TARAKAN – Tiga ahli dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU)[1]) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tarakan, dalam sidang dengan agenda pembuktian terhadap perkara dugaan korupsi pembangunan rumah kuliner kota tanpa kumuh. Sidang berlangsung pada Maret lalu di Pengadilan Negeri Tipikor[2]) Samarinda.
Ketiga ahli yang dihadirkan adalah ahli ekonomi dari Universitas Borneo Tarakan yaitu Rian Adriansyah, ahli pengadaan barang dan jasa dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yaitu Muhammad Andi Arfan, dan ahli perhitungan kerugian negara dari Inspektorat Kota Tarakan yaitu Eko Budi Purnomo.
JPU dalam perkara tersebut yaitu Dewantara Wahyu Pratama menjelaskan, dari ahli ekonomi memberikan keterangan bahwa pembangunan rumah kuliner tersebut dari sisi dan perencanaan, dinilai jauh dari studi kelayakan bisnis. Karena jaraknya itu jauh dari jalan utama dan masuk ke dalam agak jauh. Bahkan dari sisi akses, keselamatan dan ekonominya tidak sesuai dengan perencanaan,” ucapnya.
Ahli menegaskan juga bahwa lokasi pembangunan rumah kuliner tersebut tidak layak dijadikan tempat bisnis. Kemudian berdasarkan keterangan ahli LKPP, menjelaskan bahwa pembangunan rumah kuliner dengan melibatkan pihak ketiga tidak perbolehkan. Hal tersebut berdasarkan standar operasional yang sudah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia.
Bahkan ahli juga menyatakan dalam pengerjaan rumah kuliner, harusnya nota dalam Laporan Pertanggungjawabkan (LPj) sesuai dengan harga yang di lapangan dan bukan sesuai yang ada di Rencana Anggaran Belanja (RAB).
Dari pemeriksaan yang dilakukan Inspektorat, kedua terdakwa[3]) didapati ada melakukan mark up[4]) harga pengadaan barang dan ada melakukan pengadaan barang fiktif. “Untuk kerugian itu ditimbulkan karena ada kekurangan volume pengerjaan, penggelembungan harga dan pengeluaran yang tidak seharusnya dikeluarkan. Total nilai kerugian dari Inspektorat itu Rp432 juta,” bebernya.
Setelah menghadirkan ketiga ahli, pihaknya masih akan menghadirkan ahli dalam untuk agenda pembuktian dalam perkara tersebut. Yaitu ahli pidana dan ahli konstruksi. Rencananya setelah dihadirkan ahli, Majelis Hakim meminta agar pihak terdakwa menghadirkan saksi yang meringankan, apabila ingin dihadirkan. “Kalau enggak ada saksi meringankan akan langsung diteruskan ke saling bersaksi antar terdakwa,” pungkasnya.
[1] Penuntut Umum jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim [2] Pengadilan Negeri Tipikor merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. [3] Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. (Pasal 1 butir 15 KUHAP) [4] Modus korupsi mark up terjadi ketika pejabat pembuat komitmen atau pengguna anggaran hanya mengandalkan penawaran harga dari penyedia jasa tanpa melakukan survei harga, mencurigakan kerjasama antara pihak terkait dengan rekanan penyedia. (sumber:https://jpabdimas.idjournal.eu/index.php/toddopuli/article/view/467/308)
Sumber berita:
- https://radartarakan.jawapos.com/tarakan/2414439661/kerugian-negara-mencapai-rp-432-juta-sidang-dugaan-korupsi-pembangunan-rumah-kuliner, Kerugian Negara Mencapai Rp 432 Juta, Sidang Dugaan Korupsi Pembangunan Rumah Kuliner, 14/03/2024;
- https://www.prokal.co/kalimantan-utara/1774444453/sidang-dugaan-korupsi-pembangunan-rumah-kuliner-kerugian-negara-mencapai-rp-432-juta, Sidang Dugaan Korupsi Pembangunan Rumah Kuliner, Kerugian Negara Mencapai Rp 432 Juta, 15/03/2024;
Catatan:
- Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan sebagai berikut:
- angka 15: Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
- angka 28: Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
- Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menerangkan sebagai berikut:
- Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
- Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).