Nelayan Jadi Korban Pemanfaatan Ruang di Laut

Koran Kaltara, 23 Oktober 2021

TARAKAN, Koran Kaltara – Selain nelayan, banyak pihak yang juga menggunakan laut sebagai kawasan teritorial. Sehingga sering sekali dijumpai konflik kepentingan yang pada akhirnya nelayan yang dirugikan.

  • Hindari Konflik Kepentingan, Pemerintah Diminta Atur Zonasi Laut

Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta untuk ikut turun tangan dalam menyelesaikan persoalan ini sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini diungkapkan Ketua Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kalimantan Utara, Rustam kepada Koran Kaltara.

Menurutnya, berbagai macam persoalan sering timbul di laut. Bukan hanya antarnelayan, tetapi juga pelaku kepentingan yang menggunakan jalur laut sebagai kawasan teritorialnya. Termasuk risiko tertabrak kapal besar, karena jalur tangkap ikan terkadang berada di kawasan pelayaran sehingga berpotensi terjadi kecelakaan laut.

“Kapal kecil kadang tidak terlihat kapal besar. Ini patut jadi catatan pemerintah daerah karena sudah banyak persoalan. Belum lagi setiap air besar ada sentuhan antar nelayan, termasuk pelaku ekonomi di laut lainnya. Seperti kapal tag boat yang mengangkut batu bara dari hulu ke hilir. Saya kira ini harus jadi catatan pemerintah daerah untuk membicarakannya dengan berbagai pihak,” desak Rustam saat ditemui, Jumat (22/10/2021).

Lebih lanjut dikatakan, selama ini sudah ada peraturan daerah yang mengatur tentang tata ruang laut. Tetapi yang menjadi masalah adalah masyarakat Tarakan banyak didominasi oleh nelayan.

“Nelayan Tarakan tidak selamanya mencari ikan di lokasi yang sama, hanya 2-3 hari. Misalnya kalau masuk ke alur laut. Itu pun tidak monoton. Bahkan hanya lewat begitu saja,” ungkapnya.

Rustam juga mempertanyakan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), apakah sudah sesuai atau hanya diurus hanya di bagian hulunya saja. Sedangkan pada bagian hilir dilepas begitu saja. “Termasuk teman-teman ini bisa melihat juga batu bara yang terbuka di tag boat. Kalau kena hujan, itu kan bisa mencemari laut kita,” ujarnya.

Oleh karena itu, harus ada penataan zonasi antara arus pelayaran dengan zona nelayan untuk menangkap ikan. Karena selama ini para nelayan masih disibukkan dengan persoalan antarnelayan terutama perbedaan alat tangkap. Harus ada penataan zonasi antara arus pelayaran dengan kawasan tangkap ikan. Karena selama ini cek-cok antara nelayan terjadi karena adanya kesalahpahaman.

“Misalnya alat tangkap yang tidak bisa sama di 1 lokasi yang berbeda karena tidak ada pihak yang tersakiti. Contoh lagi, misalnya pemancing gillnet dengan nelayan lain yang berada di satu lokasi, padahal alat tangkapnya beda. Kami mendorong pemerintah untuk betul-betul membuat suatu regulasi, misalnya dalam menangkap ikan mereka sudah tahu waktu dan tempatnya,” pungkasnya. (*)

Reporter: Sofyan Ali Mustafa

Editor: Nurul Lamunsari