Koran Kaltara, 27 Mei 2022
TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) menjadi megaproyek terkini yang ada di Provinsi Kalimantan Utara.
Berlokasi di sejumlah desa di Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, KIHI digembar-gemborkan bisa menghadirkan atmosfer perekonomian baru di Bumi Benuanta – Sebutan Kaltara.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan, Dr. Syaiful mengatakan, konsep umum KIHI sebenarnya sudah dikenal dengan nama Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah Kuning.
Namun, proyek KIPI ini dinilai tidak berjalan mulus seperti yang direncanakan.
Seiring berjalannya waktu, kehadiran nama KIHI mampu kembali menyita perhatian masyarakat dan berbagai pihak.
Terlebih, peletakan batu pertama atau groundbreaking langsung dilakukan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo.
Kehadiran orang nomor satu di Indonesia, dinilai Syaiful menjadi perhatian khusus. Dimana ada tanggung jawab moril bahwa KIHI tidak boleh bernasib sama dengan konsep KIPI sebagai pendahulunya.
“Bapak Presiden resmikan langsung, berarti kan serius dan harus jadi ‘barang’ (terwujud) ini. Karena ini masalah prestise (wibawa) Presiden dengan jajaran menteri-menterinya,” kata Syaiful saat diwawancarai awak media, Kamis (26/5/2022).
Keberadaan KIHI sendiri disebut sudah digaungkan hingga tingkat internasional. Sehingga pemerintah pusat seyogianya tidak memandang hal ini seremonial belaka.
“Kalau ini sampai gagal, membuat pemerintah tidak dipercaya, apalagi ini kawasan sudah mendunia. Bayangkan, satu-satunya di dunia itu ada di Kaltara,” ujarnya.
Menurut Syaiful, keberlanjutan proses KIHI saat ini justru seperti anomali pencitraan di awal. Ini dinilai menjadi catatan khusus bagi seluruh pihak.
Sehingga, bisa mengantisipasi KIHI tidak berujung tanda tanya atau tanpa kejelasan ke depan.
“Saya dengar dari laporan pemerintah itu sekitar 7 perusahaan tidak ada progresnya. Ini kan jadi pertanyaan, ada apa dengan kawasan itu. Kok tidak ada yang melirik dan malah banyak investor mundur,” paparnya.
Keseriusan pemerintah pusat juga dipertanyakan karena kinerja soal pembangunan kawasan industri cenderung bercabang.
Dimana pemerintah pusat melirik konsep industri baru di tengah belum rampungnya soal industri hijau ini.
“Satu belum kelar, belum tuntas, tinjau lagi satu yang lain, tidak fokus. Akhirnya kalau dari provinsi dan kabupaten tidak diseriusi dengan benar, bisa mangkrak ini, jadi slogan saja,” ungkapnya.
Secara umum, Syaiful menilai progres pembangunan KIHI masih tergolong invisible atau tidak terlihat.
Mengingat banyak kabar resmi menyebut sejumlah lahan di kawasan tersebut belum diselesaikan dengan baik atau belum ada kesepakatan.
Di lain sisi, kesiapan industri di sana juga dipertanyakan perihal ketersediaan bahan baku.
“Membangun industri itu kan harus ada bahan baku. Kalau yang dekat kawasan kan sebatas kelapa sawit, rumput laut, perikanan. Tapi bukan industri itu saja yang dibangun. Ada industri lain yang saya dengar bahan bakunya harus didatangkan dari Sumatera,” ucapnya.
Ketika berkunjung langsung ke lokasi, Syaiful juga menyayangkan infrastruktur transportasi belum memadai. Padahal keberadaannya sudah sangat dibutuhkan sejak sekarang.
“Jalan darat ke sana tidak semulus jalan tol. Padahal itu dibutuhkan untuk memudahkan distribusi bahan-bahan ke kawasan. Sekarang malah kalau musim hujan jadi kubangan, musim kemarau berdebu,” kata Syaiful.
Persoalan teknis lain yang juga tidak segera disikapi adalah kondisi pinggir pantai yang masih dangkal.
Sehingga tidak memungkinkan armada kapal membawa peralatan konstruksi langsung ke lokasi.
“Kenapa nggak segera dikeruk dulu, supaya armada membawa bahan bangunan mudah. Harus diberi kemudahan lah mereka, mulai dari transportasi, mobilisasi dan seterusnya,” cetusnya.
Syaiful kembali menekankan jika keberhasilan pembangunan KIHI perlu dikawal maksimal. Dengan begitu, pemerintah bisa kembali mendapat kepercayaan atas janji dan harapan yang diberikan.
“Jangan sampai, ujung-ujungnya perizinan selesai, selesai juga semua, tidak ada tindak-lanjut. Semua malah gagal total,” imbuhnya.
Kendati demikian, dia sependapat jika keberhasilan pembangunan KIHI bisa mendongkrak perekonomian Kaltara.
Mengingat ratusan ribu tenaga kerja akan terserap. Ini dapat memberi efek domino terhadap peningkatan daya beli masyarakat, percepatan kegiatan usaha, penurunan angka kemiskinan, penurunan pengangguran dan sebagainya.
“Dari sisi pendapatan fiskal daerah juga pasti meningkat. Mulai dari kegiatan ekspor, penggunaan tenaga kerja asing, itu luar biasa,” jelas Syaiful.
Namun, dia kembali memberi catatan jika pemerintah harus memastikan masyarakat setempat bisa diberdayakan. Termasuk para lulusan sarjana dari perguruan tinggi lokal di Kaltara.
“Sumber daya yang siap pakai sudah ada kok dari perguruan-perguruan tinggi di sini. Itu setidaknya yang harus dipastikan dapat terserap dengan posisi bagus di sana,” pungkasnya. (*)
Reporter: Agung Riyanto
Editor: Nurul Lamunsari