila dilihat menurut wilayah, daerah perdesaan selalu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan rata-rata pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan dan perkotaan.
“Penduduk miskin di daerah perdesaan akan lebih sulit untuk keluar dari belenggu kemiskinan apabila dibandingkan dengan penduduk miskin di daerah perkotaan,” ungkapnya.
Sementara itu, Basran memaparkan Indeks keparahan kemiskinan yang menunjukkan gambaran sebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
Indikator ini menjadi penting untuk menentukan kebijakan pemerintah agar dapat mengurangi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
“Semakin tinggi nilai Indeks Keparahan Kemiskinan, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin,” imbuhnya.
Pada periode 2016 hingga 2021, nilai indeks keparahan kemiskinan mengalami fluktuasi.
Peningkatan tertinggi terjadi pada September 2018 – Maret 2019, dari 0,175 menjadi 0,309, atau meningkat sebesar 0,134 poin.
“Sedangkan penurunan tertinggi terjadi pada September 2019 sampai Maret 2020, dari 0,269 menjadi 0,169 atau turun sebesar 0,100 poin,” jelasnya.
Indeks keparahan kemiskinan di perdesaan pada periode Maret 2016-September 2021 lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.
Gap tertinggi yang terjadi antara perdesaan dan perkotaan terjadi pada September 2019, yaitu 0,258 poin. Dimana Indeks di perdesaan sebesar 0,425 sedangkan di perkotaan sebesar 0,167.
Basran juga menjelaskan jika tingkat kesenjangan ekonomi atau gini rasio di Kaltara berfluktuasi, namun cenderung menurun.
Hal ini terbukti ditunjukkan dengan nilai gini rasio terkecil adalah pada September 2021 yaitu sebesar 0,285.
“Gini rasio yang bernilai mendekati 0 menunjukkan ketimpangan pengeluaran antara penduduk dengan pengeluaran tertinggi dan penduduk dengan pengeluaran terendah semakin kecil,” paparnya.
Gini rasio daerah perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah perkotaan Hal ini disebabkan karena selisih pengeluaran penduduk tertinggi dan pengeluaran penduduk terendah di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
Basran menjelaskan, ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan pemerintah daerah untuk mengendalikan lonjakan kasus penduduk miskin secara berkelanjutan.
Menurutnya, pemerintah daerah harus bisa memastikan setiap bantuan sosial tersalurkan secara tepat sasaran dan tepat waktu. Baik bantuan ini dalam bentuk uang tunai atau non tunai seperti bahan pokok.
Selanjutnya, pemerintah daerah penting menjamin distribusi barang berjalan dengan lancar. Terutama pasokan hingga daerah kategori pedalaman dan perbatasan. “Distribusi barang, terutama kebutuhan pokok harus lancar,” kata Basran.
Selain itu, pemerintah daerah bersama stakeholder terkait harus bisa menjaga tren laju inflasi sesuai target. Ini akan berimplikasi terhadap stabilnya harga kebutuhan yang beredar.
Dengan begitu, biaya hidup yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi stabil.
“Masyarakat yang mendapat bantuan atau subsidi dari pemerintah, baik itu pusat atau daerah, agar juga benar-benar memanfaatkan bantuan tersebut untuk konsumsi yang bermanfaat. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan,” paparnya. (*)
Reporter: Agung Riyanto
Editor: Nurul Lamunsari